Oleh Bandung Mawardi
Judul: Kosakata Keagamaan: Makna dan Penggunaannya
Penulis: M Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Cetak: 2020
Tebal: 520 halaman
ISBN: 978 623 7713 04 3
“Ini adalah takdir Allah….,” kata Laudya Cynthia Bella dalam acara gosip artis di televisi, 1 Juli 2020. Penjelasan untuk perceraian. Artis kondang itu memilih diksi takdir dalam penjelasan ke publik mengenai akhir pernikahan tak indah. Dulu, orang-orang mengenali Laudya Cynthia Bella melalui film berjudul Surga yang Tak Dirindukan. Film ditonton lebih dari 1 juta orang. Film digarap dari novel gubahan Asma Nadia. Dulu, artis itu bicara ke wartawan mengaku “bersyukur” bisa bermain dalam film mengandung pesan-pesan asmara dan religius. Film membuat penonton turut sedih dan menangis memikirkan jalinan asmara dan keinginan mendapatkan “surga”. Diksi-diksi dalam dialog para tokoh cenderung mengacu ke keagamaan meski berpuncak di dilema asmara. Kini, sedih terkabarkan ke publik atau “kaum gosip”. Artis itu bercerai bukan dalam film.
Kita tak ingin turut larut bergosip. Di hadapan kita, buku tebal berjudul Kosakata Keagamaan: Makna dan Penggunaannya (2020) susunan Quraish Shihab. Buku bersampul warna biru mengajak kita menekuni lagi sekian kosakata telajur sering digunakan tapi perlahan hampa makna atau berbelok makna. Di sampul, kita membaca ada sebaran kosakata: subhanallah, barakallah, taaruf, munafik, hijrah, dan iblis. Isi buku bakal membuat kita dalam pemikiran serius, tak seseru gosip atau omong kosong di pinggir jalan. Quraish Shihab memberi penjelasan panjang, mengoreksi, dan mengarahkan ke pemaknaan mendalam. Sekian kosakata terpilih gara-gara gampang diucapkan dan dituliskan publik tanpa berhitung konsekuensi (kerapuhan) makna bila salah penggunaan.
Kasus perceraian artis memunculkan ajakan memaknai takdir. Quraish Shihab menulis: “Manusia mempunyai kemampuan yang terbatas sesuai dengan takdir/ukuran yang diberikan Allah kepadanya.” Kita menduga “takdir” dalam ucapan artis mengartikan kehendak, ukuran, atau ketetapan Allah. Perceraian itu takdir menjadi dramatis dalam acara televisi memungkinkan terjadi pengurangan makna. Pemahaman berbeda bila kita menggunakan kosakata takdir dalam masalah wabah. Penjelasan bijak Quraish Shihab seperti sindiran bagi orang-orang berseru wabah dan agama sempat membikin kehebohan: “Berjangkitnya penyakit akibat wabah merupakan takdir Allah, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Bila seseorang tidak menghindar maka ia akan menerima akibatnya dan itu juga adalah takdir, tetapi bilai ia menghindar dan luput dari bahaya maka itu pun takdir.” Penjelasan “menjawab” orang-orang nekat berujar: “Takutlah kepada Allah, jangan takut corona!”
Kita bakal bertele-tele jika mengikuti gosip perkawinan dan perceraian artis. Kasus wajar disimak ribuan atau jutaan orang, “hiburan” saat wabah belum punah. Quraish Shihab dalam bab “Seputar Perkawinan” menjelasan kosakata: taaruf, aurat, mahram, ijab dan kabul, shadaq/mahar, nikah mut’ah, nikah siri, mawaddah, sakinah, talak, dan idah. Quraish Shihab dalam mengurai sekian kosakata sempat bernasihat: “Memang perceraian sangat dibenci oleh Islam tapi sekaligus juga dibenarkan… Islam membenarkan tapi bukan dengan cara yang mudah. Islam membenarkannya bila semua cara telah ditempuh untuk menormalkan hubungan. Lalu kalau perceraian harus terlaksana maka masing-masing pasangan dinasihati untuk bercerai secara baik-baik dan tidak melupakan masa-masa indah yang telah mereka lalui.” Nasihat bersumber dari Al Quran. Kita berhak mengusulkan agar artis tenar dan bersedih itu mendingan membaca Kosakata Keagamaan.
- Iklan -
Dulu, keputusan-keputusan dalam melakoni hidup dilambari doa. Orang ingin terkabulkan segala permintaan. Doa lazim dipungkasi dengan amin. Artis pernah berdoa agar dapat membina keluarga bahasa pasti sering mengucap amin. Di luar masalah perkawinan dan perceraian, amin memiliki dampak besar bagi publik saat berdoa sendiri atau bersama. Pada masa wabah, doa-doa memastikan terucap dan terdengar amin.
Penelusuran kebahasaan dilakukan Quraish Shihab menghasilkan keterangan: ‘Sekali lagi, kata tersebut (amin) berasal dari bahasa non-arab yang terserap ke dalam bahasa Arab, akibat seringnya terucapkan khususnya oleh agamawan. Ia dikenal dan diucapkan oleh penganut agama Yahudi dan Nasrani dan ditemukan juga dalam naskah-naskah kitab suci mereka. Sekian banyak hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw menganjurkan untuk mengucapkan ‘amin’ setelah memanjatkan dan atau mendengar doa dari orang lain.” Amin bukan masalah sederhana. Penjelasan mengoreksi anggapan kita bahwa amin itu berasal dari bahasa Arab. Di buku berjudul Kata Serapan dari Bahasa Arab (1990) susunan Sudarmo, kita menemukan “amin” dijelaskan berasal dari bahasa Arab.
Anggapan “amin” berasal dari bahasa Arab mungkin terbentuk oleh kamus-kamus dan penjelasan para tokoh agama. Di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta, amin berarti “demikianlah hendaknja”. Contoh dalam penggunaan kalimat mengesankan religius: “Doa itu diachiri dengan utjapan amin jang bergemuruh.” Sutan Mohammad Zain dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954) mencantumkan keterangan bahwa amin berasal dari bahasa Arab dengan arti “demikianlah hendaknja”. Amin memang kosakata khas dalam keagamaan meski mulai dimengerti sebagai sejenis “persetujuan”, “penerimaan”, atau “pembenaran” saat wartawan dan penulis mulai sering menulis “mengaminkan” dalam berita dan artikel di masa sekarang. Kecenderungan mungkin mengikuti pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018). Amin diartikan “terimalah, kabulkanlah, demikianlah hendaknya.”
Kini, kita juga mulai sering mendengar orang-orang berucap gibah. Kata itu mungkin diharapkan menggantikan bergosip atau bergunjing. Gibah sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “membicarakan keburukan (keaiban) orang lain. Gibah itu dilarang dalam agama Islam tapi malah menjadi acara-acara seru di televisi dan meriah di media sosial. Gibah di keseharian tetap melibatkan orang-orang ingin berlagak paling benar, bijak, dan suci. Kita pun sulit menghindar dari hasrat gibah. Quraish Shihab menjelaskan: “Kata ‘gibah’ terambil dari bahasa Arab (ghibbah) yang berasal dari kata ghaib yang makna dasarnya adalah sesuatu yang tidak dijangkau mata.”
Makna pun berkembang sampai kita mengartikan setara bergosip atau bergunjing. Kita dianjurkan menghindari gibah meski sulit gara-gara rajin menonton acara di televisi dan turut ribut di isu-isu membara beredar di media sosial. Pilihan membaca buku berjudul Kosakata Keagamaan mungkin mengajari kita cermat dan serius memahami sekian kosakata, sebelum itu diucapkan atau ditulis dalam pelbagai pamrih. Kita ingin mendapat faedah dengan dampak sadar bahasa dan menghindari gibah berkaitan politik, asmara, pendidikan, bisnis, atau dakwah. Begitu.