Oleh Hamidulloh Ibda
Saya teringat pesan guru literasi dulu; “Menulis malam-malam, bahkan sampai pagi itu berkarya, bukan begadang”.
Ya, namanya mahasiswa masih idealis, tiada masalah. Namun, apakah selamanya seperti itu ketika sudah berkeluarga?
Sampai detik ini, ternyata hal itu memang benar adanya. Banyak teman-teman yang tumbang, macet menulis karena banyak alasan. Pertama, jenuh. Kedua, sudah bekerja tetap dan tetap bekerja. Ketiga, beralih profesi karena menjadi penulis itu tidak dapat dijadikan sumur keuangan untuk menghidupi anak dan istri. Keempat, sibuk jali kuli tinta, ya wartawan cetak, siber bahkan televisi.
- Iklan -
Kelima, menjadi penulis tidak menjanjikan, honornya tak humanis, apalagi koran-koran cetak saat ini “tidak kuat” lagi memberi honor penulis. Beberapa sih, tidak semua. Keenam, mereka membuat media sendiri dan sibuk membesarkan medianya masing-masing. Bahkan juga mengembangkan Youtube.
Teman-teman di atas saya, sebut saja Kang M Abdullah Badri, Junaidi Abdul Munif, Musyafak, atau seangkatan dengan saya seperti Khotim Muzakka, Arif Srabilor, Nafiul Haris, dan lainnya juga sudah sibuk dengan urusan dunianya masing-masing. Tapi, mereka masih menulis meski tidak seproduktif zaman kuliah dulu.
Berkarya Bukan Begadang
Kembali ihwal berkarya vs begadang. Profesi di sini memang mendukung kita dapat bertahan atau tidak dalam melanjutkan hobi zaman dulu. Dorongan ekonomi juga menjadi alasan. Sebab, jika dulu produktif itu memang mafhum satu alasan “untuk mendapatkan honor” agar dapat bertahan hidup, membayar kuliah, dan bahasa engkeknya “mandiri” lah.
Dulu, satu hari, kebanyakan teman-teman yang saya sebut artikelis atau esais itu mampu memproduksi lima bahkan sepuluh artikel atau esai populer. Edan. Zaman dulu, menulis ya begadang, begadang ya menulis. Keduanya tak bisa dipisah. Susah memisahnya.
Tak tidur sampai pagi, lupa waktu ketika sudah di depan laptop. Lupa makan, bahkan tidak makan, karena di samping laptop hanya ada kopi dan tembakau berbungkus kertas. Begitulah nasib kuli kata-kata.
Ini diperkuat, saat Selasa malam (4/8/2020), kami Tim Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) sowan ke Dr. S. Prasetyo Utomo, sastrawan Semarang. Beliau mengeluarkan petuah bahwa proses menulis itu lama. Saya merasa la kok podho? Maksudnya, untuk menghasilkan tulisan bernas memang butuh waktu lama. Paling nyaman dan nendang saat produksi tulisan ya ketika malam bahkan dini hari.
Saya yakin, ulama dan para wali bisa menjadi orang besar, hafal Quran, karena tirakatnya kuat. Salah satunya melek bengi. Aturannya, tidur di atas pukul 24.00 WIB, dan bangun sebelum subuh. Ini kan berat, Bro?
Ini berbeda dengan zaman sekarang. Mahasiswa yang nyuwun sewu ya begitu-begitu saja kemampuan intelektualnya, kebanyakan tidak menghabiskan waktu untuk begadang, eh berkarya. Tapi sekadar kongkow kosong dan didominasi tradisi lisan.
Mengikat Kata
Dalam Islam sendiri, perintah membaca itu sejak dulu diperintahkan Tuhan pada Kanjeng Nabi Muhammad. Saya juga heran, kok bisa-bisanya, perintah pertama dalam Alquran surat Al-alaq itu iqra’, fi’il amr yang muaranya literasi, bukan pada ibadah mahzah? Kan membaca bukan ibadah mahzah, hanya dipahami bagian dari aktivitas resepsi pada sebuah teks.
Membaca itu juga susah, karena membaca serius hanya dilakukan ketika orang punya kepentingan. Entah karena dorongan mengetahui informasi, mengritik, atau meresepsi rujukan ketika menulis. Poin terakhir inilah yang menjadikan pameo “bacalah apa yang Anda tulis, tulislah yang Anda baca” menjadi sedikit bahkan ilmiah seutuhnya.
Maka, menulis menjadi puncak terakhir ketik orang itu membaca. Ketika orang membaca, belum tentu ia menulis. Ya, menulis paling mentok menjadi status di WhatsApps, belum menjadi deratan narasi yang berisi. Mengikat kata inilah pekerjaan yang mudah karena menderat huruf, kata, frasa, kalimat, paragraf yang apik dan informatif sekaligus menjadi mesin waktu yang membuat orang tahu, marah, tergugah bahkan mengubah dunia. La jelas kok, buku itu jendala dunia kan?
Akan tetapi, kegiatan membaca yang tidak digerakkan dalam sebuah tulisan ya akan menjadi sebuah bayang-bayang informasi, pengetahuan, atau doktrin begitu saja. Namun, ketika sudah ditulis, apalagi dalam keadaan sadar, maka akan menjadi corong dalam menelurkan gagasan maupun ide-ide kita.
Apakah menulis pasti membaca dan melahirkan gagasan baru, novelty? Ternyata juga tidak. Ada beberapa penulis yang sudah terbiasa membaca di luar teks, bisa konteks, interteks, ia dapat menelurkan gagasan baru yang bernas. Jika membaca lalu menulis, dan yang ditulis hanya kliping teori, ya sama saja, itu sih menulis artikel ilmiah.
Maka dengan skema seperti ini, menulis yang original itu ternyata ada pada karya sastra itu sendiri. Berbeda dengan artikel atau esai, apalagi mazhab ilmiah yang sangat kaku, harus logis, empiris, sistematis, metodologis, dan lainnya.
Tapi, lupakan itu semua. Sing penting nulis terus, karena kata-kata itu ya pasti memiliki kekuatan dan manfaatnya sendiri. Maka, mau Anda begadang suntuk asalkan itu melahirkan ide-ide baru, atau ide lama yang diperbarui, itu tetap berkarnya. Yang namanya begadang itu ya pasti “ada artinya”. Ini saya agak memberontak gagasan H. Rhoma Irama yang menelurkan lagu Begadang pada album Begadang yang dirillis tahun 1973 dan dijadikan film Begadang pada 1978. Sebab, seolah-olah, ini seolah-olah lo ya, “begadang itu tidak ada artinya”. Meskipun, Rhoma sendiri juga menegaskan “begadang boleh saja kalau ada artinya”.
Wilayah begadang itu secara sederhana adalah bentuk tindakan partikular. Namun jika dijadikan untuk berkarya, maka akan menjadi aktivitas universal, untuk umat. Ini soal universalitas dan partikularisme.
Kalau saya, begadang itu ya harus berkarya, meski berkarya tak harus begadang. Tapi yang jelas, menulis ya menulis. Toh, nyatanya memang dari tulisan itu saya dapat hidup, dapat istri, bahkan dua anak saya juga produk literasi. Anak saya pertama diberi nama Sastra Nadira Iswara, anak kedua Aksara Litera Ibdaputra. Apakah dua anak saya itu produk berkarya atau produk begadang?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM)