Cerpen J. Akid Lampacak
Menjelang kepergian Kiai Sepuh, pesantren yang biasa damai, sekarang sontak menjadi sangat ramai, santri-santri ke sana kemari seakan-akan tak sanggup menahan gejolak sedih yang menimpa hati. Sungguh sangat nampak kedukaanya. Apalagi kedukaan masyarakat sekarang juga mulai terang. Ketika teringat hari-hari di mana Kiai Sepuh biasa berdiri. Mengaji, mengajar kitab kuning, hingga pergi ke undangan ceramah dan baca surah yasin di berbagai desa.
Siapa yang tak akan mengenang kepergian Kiai Sepuh, dari golongan petani sampai para dewan, apalagi santri-santrinya yang telah menjadi alumni, mereka-mereka pasti merasa bersedih, ketika mendengar kepergian Kiai Sepuh. Sebab posisi Kiai Sepuh dalam kehidupan mereka, tak hanya menjadi seorang kiai, beliau juga menjadi contoh dalam perjalanan hidup menuju Tuhan. Apalagi beliau ramah, alim dan juga sangat sopan. Maka tak heran jika Kiai Sepuh disegani banyak orang.
Saya masih tak percaya ketika siang lebih menyerupai malam dan malam terasa lebih menyerupai gelap kuburan, suara yang berderai di pojok-pojok masjid dengan sebutan Nama Allah tak terhitung jumlahnya. Melihat jasad Kiai sepuh terbaring di atas keranda, gemuruh langit yang menyelimuti pandangan, seakan memberi tanda bahwa tak hanya mereka yang merasa berduka, tapi alam pun pasrah meneteskan air mata, membasahi tanah yang akan menelan jasadnya.
“Allah. Allah. Allah,” sebutan itu menggema memenuhi penjuru telinga, “bersedihlah, sebut nama tuhanmu, sebab guru kita telah pulang,” kata seorang berjumah putih, dengan air mata berderai serta suara yang parau. Mata saya terasa tergoda melihat tangisannya menyebut istigfar, membuat saya larut dalam rindang kekhusyukan.
- Iklan -
Dari perjalanan masjid ke lokasi asta, orang-orang berebutan ingin memikul keranda yang dikendarai Kiai Sepuh. Saling hantam, saling memperingati karena takut jasad yang mereka muliakan jatuh belum waktunya ke bumi. Saat ini saya merasa seperti berada di tanah suci. Di mana ketika orang-orang saling mendorong hanya ingin mencium Hajar Aswad. Begitu pula dengan suasana saat itu. Keranda yang dikendarai Kiai Sepuh terbang sendiri di atas kepala mereka, karena kaki mereka sudah tak bisa melangkah sebab ramainya.
Hingga sampai di asta, sebelum Kiai Sepuh dikuburkan. Salah satu putra Kiai Sepuh yang paling tua, meminta persaksian kepada seluruh orang yang hadir. Suasan mulai sunyi ketika riak salam menggema dari pinggir atas kuburan, “Abi sudah dipanggil oleh Allah, maka saksikanlah bahwa Abi merupakan orang saleh. Dan apabila Abi mempunyai kesalahan atau hutang mohon disampaikan kepada saya, setelah acara penguburan ini selesai.” Dawuh Gus Farhan sambil memandang ke arah kuburan dan menahan air mata dengan kedipan.
Saya lihat Gus Farhan benar-benar terlena dalam kesedihan yang sangat memesona, kelopak matanya membiru seperti awan yang telah berjam-jam menahan hujan. Akhirnya beliau hanya bisa berpura-pura wibawa, mungkin sebab pesan Kiai Sepuh sebelum neninggal yang mengharamkan bagi keluarganya untuk meronta-ronta.
Setelah acara penguburan selesai, sengaja saya sowan kepada Gus Farhan. Dengan maksud ingin menjadi teman dalam kesedihannya. Beliau duduk di bangku taman pesantren, dengan tangan yang menunggak dagu, sangat terasa sisa aroma gerimis bercampur tanah, bersama mendung yang belum seluruhnya berpindah.
“Gus, yang sabar ya,” beliau kelihatan terkejut setelah sapaan saya terdengar dan membuat beliau harus menoleh ke bebelakang.
“Kamu, Rus. Silakan duduk,” jawab beliau sambil mengarahkan tangannya, membuat saya terpaksa haru duduk. “Aku tak pernah berpikir sedih tentang kepergian Abi Rus, melainkan yang membuat saya berpikir sedih, siapa yang akan mengganti pesantren ini, sementra aku masih muda, dan tak pantas menjdi pengganti Abi.” Raut wajah beliau membuat saya bertanya tegas, seakan-akan beliu merasa tertantang.
“Lalu siapa yang akan mengganti pesantren ini, Gus? Sementara Gus adalah putra tertua Kiai Sepuh.”
Beliau menatapku dengan jawaban, “Justru itu yang membuat saya berpikir sedih.” Beliau beranjak bangun meninggalkan kursi yang saya duduki. Barangkali beliau marah kepada saya atau beliau tak mau bicara dengan saya sebab saya masih tak sependapat dengan beliau.
Setelah terjadinya percakapan itu Gus Farhan lebih sering memanggil saya daripada sebelum Kiai Sepuh meninggal. Terkadang beliau mengajak saya untuk menghibur diri ke alun-alun, ngopi di kafe, sampai beliau belanja pun bersama saya ke pasar malam. Beliau juga sering bertanya tentang Kiai Sepuh ketika mios* dengan saya, tak heran karena semasa hidupnya Kiai Sepuh, saya yang selalu menjadi sopirnya, baik ketika mios keluar kota atau ke undangan. Mungkin itu tujuan Gus Farhan mengajak saya berjalan-jalan.
Di halaman depan pesantren, sore telah berteduh bersama bacaan ayat suci yang dilantunkan sebagian santri. Siuran angin dan aroma pandan di atas asta selalu dirahasiakan senja. Terlalu menyedihkan kepergian Kiai Sepuh menimpa perasaan para santri di mana mereka-mereka seperti ditinggal oleh orang tuanya sendiri. Apa lagi malam ini merupakan malam ke-7 harinya Kiai Sepuh. Nanti malam adalah akhir tahlilan, di mana ke belakang ini suasana pesantren akan lebih jauh berubah ketimbang hari ini.
Yang saya takuti hanya ada satu bayangan, bagaimana jika Gus Farhan tak bersedia menjadi pengganti Kiai Sepuh, apa yang akan dialami pesantren ini, pastilah nasib ini yang ditakuti Kiai Sepuh sebelum pergi. Beliau selalu berdawuh di setiap kajian kitab setelah salat subuh, “Saya takut suatu saat pesantren ini menjadi pesantren yang tak terawat.” Jika dawuh beliau benar-benar akan menjadi sebuah kenyataan, harum pesantren ini perlahan akan menghilang. Tapi, semoga saja dawuh Kiai Sepuh menjadi dawuh yang menolak maknanya. Jika begitu, pesantren ini akan semakin jaya, dan aromnya akan dinikmati oleh berbagai kalangan santrinya.
Tak terasa saya bayangkan hal itu demikian lamanya, hingga suara azan magrib berkumandang begitu menyejukkan, membuat saya bagun dari bayangan yang telah lama tumbuh, seperti senja yang kutatap di belakang masjid, ia begitu menggoda mata, seakan-akan menjadi hiburan sementara sebelum saya jatuh dalam sujud memuja tuhan. Perlahan saya menaiki tangga masjid, memandang riuh santri membaca selawat klasik dengan begitu asyik, lalu dari belakang Gus Farhan menepukkan tangan, bertanda bahwa salat magrib akan dimulai.
Setelah salat berjamaah selesai, saya keluar melewati pintu depan. Sekitar enam langkah jauhnya dari tempat saya yang tadi salat, suara Gus Farhan terlontar dari tempat pengimaman. “Rus. Rus…,” sekitar dua kali panggilan yang membuat kepala saya menoleh ke belakang, tapi panggilan itu dengan panggilan cepat, secepat saya melangkah menuju beliau. Setelah sampai saya di hadapan beliau, saya lihat mulutnya masih membaca amalan pokok. Bergetar jelas sambil memejamkan mata, seakan saya tak dapat mencermati kekhusyukannya. Kemudian beliau melepas pejamannya dengan bola mata yang amat cerah, seperti sedang melihat daun-daun hijau, walau keadaan saat itu sedang berada di awal malam.
Mungkin karena beliau tadi membaca amalan penenang, hingga tenang wajahnya sangat tampak saya pandang. “Nanti setelah tahlilan kamu ikut saya Rus, ke bandara, saya ingin mengantar saudara.” Tanpa berpikir apa pun, langsung saya menganggukkan kepala, walau yang sebenarnya nanti saya mempunyai kepentingan pribadi, tapi dengan cara itulah saya selalu patuh. Agar saya yang nyantri di pondok ini bertahun-tahun lamanya tak hanya mendapatkan ilmu, tapi juga barokah.
Setelah saya lewati jembatan terakhir jalan menuju alun-alun, mobil yang kupacu sengaja saya kencangkan ditemani suara musik kasidah Nisa Sabyan. Jalan menuju bandara lumayan sepi, hanya ada sebagian warung yang masih terbuka. Sama seperti di dalam mobil ini, meski ada 5 orang penumpang, tapi suasananya sangat tenang. Beliau-beliau sibuk dengan HP-nya masing-masing.
Saya sangka untuk malam ini Gus Farhan akan bermalam di hotel, paling sebelum subuh nanti akan pulang ke pesantern. Apalagi saudaranya tidak akan langsung terbang sekarang, karena tidak ada jadwal pesawat yang terbang ke belakang ini, lagian saya perhatikan dari tadi, dari berangkat hingga ini mau sampai ke bendara, masih tidak saya dengar beliau-beliang ingin membeli tiket.
Saya masuki gerbang bandara, di sana orang-orang masih ramai, ada yang sama seperti kami, sama baru sampai. Lalu saya memberhentikan mobil di parkir dekat gerbang agar nanti mudah untuk keluar. Gus Farhan keluar dari mobil dengan 3 saudaranya setelah mengambil tas yang beliau-beliau bawa. Bendera merah putih yang senantiasa berkibar menemani tajam tatapan mata saya. Angin masuk di jendela mobil, berselisih saling menghantamkan dingin. “Rus cari tempat penginapan, sekarang sudah tidak memungkinkan untuk kita pulang,” Gus Farhan membuka pintu kiri mobil yang bersebelah dengan saya. Lalu langsung kunyalakan mobil dan berangkat pelan-pelan meninggalkan kenangan di bandara.
Perasaan saya sama sekali tidak nyaman, jika semisal nanti saya tidur sekamar dengan Gus Farhan. Namun, yang menjadi ketidaknyamanan saya, malah menjadi kejadian yang sebenarnya, beliau malah tidur di samping saya.
AC hotel yang tak henti menghantarkan angin membuat tubuh saya kedinginan, saya ingin menarik selimut yang sedang menutupi beliau tapi takut membuat beliau terganggu. Akhirnya saya hanya bisa memejamkan mata, dengan harapan, saya bisa tidur juga.
“Allah,” dengan menyebut nama tuhan, Gus Farhan langsung mendadak bangun. Beliau mengajak pulang dengan alasan Kiai Sepuh hidup lagi. Saya pun bingung, apakah Kiai Sepuh benar-benar hidup lagi atau hanya hidup di dalam mimpi. Intinya malam itu kami bergagas pulang menempuh malam dengan beribu bintang. Dalam perjalanan, kami melihat Kiai Sepuh berbaju putih sedang berdiri di taman yang di bawahnya dialiri air sungai, beliau sambil memakan buah-buahan yang tak pernah kami lihat sebelumnya. Dan Kiai Sepuh melambaikan tangan kepada kami berdua.
Sampang, 2020
Catatan:
Asta: lokasi kuburan.
Mios: bepergian.
*J. Akid Lampacak, dikenal dengan nama panggilan B.J. Akid. Lahir di Sumenep Madura, Jawa Timur. Anak seorang petani tembakau. Tulisannya telah tersiar di berbagai media. Sekarang sedang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di Ponpes. Al-Mansyuriah Katapan Sampang.