Oleh Ahmad Hamid
“Mantan pancar itu ada, tetapi kalau mantan guru selamanya tidak ada” kata tersebut adalah kata yang saya dapatkan dari pembicaraan dari seorang sahabat beberapa tahun silam. Dulu saya kurang mendalami tentang kalimat ini, tetapi karena terlalu akrab pertemanan sampai sekarang masih saya ingat tentang candaan, guyonan atau nasihat yang dibalut dengan guyonan tadi. Ini semacam warning untuk kita agar jangan sekali-kali melupakan guru-guru kita. Ya tentu, masing-masing dari kita punya pengalaman yang berbeda-beda dengan guru semasa menimba ilmu. Ada kenagan manis, ada asam atau bahkan pahit. Namun kita khusnudhon saja, bahwa perlakuan guru yang demikian adalah bentuk kasih sayang kepada kita, anak didiknya. Jadi ikhlaskanlah apa yang telah terjadi dan ingat-ingat jasa baik dari guru.
“Kalau ingin hidup dan ilmumu berkah, jangan lupakan gurumu, terutama guru yang pertama kali mengajar A, BA, TA sampai akhir, serta guru yang pertama kali mengajari hurub abjad A, B, C, D dan seterusnya. Kirim surat Alfatihah setelah selesai Salat wajib, persembahkah bacaan tersebut kepada guru-guru kita baik masih hidup atau sudah mendahului kita” itu pesan dari guru ngaji saya di kampung.
Inilah hebatnya menghormati guru, meskipun ada oknum guru yang memang secara sopan- santun, tata krama tidak mencerminkan sikap layaknya seorang guru, namun kita tidak boleh untuk membenci atau bahkan tidak menghormatinya. Kita boleh membenci sikapnya tetapi tidak sedikitpun melunturkan rasa hormat terhadap title dari seorang guru.
- Iklan -
Hikmah Guru dan Murid
Di era digital seperti sekarang, saya yakin kisah-kisah guru yang inspiratif sampai yang megiris-iris semuanya mudah kita ketahui melalui sosial media.
Sebagai contoh, kejadian sudah beberapa tahun yang lalu, tepatnya di akhir tahun 2018. Tetapi baru hangat atau trending di jagad maya di akhir-akhir ini. Ada seorang pemuda di China tepatnya di Luoyang, Provinsi Henan. Seorang pemuda yang memendam dendam selama 20 tahun kepada gurunya semasa SMP.
Dulu guru tersebut mengajar Bahasa Inggris, di sekolahan pemuda tersebut. Karena suatu kesalahan murid, sang guru memanggil ke depan kelas dan kemudian memukulinya sampai puluhan kali. Inilah yang menjadikan dendam sang murid. Setelah berjalan sekitar 20 tahun, sang murid menghadang guru di jalan, ketika guru mengendarai sepeda motor dan memukulinya di depan umum, sambil mengatakan bahwa dirinya adalah murid yang 20 tahun lalu dipukuli.
Sang guru hanya pasrah, tidak melawan, hanya mencoba meminta maaf karena memang secara fisik sudah tidak bisa melawan tenaga dari sang murid.
Dari kisah di atas setidaknya ada dua pelajaran yang bisa saya ambil, terutama background saya sebagai seorang guru.
Pertama, senakal dan sebandel apapun seorang murid, sebagai seorang guru jangan sekali-kali mengatakan hal-hal yang buruk terhadap murid kita. Karena perkataan adalah doa, lebih baik berkata dengan kata-kata yang baik. Sebagai contoh “waduh anak hebat sekali, ketika diajar kok rame sendiri, semoga kelak nanti menjadi orang hebat dan bisa berpengaruh di negeri ini” dengan demikian justru seorang anak malah akan merasa senang, dari pada didoakan buruk atau bahkan diberi punishment berupa pukulan, itu nanti malah akan berbuntut panjang. Ini teorinya tetapi praktiknya memang tidak semudah itu, tetapi kuncinya kalau menghadapi murid yang demikian perbanyak istighfar, banyak diam lalu ke kamar mandi segera wudhu. Karena kalau kita marah yang berbicara adalah nafsu bukan akal. Dan kalau kita menuruti nafsu yang negatif terutama, tanpa mempertimbangkan akal, pasti akan ada penyesalan di belakang.
Kedua, sebagai seorang murid, tidak selayaknya dendam seperti itu terhadap guru. Kalau ingin “balas dendam” masih banyak cara, yang bahasanya “main halus”. Kadang ada seorang guru yang mengatakan “ kamu sekolah bla bla bla, kalau dewasa kamu pasti tidak akan sukses”. Balas dendamnya wahai murid, dengan kamu belajar giat, raihlah cita-cita dan buktikan pada dunia bahwa kamu mampu dan menepis anggapan atau ucapan dari gurumu dulu. Dan kalau ketemu cukup katakan “Asalamu’alaikum, (sambil cium tangan) pak atau bu saya murid bapak dulu, bapak pernah mengatakan saya tidak bisa sukses, tetapi berkat bimbingan dan motivasi dari bapak atau ibu guru sekarang saya bisa jadi orang” ini adalah balas dendam yang sangat membanggakan. Empat jempol untuk murid yang seperti ini.
Makanya tidak salah jika pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim mengatakan tugas menjadi guru sangat sulit bahkan lebih sulit dari Menteri pendidikan sekalipun. Jadi tidak semuanya bisa menjadi guru, walaupun secara kompetensi, orang tersebut sangat mumpuni.
Intinya guru adalah panggilan jiwa, bukan “keterpaksaan” karena tidak ada pekerjaan lain. Karena kalau mau hitung-hitungan, gaji dari seorang guru, apalagi yang belum ASN masih jauh dari kata cukup. Namun sekali lagi panggilan jiwa dan rasa syukur serta niat lilahita’ala yang menjadikan seorang guru benar-benar bisa disebut dengan sebutan guru (digugu dan ditiru).
Guru Adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Kata-kata tersebut adalah kata-kata yang begitu familiar terutama di kalangan pendidikan. Tetapi apakah benar, guru adalah pahlawan dan tanpa tanda jasa?
Coba kita sedikit urai, jelas seorang guru adalah pahlawan karena berkat jasa-jasanya, semua bisa, minimal bisa baca, bisa tulis, bisa menghormati dan bisa berbagi. Sampai sini sudah jelaskan?
Langasung lanjut, tanpa tanda jasa. Sekilas memang tidak ada bintang-bintang yang disematkan di dada layaknya militer misalkan. Tetapi perlu kita ingat yang bisa menjadikan militer, polisi dan lain-lain bisa mendapat gelar atau jasa. Itu berkat peran guru. Jadi tanda jasa dari seorang guru adalah guru bahagia apabila murid-muridnya mendapat pekerjaan atau kehidupan layak bahkan bisa mengamalkan ilmu-ilmunya. Ini adalah lebih dari segala-galanya dibandingkan bintang yang disematkan di dada tadi. Masihkan menganggap guru pahlawan tanpa tanda jasa?
Lagi, ketika Jepang di bom oleh sekutu yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Pertama kali yang dicari oleh Kaisar Hirohito bukan berapa jumlah Militer yang tersisa, atau berapa jumlah pengusaha, pajabat yang tersisa. Namun yang ditanya adalah berapa jumlah guru yang tersisa. Kaisar sadar bahwa yang terpenting dalam membangun negara pertama kali yang menjadi ujung tombak adalah seorang guru. Begitulah sentralnya peran guru untuk membangun peradaban suatu negara. Dan akhirnya sekarang kita bisa belajar dari Jepang, seperti apa negara Jepang sekarang.
Itu semua adalah jasa dari guru-guru kita, yang kita cintai dan kita hormati. Sekali lagi jangan pernah lupakan guru-guru apalagi sampai menyakiti. Sebagi seorang guru saya yakin tidak ingin mendapat balasan apapun dari kesuksesan murid-muridnya. Karena balasan yang membahagiakan dari seorang guru adalah melihat anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sukses dan berguna untuk agama dan bangsanya.
-Penulis adalah Guru SD Al Madina Wonosobo, Relawan Literasi Ma’arif