Cerpen Risen Dhawuh Abdullah
Aku menyesal, betapa tidak sekalipun memberanikan diri menemui penghuni rumah bercat biru muda itu. Padahal keinginan untuk menemui selalu ada. Nyali yang ciut selalu hadir dan menyergapku. Aku selalu tidak pernah mampu melawan nyali ciut itu.
Aku tidak tahu, kapan rumah itu berdiri. Ketika aku memutuskan untuk sedikit berganti rute menjajakan siomay, rumah itu sudah ada. Rupa rumah itu menandakan pemiliknya adalah orang yang berada. Pada awalnya memang aku tidak menghiraukan rumah itu. Aku tidak pernah menduga sebelumnya, rumah itu kemudian membuka kenangan pahit di masa silam.
Sore ini aku kembali melintas, meski aku tahu, tidak mungkin bertemu dengan penghuninya. Aku berhenti di depan rumah itu, dan memukul kentongan siomay. Sore ini, sekitaran rumah itu terlihat sepi. Tiga hari yang lalu aku menyempatkan diri bertanya kepada seseorang yang entah siapa—aku menduga orang itu tinggal tidak jauh dari rumah itu—perihal keberadaan pemilik rumah itu.
- Iklan -
“Sudah pindah, Mas. Tapi setahu saya hanya mengontrak, bukan miliknya,” kata orang yang kutanyai. Dugaanku selama ini salah, ternyata penghuninya hanya mengontrak. Saat kutanya, pindah ke mana, orang itu tidak mengetahui.
Aku berjualan siomay semenjak lima tahun yang lalu, dengan cara berkeliling menggunakan sepeda motor. Aku sedikit berganti rute berjualan sejak tiga tahun yang lalu, yaitu mengganti rute jalan yang biasa kulewati—jalan ini mengarah ke sebuah sekolah favorit di kecamatan tempat tinggalku—menjadi sedikit memutar, melewati jalan yang tidak lain adalah jalan depan rumah bercat biru muda itu.
Pada saat pertama kali aku melihat orang yang kukira pemilik rumah itu, malam harinya aku tidak dapat memejamkan mata—aku menerka usia orang itu sekitar enam puluhan tahun. Wajah orang itu begitu melekat di angan. Pikiranku terus tertuju pada orang itu. Hari berikutnya dengan jantung yang berdegup kencang, aku melintas depan rumah itu. Pintu rumah dalam keadaan tertutup, dan aku hanya mendapati seseorang lelaki mengenakan kaos yang warnanya kelihatan kusam sedang menyapu halaman rumah. Aku kecewa. Padahal aku berharap, orang itu ada di depan rumah. Aku ingin memastikan penglihatanku tidak salah.
Aku tidak pernah melihatnya lagi, hingga enam bulan setelahnya. Selama rentang waktu itu, yang kulihat hanyalah seorang perempuan muda atau lelaki muda, terkadang kedua-duanya secara bersamaan. Sering saat aku lewat depan rumah itu, perempuan muda itu sedang bersama seorang anak kecil yang mungkin berusia dua tahunan. Siapakah mereka?
Di tengah aku berharap, kembali mendapati orang itu di depan rumah itu, pertanyaan mengenai siapa kedua orang itu selalu hadir. Aku hanya bisa menerka-nerka. Aku menduga kedua orang itu ialah anak dari orang yang membuatku penasaran. Akan tetapi setelah aku disadarkan akan kehadiran anak kecil yang sering bersama mereka, dugaan itu berubah. Aku menduga mereka adalah suami istri dan anak kecil itu anaknya. Namun hadirnya wajah orang yang kunanti-nanti kemunculannya di depan rumah itu, membuatku sedikit mengubah dugaan, salah satu dari dua orang itu ialah anaknya.
Setahun kemudian, aku tidak juga melihat orang itu. Aku ingin bertemu dengan orang itu dengan mengetuk pintu rumah. Nyaliku selalu ciut. Aku takut salah orang. Padahal kalaupun salah orang, itu tidak menjadi suatu masalah yang serius, dan aku bisa meminta maaf kepada orang yang kutemui. Namun tetap saja, nyaliku yang ciut selalu saja berhasil mencegahku untuk ke sana. Mungkin juga karena yang akan kuhadapi bila aku ke sana ialah orang itu.
Lelaki muda yang pernah menggendong anak kecil itu pernah memberhentikanku sekali. Ia membeli empat plastik siomay, dengan masing-masing plastik seharga lima ribu. Aneh, sepanjang aku melayaninya, mulutku lebih sering mengatup daripada berbicara. Aku sebisa mungkin menghindarkan tatapanku dari wajahnya. Lucunya, pada saat itu, aku sama sekali tidak mempunyai inisiatif menanyakan siapa nama orang itu. Selesai melayani, dan lelaki itu membayar dengan uang pas, aku melepaskannya begitu saja. Sepergiku, aku menyesal. Sungguh menyesal. Momen itu seharusnya bisa kugunakan untuk menggali informasi perihal orang itu.
Aku masih setia melintas depan rumah itu, meski yang kuharapkan tidak kunjung terkabul. Di suatu musim layang-layang, aku sering berhenti di depan rumah itu karena tidak jauh dari rumah itu ada lapangan sepakbola. Anak-anak kecil bermain layang-layang di lapangan itu. Aku memang berharap anak-anak kecil itu membeli siomayku. Dan memang ada yang membeli, satu dua orang. Aku bisa memahami kenapa tidak banyak anak kecil yang membeli. Siomay yang kujual memang tidak murah. Siomay yang kubuat bukan sekadar siomay-siomay-nan yang harganya bersahabat dengan kantong anak-anak kecil itu. Siomay-siomay-nan biasanya sekadar siomay yang dibuat tanpa menyertakan daging apapun, hanya sebatas tepung pati dibumbui. Siomay yang kubuat benar-benar menyertakan daging dan lemak sebagai campurannya. Alhasil, harganya pun menjadi lebih mahal daripada siomay-siomay-nan. Aku menghargainya dua ribu per tiga biji. Maka sekali lagi, aku bisa mengerti, dari sekian banyak anak kecil yang di lapangan, hanya satu dua orang saja yang mau mampir untuk mencicipi siomayku.
Sama sekali tidak kupermasalahkan hal itu. Lagi pula aku berhenti, laksana sambil menyelam minum air. Aku tetap saja berharap, orang itu keluar dari rumahnya dan lalu aku bersitatap dengannya. Setelah itu, ternyata dugaanku benar, dan ia mendekat padaku. Lalu kami menanyakan kabar masing-masing, dan sedikit berbasa-basi. Kemudian kami bersepakat untuk bertemu di suatu tempat di hari berikutnya.Aku memberikan maaf atas kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Begitu manisnya bila itu terjadi. Namun itu sekadar rangkaian peristiwa yang kususun dalam rongga kepala. Waktu telah berjalan begitu lama, orang itu tidak juga menampakkan diri.
Aku benar-benar terganggu dengan bayangan wajah orang itu. Tetapi aku sendiri tidak pernah memasuki halaman rumah itu dan melangkah hingga pintu lalu mengetuknya di setiap keinginan untuk memastikan orang itu muncul—paling tidak bila tidak bertemu dengan orang itu, aku bisa menanyakannya pada lelaki atau perempuan muda itu. Tidak pernah. Aku hanya memupuk harapan setiap hari, tanpa tahu kapan terwujud, atau kapan aku mewujudkannya. Nyali ciut begitu kuat menguasai.
Apa yang kuharapkan selama ini hadir tiga bulan yang lalu. Aku tidak memimpikan apa-apa sebelumnya. Sore itu, seperti biasa, aku menjajakan daganganku. Perlu diketahui, jarak rumahku dengan rumah bercat biru muda itu lumayan jauh. Berjarak sekitar lima kilometer. Harapan yang selalu ada pada setiap keberangkatanku dari rumah, hari ini enyah dariku. Sama sekali aku tidak kepikiran harapan itu.Aku melajukan sepeda motorku dengan kecepatan rendah. Saat aku berada beberapa meter dari depan rumah itu, orang yang kuharapkan kemunculannya selama ini sedang berdiri di pinggir jalan. Ia tampak begitu jelas di mataku. Ternyata aku tidak salah lihat. Ia menatap ke arahku. Sepeda motorku masih berjalan. Kami saling tatap, hingga sepeda motorku telah lewat sekitar empat meter dari depan rumahnya itu. Aku mematikan mesin dan turun dari sepeda motor. Orang itu cepat-cepat membuka gerbang. Aku tidak cepat. Orang itu telah berjalan tergesa-gesa meninggalkan gerbang yang telah terkunci menuju pintu rumah.
“Maesaaa….Maesaaaaa….” Teriakku. Aku terus berteriak. Orang itu tidak keluar.
“Maesaaa…. Maesaaaaaa.” Orang itu tidak kunjung keluar. Selain orang itu pun juga tidak ada yang keluar. Pada akhirnya aku memutuskan pergi. Orang itu mungkin memang benar-benar tidak mau menemuiku.
Aku memukul kentongan siomay. Aku tahu, sudah tidak mungkin bertemu orang itu, di rumah bercat biru muda itu. Mereka pergi. Mungkin besok aku akan bertanya ke orang-orang yang tinggal di sekitar rumah itu untuk menanyakan ke mana mereka pindah.
Aku benar-benar rindu dengan masa lalu. Orang yang sudah dua kali kulihat selama aku melintas di depan rumah itu, tidak lain ialah istriku. Aku telah bersedia memberikan maaf padanya jika semisal ia mengakui kesalahan yang telah ia perbuat di masa lalu. Istriku ketahuan selingkuh dengan mantan kekasih di masa lalunya. Pada waktu itu aku marah besar, dan memukulnya hingga menimbulkan memar di beberapa bagian tubuhnya. Istriku pergi dari rumahkudengan membawa anakku yang masih berusia dua tahun. Aku belum pernah menceraikannya. Aku sudah mencarinya ke mana-mana. Aku tidak pernah berhasil menemukannya.
Perginya penghuni rumah bercat biru muda itu, membuatku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya. Sangat kecil kemungkinan untuk bertemu. Di hamparan kesedihan, aku kembali membayangkan, seandainya istriku yang bernama Maesa itu meminta maaf padaku, kemungkinan aku sudah memeluk perempuan muda itu. (*)
Jejak Imaji, 2020
*Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji, Luar Ruang, dan Kompensasi. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.