Oleh Afina Izzati
Perempuan kerap disandingkan dengan kelemahan. Salah satu sebabnya karena perempuan diciptakan oleh Tuhan dengan fitrah yang bersifat feminin, lembut, dan tidak mempunyai tenaga yang kuat dibandingkan laki-laki. Sehingga banyak pemikiran yang muncul bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan memiliki derajat di bawah laki-laki.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan diantaranya. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban atas sekat yang terbuat begitu saja di antara keduanya.
Islam, sebagaimana termuat dalam Al Qur’an memperlakukan baik individu laki-laki dan perempuan dengan sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu tersebut. Dalam perspektif normativitas Islam, tinggi rendahnya derajat seseorang hanya terletak pada tinggi rendahnya tingkat kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
- Iklan -
Islam tidak memandang perempuan sebagai kaum lemah dan laki-laki yang kuat. Di dalam Al Qur’an Allah telah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 195 yang artinya, “Sebagian kamu dari sebagian yang lain.” Ini menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan anak-anak cucu Adam adalah hasil bertemunya sperma dan ovum. Sehingga setiap manusia terlahir dari sumber yang sama.
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya saja dilihat dari sisi kewajiban dan tuntutan secara umum sebagai makhluk Tuhan. Sama-sama dibebankan untuk menjalankan syari’at, beribadah yang diwajibkan, serta takwa yang dituntutkan.
Namun lebih dari itu, dewasa ini banyak perempuan yang ikut andil dalam berbagai hal termasuk dalam hal kepemimpinan. Dalam buku “Islam Yang Disalah Pahami” dijelaskan, memang tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam keterlibatan diberbagai kegiatan masyarakat, termasuk dalam pemenuhan hak-hak politik. Banyak riwayat yang telah mendukung hal tersebut.
Buku karya Quraish Shibah tersebut mencatat bahwa dalam sejarah telah banyak perempuan yang memegang jabatan publik termasuk petugas Hisbah yang bertugas dengan upaya penegakan ketertiban dalam masyarakat diberbagai segi, termasuk pemeliharaan keamanan. Ini dapat disamakan dengan tugas kepolisian.
Namun demikian ada saja ulama yang tetap tidak memperkenankan seorang perempuan menjadi hakim, apalagi kepala negara. Pandangan tersebut lahir akibat kondisi perempuan di masa lalu, ditambah dengan pemahan keliru mengenai hadis Nabi SAW bahwa “Tidah akan menang atau sukses satu kaum yang menyerahkan urusan (negeri) mereka kepada perempuan (H.R Bukhori)”
Quraish Shihab menjelaskan bahwa hadis tersebut tidak serta merta umum mencakup semua kondisi dan situasi. Dapat diduga keras bahwa pemahaman ulama masa lalu dipengaruhi kondisi masyarakat pada masa mereka. Mereka tidak memperhatikan sekian banyak tokoh perempuan yang berhasil memimpin negeri mereka demi mencapai kesejahteraan, seperti Ratu Balqis di Yaman.
Islam juga melarang umatnya untuk melakukan penindasan dan perlakuan buruk kepada perempuan. Dengan demikian, segala bentuk pelecehan terhadap perempuan adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan dalam Islam yang pada dasarnya sangat memuliakan perempuan. Namun karena ada segelintir umat dengan mengatas namakan Islam yang menindas dan mengekang kaum hawa maka citra Islam sebagai agama yang ramah perempuan menjadi pudar.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan seperti laki-laki dan perempuan yang berpotensi untuk meraih prestasi yang sama secara optimal. Dalam Al Qur’an Surat Ali-Imran: 195 artinya “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain… ”
Ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh laki-laki saja. Namun juga perempuan berpeluang memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi setinggi-tingginya.
Meski demikian, bukan berarti antara laki-laki dan perempuan menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam berbagai hal seperti peran, pekerjaan, status sosial, kewajiban, dan hak sama dengan melanggar kodrat. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan mendasar seperti dalam hal biologis, kempuan fisik, sifat, emosi, serta pemikiran.
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 36 menjelaskan “Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan”. Dari sini dapat dipahami bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan-perbedaan secara mandasar sebagai makhluk Tuhan, sehingga tidak seluruhnya antara keduanya bisa disetarakan.
Di antara keduanya memiliki porsi masing-masing dalam hal penyetaraan. Perempuan memiliki hak yang sama sebagai sesama makhluk Tuhan. Namun disisi lain perempuan juga memiliki batasan-batasan tertentu yang tidak bisa disamakan dengan kaum laki-laki. Sehingga dapat dipahami bahwa Allah menciptakan setiap makluk-Nya dengan memiliki kelebihan masing-masing yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Hal ini seharusnya dapat diimbangi dengan sikap sosial masyarakat yang ditunjukkan. Hidup berdampingan di antara keduanya sudah menjadi takdir Tuhan yang tidak dapat dinafikan. Kehidupan dengan penuh penghargaan antara laki-laki dan perempuan, diharapkan dapat menjadi jalan hamonisasi atas dasar syukur kepada sang illahi.
-Penulis adalah Pengurus Fatayat NU Kudus