Oleh Ahmad Hamid
Zaman dulu, anak-anak SD kalau ditanya tentang cita-cita pasti jawabnya biasa, itu-itu saja. Ada yang ingin menjadi dokter, perawat, pramugari, polisi, tentara, astronot, guru dan lain-lain, intinya yang masih sejenis dengan itu, terutama pekerjaan yang sudah familiar di telinga. Namun belakangan anak-anak kalau ditanya cita-cita, jawabnya sudah banyak yang berwarna ada yang jawab menjadi youtuber, selegram, Beauty vlogger, peretas dan traveler.
Apakah salah dengan cita-cita anak yang sudah mulai bergeser? Apakah orang tua ada yang khawatir dengan cita-cita anak-anaknya? Mungkin juga, karena sebagai orang tua yang awam alias gaptek istilah-istilah itu, mungkin menimbulkan banyak pertanyaan “makanan opo iku?” tetapi sebagian lagi tidak khawatir tentang cita-cita anaknya bahkan mendukung. Orang tua sadar bahwa zaman sangat cepat sekali berubah, begitu juga dengan cita – cita. Mungkin kita sebagai orang tua bisa berpegang denga quote dari Ali bin Abi Thalib “ Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”. Dari quote ini jelas bahwa Islam juga mengajarkan untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya, tidak sesuai dengan didikan orang tuanya dulu.
Namun terlepas dari perbedaan zaman bukan berarti orang tua membebaskan anak sebebas-bebasnya, tetap dalam koridor agama, hanya menyadari “zaman” tidak dengan istilah otoriter.
- Iklan -
Tidak ada yang salah dengan cita-cita anak, orang tua hanya mengawasi dan mendorong untuk selalu positif. Apa yang akan dilakukan dan hasil dari pekerjaan anak, intinya bermanfaat untuk diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Lalu apa yang mendorong anak-anak bercita-cita untuk menjadi_ contoh yang paling terkenal youtuber. Tidak bisa dipungkiri anak-anak sering menonton televisi atau chanel youtube. Jadi mereka kenal yang namanya: Ria Ricis, Atta Halilintar, Raditya Dika, Sabyan Gambus, Gen Halilintar, Jes No Limit, Miawaug dan lain-lain.
Meskipun kadang sebagian orang menganggap ada video yang “sampah” namun kenyataan penghasilan mereka dari Youtube per tahunnya sekitar 2,6 miliar sampai 43 miliar.
Hal itu yang mendorong anak tertarik bercita-cita menjadi Youtuber. Dan ditambah dengan perkembangn tekhnologi, terutama internet membuat orang-orang kreatif untuk memanfaatkan tekhnologi ini. Dimulai dari menawarkan barang, silaturahim, belajar bahkan untuk mengerjai atau bahasa kerennya nge-prank orang.
Nah ini yang salah, PR kita bersama sebagai orang tua dan guru untuk mendidik, membangun karakter anak sejak dini. Jangan hanya karena ingin uang miliaran tadi menghalalkan segala cara.
Seperti yang sedang viral di media sosial, dua pemuda yang berasal dari kota Bandung, Jawa Barat. Mereka membuat konten youtube, dengan cara membagi-bagikan sembako tetapi di dalamnya hanya sampah.
Niatnya mencari sensasi, mencari subcribe dan viewer atau mengarah ke hal iseng. Kreatif dan inovatif tidak masalah, malah dianjurkan terutama di dalam dunia pendidikan. Tetapi logika dan hati nurani harus tetap digunakan.
Jangan sampai niatnya iseng malah berurusan dengan pihak yang berwajib dan terkena Undang- Undang ITE dengan maksimal kurungan penjara 12 tahun. Ini yang dinamakan kreatif yang berlebihan yang menghancurkan masa depan.
Kita tahu Indonesia, dunia bahkan, sedang mengalamai masa sulit, karena pandemi virus corona, itu jelas melumpuhkan beberapa sektor termasuk sektor ekonomi. Pendapatan masyarakat menurun, terutama kelas menengah ke bawah. Mereka sudah pusing memikirkan perut, bagaimana besok akan makan, cari dimana bahan makanan yang akan dimakan untuk besok. Jadi dalam situasi yang seperti itu, ada orang yang membagi sembako bisa dikatakan seperti malaikat penyelamat.
Tapi kalau malaikat penyelamat itu hanya fatamorgana, hanya menjadikan patah hati masyarakat kecil, bukan malaikat lagi namanya tetapi iblis laknat.
Menurut saya masih banyak, menjual konten yang lebih bermanfaat, contoh saja seperti membangunkan orang sahur dengan alat musik atau sholawat dan sejenisnya, saya yakin orang pasti akan suka melihat. Apalagi pemuda tersebut di anugerahi oleh Allah paras yang tampan.
Atau mereka, mohon maaf non- Muslim, mereka bisa menonjolkan kebinekaannya, kerukunan, seperti membagikan takjil ketika berbuka puasa, atau sosialisasi tentang virus corona justru itu lebih bermanfaat.
Youtuber yang baik juga masih banyak tetapi yang hanya memikirkan viewer, juga tidak kalah banyak. Beberapa minggu yang lalu juga ada prank, muter-muter mencari orang yang sedang berpuasa. Bukan untuk dikasih hadiah karena berpuasa. Tetapi orang yang berpuasa itu harus membatalkan puasanya dengan diiming-imingi uang Rp. 10.000.000,00. Apa bedanya dengan Dajjal kalau demikian?
Apa tidak sebaiknya, ya masih dalam rasa-rasa prank, cari orang yang makan akan merokok di tempat umum saat bulan puasa, kemudian orang tersebut diberi tantangan suruh sembunyi ketika makan, untuk menghormati kaum Muslim yang sedang puasa. Atau orang yang tidak puasa tadi disuruh berpuasa full sampai magrib, sampai malam takbiran, kalau berhasil akan dikasih hadiah senilai sepeda motor atau diumrahkan. Nah ini jauh lebih bermanfaat di mata masyarakat.
Satu lagi, Youtuber yang paling kaya di kawasan Asia Tenggara. Membuat konten dengan background sedang sholat berjamaah. Iya itu sangat bagus, tetapi ending-nya. Salat sambil angkat telephone, salat ndorong-dorongan, dan bacaan Al qur’annya dibuat mainan.
Padahal sekarang semua lapisan masyarakat dari anak kecil hingga orang tua tidak bisa dilepas dari yang namanya youtube, kira-kira kalau demikian pengaruhnya positif atau negatif? Terutama untuk anak-anak!
Terlepas dari itu, namanya manusia pasti ada sisi positif dan negatifnya, tinggal mana yang akan digunakan. Masih banyak juga youtuber yang baik, menyumbang miliaran rupiah untuk penanggulangan covid-19. Tententunya itu sangat baik dan perlu dicontoh, namun yang tidak perlu dicontoh adalah kalau cara menghasilkan uangnya dengan melecehkan orang atau agama tertentu, itu sama saja dengan mencuci baju dengan air kencingnya sendiri.
Intinya tidak ada cita-cita yang salah, asal orang tua mengarahkan dengan hal-hal yang positif. Dan jangan sekali-kali memanfaatkan situasi dengan bahasa lain, tersenyum di atas penderitaan orang.
Tanpa disenyumi saja, orang menderita sudah sakit!
-Guru di Yayasan Al Madina Wonosobo, Relawan Literasi Ma’arif