Oleh S. Prasetyo Utomo
BARU sekarang Broto sadar bila istrinya, Laksmita, selama ini berguru pada seorang nenek yang tinggal seorang diri di lereng bukit. Orang-orang mengatakan tempat tinggal nenek sebagai rumah pelangi, sebab bila hujan turun, terpancar sinar matahari, tampak lengkung pelangi di bubungan atap rumah nenek. Lengkung pelangi itu biasa tampak, dilihat orang-orang sekitar. Mereka sepakat memanggil nenek itu Nyai Pelangi. Nenek itu tidak akrab dengan orang-orang sekitar karena perilakunya yang dianggap aneh. Ia tak bergaul dengan tetangga. Ia selalu mengaji ke pesantren-pesantren yang jauh, dan tak pernah berguru pada para kiai di sekitar tempat tinggalnya.
Sungguh tak pernah diduga Broto, sore itu istrinya berpamitan mengaji pada Nyai Pelangi. Perempuan tua itu tampak kukuh tubuhnya, santun, bila sedang duduk di teras rumahnya membaca kitab suci. Wajahnya menunduk. Suaranya nyaring, lirih, tetapi begitu jelas menyusup ke telinga Broto yang kebetulan melintasi pelataran rumahnya.
“Sudah lama aku tak mengaji pada Nyai Pelangi,” kata Laksmita, mohon diri pada Broto. Tentu saja Broto tak mungkin menghalanginya. Lelaki itu menahan keheranannya pada kesetiaan Laksmita, karena Nyai Pelangi dikenal sebagai seorang perempuan tua yang dikucilkan orang-orang. Nyai Pelangi tak pernah berguru pada para kiai di sekitar lereng Merapi. Ia dianggap sebagai orang asing, aneh, dan ajarannya dicurigai.
- Iklan -
“Kenapa mesti berguru padanya?” tanya Broto, yang tak memahami kenapa istrinya berguru pada Nyai Pelangi, dan tidak mengaji pada kiai di masjid terdekat.
“Dulu, semasa aku kecil, tiap kali ngaji di masjid, diolok-olok teman-teman dengan seruan anak preman. Saya pindah ke kiai lain, masih diolok-olok sebagai anak preman. Tapi ketika aku mengaji pada Nyai Pelangi yang tak punya santri, tak seorang pun mengolok-olokku.”
“Kau perlu kuantar?”
“Aku terbiasa berangkat ke rumahnya seorang diri, sore hari begini, dan pulang setelah magrib, ketika anak-anak sebayaku sudah masuk ke dalam rumah.”
LANGKAH Laksmita berangkat ke rumah Nyai Pelangi melewati jalan setapak, di antara jalan kampung, berpapasan dengan orang-orang yang baru pulang dari ladang lereng gunung. Rumah Nyai Pelangi berada di ladang agak tinggi, terpencil. Laksmita tak tega pada Nyai Pelangi yang tinggal seorang diri, hanya ditemani seekor kucing. Dia seorang pengembara, membeli sebuah rumah terpencil, di sebuah lahan, yang tanamannya senantiasa berbuah. Nyai Pelangi makan dari hasil tanaman itu.
Seringkali Laksmita membawa makanan. Langkahnya bergegas begitu mencapai pelataran rumah Nyai Pelangi. Ia masih ingat saat datang pertama kali ke rumah Nyai Pelangi, langkahnya bimbang, takut, tubuhnya gemetar. Ia selalu mendengar suara nenek mengaji seorang diri dengan suara yang lirih dan jernih. Laksmita yang selalu dikucilkan teman-teman sebayanya, yang diejek bahwa ayahnya seorang preman dalam pelarian, menghindari mereka. Nenek itu melambaikan tangan, meminta Laksmita duduk di atas tikar, menghadapi meja kecil, dan katanya, “Jangan takut! Aku akan mengajarimu ngaji!” Gerimis turun, dan matahari masih bersinar, Laksmita tak tahu bila lengkung pelangi menyentuh bubungan atap rumah nenek.
Hari kedua Laksmita datang ke pelataran rumah Nyai Pelangi, tidak lagi bimbang, langkahnya pasti. Tapi ketika ia duduk di tikar, menghadapi meja kecil, Nyai Pelangi berkata pelan, “Jangan sedih. Terimalah takdirmu!” Sore itu tak turun gerimis, tetapi langit di atas rumah Nyai Pelangi berwarna jingga, dalam kilau yang lembut. Laksmita tak pernah melihat kilau jingga langit yang lembut itu.
Hari ketiga berkunjung ke rumah Nyai Pelangi, langkah Laksmita tak lagi takut. Wajahnya tampak segar, memancarkan senyum, meski masih tersipu-sipu. Nyai Pelangi sedang memberi makan kucingnya. Kucing itulah satu-satunya makhluk yang menemaninya. Bila nenek melintasi rumah Laksmita pagi hari membawa sayur-sayuran dari ladangnya, untuk dijual ke pasar, kucing itu mengikuti langkahnya. “Jangan dendam. Meski teman-teman mengucilkanmu, maafkan mereka!” kata Nyai Pelangi. Laksmita mendengar gemeretak lembut rintik gerimis. Tapi ia tak melihat lengkung pelangi samar di bubungan atap rumah nenek. Ia pun mulai belajar mengaji.
Hari keempat hadir ke rumah Nyai Pelangi, Laksmita merasakan ketenteraman. Nenek menunggunya di depan meja kecil. Nenek memandangi wajah Laksmita sesaat, dan berkata, “Kau mulai berubah sekarang. Tidak lagi tampak sedih. Jangan pernah merasa sunyi. Cobalah untuk selalu mengingat keberuntunganmu. Kau akan tahu kelak, kenapa kau diajak ayahmu bersembunyi di tempat senyap serupa ini.”
Hari kelima hadir ke rumah Nyai Pelangi, Laksmita belum tahu mengapa nenek itu berkenan menerimanya sebagai murid mengaji. Tapi ia tak perlu tahu, kenapa Nyai Pelangi berkenan menerimanya sebagai satu-satunya murid. Laksmita tak pernah bisa paham asal-usul Nyai Pelangi. Ia seorang pendatang, yang baru sekitar dua tahun menempati rumahnya. “Jangan terlalu bergantung padaku. Suatu hari aku akan meninggalkanmu. Carilah kehidupanmu sendiri!” Sore itu turun hujan. Tapi ketika Laksmita akan pulang, sebelum langit gelap, hujan berhenti. Langit bersih, memberi ruang pada Laksmita agar bisa pulang tanpa kuyup air hujan.
Hari keenam Laksmita berkunjung ke rumah Nyai Pelangi, ia sudah merasa terbiasa dengan nenek dan kucing kesayangannya. Ia sudah mulai akrab dengan nenek. Ia merasa menemukan perlindungan di rumah ini. Tetapi nenek berkata, “Jangan pernah merasa terlindung dengan kehadiranku. Bukan aku pelindungmu. Kau harus mendekat sendiri pada Pelindungmu, yang tak mungkin meninggalkanmu sendirian.” Sore itu ia makan dan minum di rumah Nyai Pelangi, dan merasakan seperti menemukan nenek yang sangat menyayanginya. Ia tak pernah merasakan kehangatan seorang nenek – bahkan kehangatan seorang ibu – sebab ia hanya hidup berdua dengan ayahnya. Ibunya masih hidup. Tapi ibunya meninggalkan rumah, tak ingin mendampingi Ayah, seorang preman yang sedang diburu penembak misterius.
Hari ketujuh Laksmita datang ke rumah Nyai Pelangi. Ia membawa makanan. Tapi kali ini Nyai Pelangi menerimanya dengan pandangan mata yang tenang dan memberinya kesadaran. “Jangan selalu datang dengan pemberian serupa ini. Memang tangan di atas akan selalu lebih mulia. Tapi bagiku, akan jadi buruk. Karena selalu bergantung pada kebaikan-kebaikanmu.” Sore itu Nyai Pelangi sudah menyediakan makanan dan masakan dari tungku di dapurnya. Nyai Pelangi mengajak Laksmita untuk makan bersama. Begitu pula dengan kucing kesayangan nenek. Laksmita pulang lepas magrib, setelah salat di rumah Nyai Pelangi. Tapi, aneh, ia tidak merasakan kegelapan sepanjang jalan. Langit masih menyisakan bayang-bayang cahaya kemerahan, yang membayangi sepanjang jalan setapak ke rumah Laksmita. Barulah ketika Laksmita memasuki pintu rumah, langit benar-benar gelap.
Hari kedelapan Laksmita mengaji ke rumah Nyai Pelangi. Hujan turun deras dan dia menerabas kucuran air lebat itu dengan membawa payung. Angin kencang berpusar menerpa sekujur tubuh Laksmita. Rambutnya terburai. Memang rambut itu tak basah. Tapi kusut, tak beraturan. Nyai Pelangi menyisir rambut Laksmita. Caranya menyisir rambut pelan, sabar, lembut, dan penuh kasih. Ia tak merasakan kasih sayang ibu, kini menerima kasih sayang seorang perempuan tua yang semula tak dikenalnya. Kini ia menemukan kasih sayang seorang perempuan tua yang asing, dan dianggap aneh orang-orang sekitar. “Hidup ini penuh dengan rintangan. Tiap kali kau terbebas dari satu rintangan, akan menghadang rintangan yang lain. Kau tak boleh putus asa.” Nyai Pelangi berkata penuh kasih, seperti memberi nasihat pada cucu kesayangannya sendiri. Laksmita tak pernah mendengar Nyai Pelangi menceritakan keluarganya: suami, saudara, dan anak-anak. Selama ini orang-orang menyebutnya hidup sebatang kara, tak pernah dijenguk suami, anak-anak, apalagi kerabat.
Hari kesembilan kehadiran Laksmita ke rumah Nyai Pelangi, ia merasakan suatu kebutuhan dan keterikatan untuk bertemu nenek itu. Ia mulai bergantung pada kebaikan-kebaikan Nyai Pelangi. Ia membutuhkan nenek itu untuk memenuhi perasaan jiwanya yang kosong – tanpa ibu yang telah meninggalkannya sejak ia kecil. “Kamu jangan bergantung pada manusia, termasuk bergantung padaku. Suatu saat aku akan meninggalkanmu.” Laksmita terpana, dan merasakan suatu tanda-tanda akan kehilangan nenek yang selama ini menerimanya sebagai murid mengaji, bahkan lebih dari itu, telah menerimanya sebagai cucu, meski tanpa pertautan darah daging.
Ketika Laksmita berangkat ke rumah Nyai Pelangi untuk kesepuluh kalinya, ia melihat sosok nenek itu begitu indah penuh kebahagiaan. Laksmita begitu takjub terhadap Nyai Pelangi yang tak pernah mengeluh dengan kesendiriannya. Ia juga tak pernah cemas dengan tubuhnya yang kian renta. Ia seperti menikmati perjalanan hidupnya. “Suatu hari aku akan pergi meninggalkan tempat ini. Aku akan mencari tempat sepi yang lain, dan menemukan seseorang yang perlu kehadiranku. Hidupku serupa musafir, yang selalu berpindah ke tempat-tempat baru yang tak kutahu.”
“Lalu, bagaimana dengan nasibku?”
“Kau akan segera menemukan jodohmu,” kata Nyai Pelangi, seperti menggoda Laksmita, yang tak yakin dengan gurauan ini. Selama ini ia hanya hidup berdua dengan ayahnya yang lumpuh. Tak seorang lelaki pun yang pernah mendekatinya. Laksmita memang kadang melihat jejaka yang diam-diam memandanginya dengan takjub. Tapi tak pernah lebih dari sekadar memandanginya. Mereka tak pernah menyapa, tak pernah mau berteman, apalagi mengetuk pintu rumah gadis berayah preman yang sedang melakukan persembunyian dari kejaran para penembak misterius.
SAAT Laksmita berpamitan pada Broto untuk mengaji ke rumah Nyai Pelangi menjelang sore hari, gerimis turun dan langit masih memancarkan cahaya matahari, mencipta lengkung pelangi tipis di bubungan atap rumah nenek. Wajah Laksmita terbias pantulan pelangi, berseri-seri di bawah naungan payung. Broto ingin bertemu dengan Nyai Pelangi, karena Laksmita tak pernah berhenti menceritakannya.
Lain kali Broto ingin mengikuti Laksmita ke rumah Nyai Pelangi, ingin menyingkap rahasia keceriaan Laksmita. Dalam pandangan Broto dari pelataran padepokan, dilihatnya betapa cemerlang cahaya pelangi di atas rumah nenek. Pelan-pelan cahaya pelangi itu surut. Langit padam dan gelap. Broto melihat Laksmita menuruni jalan setapak dari pinggang bukit, memasuki padepokan, tersekap remang senja, masih tertabur rintik gerimis. “Nyai Pelangi sudah meninggalkan rumahnya,” kata Laksmita, dengan rasa kehilangan yang mendalam. “Ia meneruskan pengembaraannya. Begitu juga kucing kesayangannya, ikut pula menghilang. Rumah itu kosong. Tak terkunci. Masih kaulihat lengkung pelangi di bubungan atap rumahnya?” Pandana Merdeka, Juli 2020
*S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang segera terbit adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).