Oleh: Muallifah
Namanya diabadikan sebagai salah satu pahlawan nasional dari sosok perempuan. Tidak banyak sebenarnya perempuan yang diberi mandat sebagai pahlawan nasional, akan tetapi banyak sekali keunikan dan kelebihan yang begitu luar biasa dimiliki oleh Rasuna Said khususnya bidang kepenulisan. Julukan “singa betina” yang diberikan kepada dirinya lantaran pidato serta isu-isu perempuan yang dibawanya selalu memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Bagi Rasuna, perempuan harus memperoleh pendidikan yang layak demi menyongsong kebebasan perempuan untuk berkiprah terhadap kemajuan bangsa Indonesia.
Perjuangan dirinya untuk melawan penindasan, ketidakadilan gender serta pembebasan bergerak untuk perempuan diwujudkan dengan berbagai cara. Selain mengasah kemampuan di berbagai bidang, ia juga aktif di bidang literasi, khususnya kepenulisan dalam rangka memberikan pemahaman tentang peran perempuan terhadap kemajuan bangsa Indonesia kepada masyarakat luas. Meskipun demikian, kiprah politik yang begitu luas juga menjadikan dirinya sebagai perempuan yang memiliki karir politik luar biasa.
Karir politiknya tercatat selama masa pendudukan Belanda hingga Jepang aktif berkecimpung dalam beberapa organisasi. Rasuna Said mengawali karir politiknya pada tahun 1926 dengan bergabung dalam Sarekat Rakyat. Sarekat Rakyat waktu itu memang banyak menarik minat kalangan muda Minang. Rasuna Said saat itu duduk dalam kepengurusan sebagai penulis atau disebut sekretaris, cabang Maninjau.
- Iklan -
Selanjutnya ia memilih masuk organisasi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI atau Permi) pada tahun 1930.Permi didirikan oleh perhimpunan “Sumatra Thawalib” atau murid-murid Sumatera dibawah naungan Sekolah Thawalib. Karena masuk dalam 2 partai sekaligus, kemudian ia harus memilih salah satu partai, yang akhirnya memilih untuk fokus di Permi.
Tidak sedikit tulisan yang menggambarkan sosok perempuan kelahiran Sumatera ini. Penampilannya sebagai muslimah, dengan didikan agama yang begitu kental dari pihak keluarga menjadikan ia sebagai sosok yang tangguh, sosok pergerakan sejati di masanya. Tidak hanya itu, lahir dari keluarga bangsawan, membuat ia memperoleh pendidikan yang layak dibandingkan dengan yang lain. Akan tetapi, pilihannya dalam menentang poligami begitu kuat ketika ia menolak diperistri oleh laki-laki yang sudah beristri dan memilih menikah dengan laki-laki pilihannya.
Rasuna Said memiliki nama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada tanggal 14 September 1910 di desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya, Haji Muhammad Said atau yang kerap disapa Haji Said saat masih muda merupakan seorang aktivis pergerakan di Sumatera Barat. Haji Said bersama-sama saudaranya mendirikan sebuah perusahaan keluarga yang diberi nama C.V. Tunaro Yunus.
Pendidikannya ditempuh pada awal di Sekolah Desa yang berada di dekat tepian Danau Maninjau. Ayahnya mulai memasukkan ke sekolah tersebut pada tahun 1916. Disana ia menghabiskan waktu untuk belajar selama lima tahun atau tamat pada kelas 5. Kemudian melanjutkan sekolah ke Pesantren Ar-Rasyidiyah, dibawah pimpinan Syekh Abdul Rasyid.
Pada masa itu, pendidikan di pesantren mayoritas dipenuhi oleh anak laki-laki sehingga ia menjadi santri perempuan satu-satunya. Tahun 1923 ia masuk ke Sekolah Diniyah (Diniyah School) di Padang Panjang. Tanggal 28 Juni 1926 terjadi gempa bumi yang hebat disertai letusan Gunung Merapi di Padang Panjang. Para siswa Sekolah Diniyah akhirnya kembali ke kampung halamannya. Rasuna Said kemudian melanjutkan dengan mengikuti sekolah yang dipimpin Haji Abdul Majid namun hanya sebentar.
Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Sekolah Putri (Meisjesschool) untuk memperoleh keahlian memasak, menjahit, dan urusan rumah tangga. Pada tahun 1930 Rasuna Said memutuskan untuk masuk ke sekolah Sumatra Thawalib. Sekolah ini merupakan hasil perkembangan dari Surau Djembatan Besi dibawah pimpinan Haji Udin Rahmani serta menempuh pendidikan terakhirnya ke Islamic College di Padang pada saat memasuki usia 23 tahun. Selama menempuhpendidikan, Rasuna Said bergabung dalam kegiatan kepenulisan ataujurnalistik. Hal ini yang membawanya terpilih menjadi pimpinanredaksi majalah Raya.
Keilmuan agama juga menjadi salah satu penunjang perjuangan Rasuna Said dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Ia mendalami ilmu agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah, yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berfikir yang banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said. Berdasarkan hal tersebut, pemikirannya juga menjadi inisiator terhadap arah geraknya di bidang kepenulisan. Pada saat menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya tahun 1935, ruang gerak pemikiran dan pergraknannya dibatasi oleh Belanda, sehingga ia pindah ke Medan dan mendirikan sekolah pendidikan khusus wanita Perguruan puteri.
Keinginan kuat untuk menyerbarkan berbagai informasi berkenaan dengan peran perempuan untuk kemajuan bangsa juga bisa dilihat ketika ia menerbitkan Majalah Menara Putri yang membahas seputar pentingnya wanita, kesetaraan antara pria dan wanita, dan keislaman. Rasuna Said mengasuh rubrik “pojok” pada majalah tersebut. ia sering menggunakan nama samaran dalam tulisannya yaitu “ Seliguri”. Tulisannya dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran dan selalu mengambil sikap lantyang anti-kolonial.
Sebuah koran di Surabaya, namanya Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Majalah Menara Putri ini: “ Di Medan ada sebuah surat kabar bernama menara putri, isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said”. Namun majalah tersebut tidak bertahan lama akibat pemasukan yang sedikit dari berbagai pembaca yang tidak membayar majalah tersebut. Meski demikian, kekayaan intelektual Rasuna Said begitu luar biasa dalam memberikan pemahaman emansipasi wanita melalui bidang kepenulisan. Atas jasa yang sudah dilakukan, kemudian is dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Ia meninggal pada 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
–Penulis pengurus PC IPPNU Sampang.