Oleh Muallifa
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang memilimki kreatifitas tinggi dengan berbagai sumber bacaan media sosial yang terus mengkampanyekan informasi corona berasal dari ayat Al-Quran, bentuk illluminati, berasal dari bacaan di salah satu pedoman bacaan Iqro. Ilmu cocokologi rasanya begitu dipastikan benar bagi pembaca yang minim literasi, apalagi Indonesia memang minim literasi soal Pandemi Covid-19.
Sikap Maha Tahu yang kita sering temui di berbagai media sosial, padahal belum memiliki keilmuan mumpuni, serta minimnya literasi tanpa analisa yang mendalam, membuat kita semakin ragu dengan segala informasi yang obesitas.
Saat ini, kita berada di posisi dilematis dengan kondisi yang membingungkan terhadap segala sajian pengetahuan yang ditayangkan. Keahlian seseorang pada bidang keilmuan tertentu, seharusnya bisa terus kita gencarkan pengetahuan tersebut agar bisa memberikan informasi edukatif yang bisa dibaca oleh seluruh masyarakat.
- Iklan -
Meskipun demikian, sikap yang harus kita ambil yakni terus semarakkan himbauan dan segala upaya dalam rangka meminimalisir penyebaran Covid-19
Dengan penduduk yang begitu besar dan beragam, tukang bakso, ojol, petani, pemulung, pedagang asongan, penjual ikan di pasar, penjual pentol, cireng, tentu komunikasi kesehatan yang harus diberikan begitu beragam. Rasanya, kalau kita melihat informasi Pandemi Covid-19 tidak ada harapan untuk hidup, semua suram, semakin menambah kepanikan masyarakat awam di berbagai kalangan, pada akhirnya mereka akan musnah bukan disebabkan virus, melainkan disebabkan ketakut, paranoid berlebihan, apalagi disebabkan ketiadaan pangan lantaran mogok kerja.
Belum lagi masalah yang datang begitu gencar, akibat dibebaskannnya para napi dengan status napi asimilasi menyebabkan banyak keresahan yang terjadi. Perampokan, begal, dan tindak kriminalitas lainnya menganggu kesehatan mental masyarakat untuk terus waspada, diliputi rasa takut yang begitu campur aduk akibat Pandemi yang penuh ketidak pastian ini.
Padahal, kalau kata Ibnu Sina, “ Kepanikan adalah separuh adalah separuh penyakit”. Begitulah quote yang tersebar di beberapa media sosial yang bergambar sosok Ibnu Sina sebagai ilmuwan segala ilmu, menguasa berbagai bidang ilmu, mulai dari filsafat,hingga ilmu kdokteran yang menjadi rujuan Eropa. Ibnu Sina sudah mempelajari berbagai bidang keilmuan mulai dari kecil kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan menjadikan dirinya sebagai ahli.
Di Tengah Pandemi Covid-19, tidak perlu menjelma sebagai ahli kesehatan yang harus komentar di berbagai media sosial, apalagi menyebarkan informasi yang bukan berasal dari ahli kesehatan. Sebagai orang awam yang memiliki pengetahuan minimalis persoalan kesehatan, ilmu kedokteran, ikhtiar lahir kita, harus bercermin pada tenaga medis yang sudah memiliki kemampuan di bidang tersebut. Meskipun ikhtiar bathin menjadi prioritas kita sebagai makhluk yang beragama, bukan lantas menyepelekan kemampuan medis.
Jika kita melihat dari berbagai pandemi virus yang sebelumnya, belum ada vaksin yang bisa mencegah covid-19 atau menyembuhkan. Virus itu akan melemah dengan sendirinya sampai waktu yang tidak bisa kita prediksikan, paling tidak kita terus berikhtiar untuk menjaga imun tubuh agar selalu kuat serta tidak mudah dimasuki oleh virus.
Anjuran untuk pola hidup bersih dan sehat terus digencarkan oleh berbagai kalangan. Komunikasi kesehatan harus selalu dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan objek yang dituju.
Dalam melakukan komunikasi kesehatan, Ibnu Sina memiliki cara tersendiri yang bisa kita jadikan sebagai acuan. Semisal ketia ia terapkan pada seorang Pangeran Persia yang mengalami malnutrisi dan mengalami melancholia. Pangeran menolak makan dan punya delusi dia adalah seekor sapi. Ibnu Sina yang melihat kasus tersebut kemudian mengirim seorang tukang sembelih hewan karena dia ingin pangeran bahagia. Tukang sembelih kemudian memposisikan pangeran mirip sapi yang hendak disembelih, sementara Ibnu Sina ikut mendekatinya sambil membawa pisau.
“Sapi ini terlalu kurus dan tidak siap dipotong. Sapi harus diberi makan yang cukup supaya cukup sehat, gemuk, dan bisa disembelih,” kata Ibnu Sina yang saat itu seperti hendak menyembelih sapi. Setelah mendengar itu, sang Pangeran langsung makan dan akhrirnya sembuh.
Ikhtiar lahir terus digencarkan sebagai perwujudan manusia yang diciptakan oleh Allah Swt agar selalu berusaha atas segala yang sudah menjadi ketetapanNya. Ikhtoar bathin juga menjadi hal yang utama agar tidak lupa, dan selalu ingat bahwa Allah sang Maha Mengetahui.
Kita bisa melihat pendekatan psikologi yang dilakukan oleh Ibnu Sina. Dengan berbagai karakter masyarakat kita yang berbeda. Pola pendekatan untuk memberikan ajuran pola hidup bersih dan sehat sangat berbeda diberikan kepada pejabat publik dengan bapak tani yang ada di sawah.
Bagi bapak Tani, mandi dengan lumpur yang isinya bermacam virus tersebut sudah biasa, jadi komunikasi yang diberikan juga sangat berbeda, semisal dengan memberikan arahan kepada penyuluh pertanian untuk selalu mencuci tangan, sebab Pak tani tidak sempat untuk membuka facebook, media sosial, sudah sibuk dengan berbagai gabah yang harus dijemur untuk bisa menyambung hidup. Seluruh elemen dari berbagai kelompok masyarakat harus sama-sama bersinergi melakukan komunikasi kesehatan kepadaseluruh masyarakat agar ter-cover dengan baik.
Komunikasi kesehtatan perlu kita kampanyekan kepada seluruh elemen masyarakat, kelompok masyarakat, ataupun golongan yang menyentuh semua lini kehidupan agar bisa melakukan pola hidup bersih dan sehat dengan berbagai cara atau pendekatan yang bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi psikologi orang tersebut.
-Penulis pengurus IPPNU Sampang.