Oleh Hamidulloh Ibda
Zaman kecil sekira usia MI sampai MTs, ketika pergi belajar ke madrasah, saya tidak pernah naik sepeda sendiri. Maklum, tidak punya. Saya dan teman-teman lebih menikmati jalan kaki menyisir area persawahan. Selain bebas polusi, melalui area persawahan sangat alami, karena kami sering ciblon (berenang) dan kecek (mainan air) kala musim hujan.
Kadangkala, usai dari madrasah, kami tak pulang malah ngumbulke layangan. Bahkan, mencuri tebu, semangka, dan tanaman di sawah lainnya. Dan, kami juga sering nebeng dokar ketika pulang di MI saya yang dekat rumahnya Pak Marwan Jafar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia pada Kabinet Kerja sejak 27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016 itu. MI ku lumayan terpencil, tepatnya di Dukuh Seti arah Desa Banyutowo, di Desa Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Pati.
Kadang kala, dijemput ibu saya dengan sepeda. Kadang nebeng dokar, atau bonceng almarhum bapak saya, tapi seringnya memang jalan kaki. Memiliki sepeda tahun 1990-an kala itu memang sudah lumayan dibilang orang punya. Berbeda dengan sekarang, hampir semua rumah di desa-desa, minimal ada dua bahkan lima sepeda motor yang didominasi matic, ditambah ada mobil, dan kendaraan lainnya.
- Iklan -
Masa kecil puluhan tahun lalu itu, mungkin hampir sama dengan masa kecil Anda. Atau Anda tak kenal sawah, tegal, tambak, laut, atau ihwal “nyolong-menyolong” semangka itu. Lebih-lebih, waktu kecil saat MI, saya sudah dibelikan kambing oleh almarhum bapak. Jadi, tak ada waktu untuk “pit-pitan” kecuali saat agustusan, atau saat MTs saat malam hari di bulan Ramadan, kami “pit-pitan” dengan menyalakan lampu di sepeda lengkap dengan dinamonya. Ya, praktis hanya itu.
Sepeda seolah menjadi mesin pemutar waktu bagi saya, bahkan kita kembali belajar menggerakkan badan. Mengayuh dengan kaki, menatap jalan depan, melindungi roda kehidupan dari duri dan paku, menjaga keseimbangan di jalan raya, mencipta keamanan dan menjaga nyawa saat pengembaraan lalu lintas. Itulah pelajaran tentang bersepeda.
Soal sepeda, saat ini sedang naik daun, musim, tren lah. Tapi, banyak sekali cerita atau lelucon sepeda yang perlu kita bawa ke alam pikir kita. Sebab, sepeda ini bukan sekadar kendaraan roda dua, bukan pula soal tren, tapi ini soal cara berpikir yang menentukan cara hidup masyarakat.
Lelucon Sepeda
Ihwal sepeda, ada beberapa lelucon sepeda yang saya catat. Pertama, biyen pas aku mung mlaku, kancaku wes ngepit. Aku duwe pit, kancaku numpake motor. Aku duwe motor, kancaku numpake mobil. Sak iki aku numpak mobil, kancaku tumpakane pit. Kadang urip seembuh itu. -meme-
Demikian tangkapan layar teman saya, dosen di kampus negeri yang menyadur kata-kata itu dari teman dosennya. Memang mbuh.
Kedua, waktu jadi karyawan, kendaraannya sepeda motor. Waktu jadi manajer, kendaraannya mobil sederhana. Waktu jadi direktur, kendaraannya Mercy. Ketika jadi bos, paling tinggi, kendaraannya sepeda.
Ketiga, dalam dunia bisnis atau perusahaan ada pula lelucon tentang sepeda. “Kalau manajer-manajer, lobinya lewat golf. Kalau pemilik perusahaan, lobinya pakai sepeda.”
Poin kedua dan ketiga ini muncul dari channel Youtube DI’s Way, pada 10 Juli 2020. Podcast antara Dahlan Iskan dan Azrul Ananda ini juga menegaskan, belum pernah dalam sejarah, sepeda naik kelas kecuali pada era kini. Lambang tertinggi atau status seorang saat ini adalah sepeda.
Selain lelucon atau humor di atas, Gus Dur sendiri memiliki banyak humor tentang sepeda. Artinya, fenomena sepeda yang kini lagi tren, menggeliatkan orang untuk menata cara berpikir dan mengubah perilaku. Minimal itu.
Sebab, di atas itu bukan sekadar lelucon, tapi cara berpikir. Seni memahami sepeda harus kita hadirkan di tengah “pandemi sepeda” ini.
Sepeda Simbol Sosial?
Tiap zaman, pola pikir dan pola laku masyarakat memang berbeda. Dulu, orang kaya itu, minimal punya sepeda. Paling dianggap kaya itu, bagi mereka yang punya sepeda “onta”, “unta”, pit kebo, atau sepeda pancal, khususnya yang kalau jalan berbunyi ngecek.
Dalam sejarahnya, sepeda onta atau onthel ini sudah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Hanya konglomerat yang punya kala itu. Dalam bahasa asing, Inggris khususnya, sepeda ini disebut sebagai roadster bicycle. Beberapa merk ternama adalah Gazelle, Sunbeam, Fongers, Burgers, Simplex, Raleigh, Humber, Rudge, Batavus, Phillips, NSU, dan lainnya.
Meski sekarang langka, namun pemilik sepeda jenis itu, kala itu hingga kini tetap dianggap “barang mewah”. Lambat laun, kalibernya lalu bergeser yang kaya adalah memiliki sepeda motor. Bergeser lagi, yang kaya yang kuat membeli “rodo papat” alias mobil.
Mobil pun berkelas. Dari mobil kereta yang pertama kali di Indonesia seperti Mercedes-Benz Victoria Phaeton, atau berkembang seperti Daihatsu S78 (Daihatsu Tuyul), Datsun 120Y (Datsun Curut), Toyota Crown MS60 & MS65 (Toyota Lele), Toyota Kijang (Kijang Boyo), Kijang LGX (Kijang Kapsul), Mitsubishi L300 (Elsapek), Suzuki Jimny (Jimny Jangkrik), Daihatsu Taft (Taft Kebo), dan lainnya sampai yang harga miliaran. Dan kini, mobil bukan lagi barang mewah, karena orang dengan mudah mempunyai mobil dengan sistem kredit, utang lah, atau beli mobil dari lelang.
Ketika mobil sudah disebut barang biasa dan bukan barang mewah lagi, maka yang masih “keren” dan disebut beruang adalah pemilik motor gede alias moge. Sepeda motor klasik dan nyentrik inilah yang dinilai memiliki banyak uang. Kelasnya sudah konglomerat, pengusaha, atau bahkan pejabat. Sebut saja Kaisar Ruby V250, Yamaha XV535, Yamaha XS650, Honda VT1100, sampai moge Harley Davidson Street 500, Harley Davidson Street Road, Harley Davidson Iron 883, Harley Davidson Low Rider, Harley Davidson Roadstrer, dan lainnya.
Lalu, apakah kendaraan-kendaraan di atas masih menjadi simbol sosial, atau kekayaan seorang? Tampaknya tidak. Jika kita melihat beberapa harga sepeda saat ini, awal kali membaca informasi di media online, makdeg bikin kaget. Kalau sekadar merk Polygon, United, Pacific, sampai Element, itu sih kelas biasa, meski satupun saya tak punya.
Namun jika kita baca informasi di Liputan6.com, 28 Juni 2020, banyak daftar sepeda yang harganya bisa untuk membangun madrasah sampai pesantrennya lantai lima. Pertama, sepeda 24k Gold Extreme Mountain Bike harganya 1 juta dolar AS atau sekitar Rp14,2 miliar.
Kedua, Trek Butterfly Madone harganya 500 ribu dolar AS atau setara Rp7,1 miliar. Ketiga, Trek Yoshimoto Nara harganya 200 ribu dolar AS atau sekitar Rp2,9 miliar. Keempat, Kaws-trek Madone harganya 160 ribu dolar AS atau setara Rp2,3 miliar. Kelima, Auramania Crystal Edition Gold Bike harganya 114 ribu dolar AS atau sekitar Rp1,6 miliar.
Ini sepeda apa emas satu karung? Harganya bikin orang geleng-geleng. Orang rela merogoh kocek hanya untuk sepeda.
Cara berpikir ini, mengindikasikan bahwa lelucon di atas benar adanya bahwa sepeda menentukan kelas sosial. Orang rela mengeluarkan uang segitu hanya demi sepeda. Sepeda bro! Meski hanya di kalangan penggemar atau pecinta saja, namun memang begitu.
Masalahnya, “pandemi sepeda” ini hanya tren atau harus memberikan efek kebaikan. Ya, minimal ada beberapa aspek. Pertama, mewabahnya sepeda dapat mengurangi polusi udara. Kedua, terkuranginya kemacaten kendaraan bermotor.
Ketiga, alternatif olahraga, atau wahana menyehatkan masyarakat. Keempat, wahana bisnis. Kelima, wahana melawan penyakit. Keenam, wadah bersosialisasi. Ketujuh, mengeliatkan hidup penuh tantangan. Sebab, hari ini banyak generasi rebahan yang malas bergerak.
Masih banyak aspek lain soal sepeda yang dapat menjadi wahana mengolahragakan masyarakat atau memasyarakatkan olahraga. Masalahnya, kapan kita bersepeda bersama? Atau, hanya bisa menikmati berputarnya roda waktu? “Bike lah!”
-Penulis bekerja sebagai dosen dan tidak memiliki sepeda roda dua nonmotor.