Cerpen Thomas Utomo
Budi memasang standar sepeda motor dengan tergesa. Sebentar dia melirik jam warna silver yang melilit pergelangan tangan kirinya. Pukul 11.50. Sepuluh menit lagi, jam pelajaran terakhir segera dimulai. Dia bergegas mengayun kaki menuju kantor guru.
Belum sempat meletakkan tas di tempat duduknya, laki-laki berpostur lencir itu dicegat seorang bapak berkulit jelaga. Dari name tag yang bergayutan di atas saku kiri baju safarinya, tertera nama Drs. Mulyono.
“Mana sertifikatnya?” tanya Pak Mul—demikian dia biasa dipanggil—tanpa basa-basi. Telapak tangan orang nomor satu di SMA Cerdik Cendekia itu teracung dalam keadaan terbuka.
- Iklan -
Mendapat perlakuan begitu, kekesalan Budi yang telah mencuat sedari tadi, naik hingga ubun-ubun. Namun, dia memilih diam. Tanpa membantah, dia membuka ritsleting tas dan mengeluarkan sebuah stopmap.
“Sertifikat sama surat perintah perjalanan dinas, ada di sini, Pak,” tukasnya dengan nada datar atau berusaha didatar-datarkan.
Laki-laki paruh baya di hadapan Budi, menerima uluran stopmap. Dia buka kertas panjang berwarna kuning itu, sekilas memeriksa isinya.
“Bagus. Sertifikatnya atas nama aku,” ujar Pak Mul sambil tersenyum. Dia kemudian mengeluarkan surat perintah perjalanan dinas dan sehelai kertas di bawahnya dari sekatan stopmap.
“Halaman risalah seminar diisi, ya. Setelah selesai, berikan aku dulu. Nanti biar aku yang mengumpulkan ke bagian tata usaha bareng surat perintah perjalanan dinas!” titah Pak Mul seraya menyodorkan tiga lembar kertas.
“Oh ya, jangan lupa, tulis namaku di bagian bawah risalah. Nama lengkap, ya, pakai gelar dan nomor induk pegawai. Nanti, biar aku yang tanda tangan,” tuturnya lagi.
Tanpa menghiraukan tanggapan Budi, Kepala Sekolah ngeloyor pergi.
Sejenak Budi memandangi punggung Pak Mul. Namun, dia segera tersadar apa yang mesti dikerjakannya kemudian? Dia segera meneruskan langkah ke pasangan meja-kursi di pojok kantor guru. Dilepaskannya tas, jaket, sepatu, dan kaus kaki. Dengan jempol dan telunjuk kaki kanan, dia merogoh sepasang sandal di bawah meja. Lalu mengenakannya.
Langkahnya kembali tergesa. Kali ini, dia menuju musala di sebelah barat laut kantor guru.
“Buru-buru sekali, Bro! Seperti dikejar setan saja. Santai sedikitlah!” tegur seorang laki-laki muda yang berpapasan dengan Budi di muka kantor. Ada senyum menyindir di ujung bibirnya.
“Aku belum salat, Gus. Padahal, lima menit lagi, pelajaran dimulai,” sahut Budi.
Laki-laki bernama Agus itu menyeringai. Dia setengah tertawa sewaktu berkata, “Aku juga belum salat.”
“Ayo, sekalian!”
Agus menggeleng. “Nanti sajalah. Waktu Zuhur ‘kan masih lama. Sekarang, aku akan ke belakang kantin sekolah. Mau merokok dulu. Sudah kecut mulutku ini. Sana, kamu ke musala. Aku titip salam buat Allah,” komentarnya sambil terkekeh.
“Ngawur!” rutuk Budi.
Kedua laki-laki sebaya itu pun bersilangan arah jalan.
__________________________________
Budi belum menyelesaikan doanya tatkala bel tanda masuk, menjerit nyaring. Dia pun terpaksa menyudahi runtunan permohonan pada Sang Maha lantaran harus cepat-cepat kembali ke kantor untuk mengganti alas kaki. Anak didiknya sudah menunggu di kelas.
Tepat ketika menuruni undakan musala, pemuda berusia tiga windu itu merasa pandangannya buyar. Yang tampak di matanya hanya warna kuning pudar. Dia segera mengatupkan mata dan berpegangan pada tiang musala. Sementara itu, kepalanya berdenyut-denyut dengan perut melintir-lintir perih. Terhuyung, dia meletakkan pantat di ubin.
Mendadak, dia ingat. Sedari pagi, perutnya belum diisi makanan mengenyangkan. Tadi, dia buru-buru berangkat setelah bangun terlambat. Semalaman suntuk dia berkutat di depan laptop, menggarap tugas administrasi Pak Mul. Entah jam berapa, tubuhnya jatuh tak sadarkan diri, setelah dimakan rasa capai. Sementara pagi harinya, pada jam pertama, dia langsung mengajar hingga pukul 8.30. Manakala dia kembali ke ruang guru, di sana tidak ada makanan, meski sekadar kudapan. Sekolah swasta tempatnya bekerja selama dua tahun ini, memang tidak pernah menyediakan sarapan serta makan siang buat guru maupun pegawai.
Diam-diam, Budi menyesal karena tadi sebelum berangkat, lupa menyempatkan waktu barang sejenak untuk menyantap nasi goreng sisa makan malamnya. Padahal, dia sudah menyisihkan bungkusan nasi itu, di sebelah tas kerja. Ah, seandainya semalam langsung dimasukkannya ke dalam tas, tentu saat jeda mengajar, dia bisa mengunyah butiran-butiran pengganjal perut itu. Sayang sekali.
Sempat terbesit keinginan membeli makanan di kantin sekolah. Namun, bukan tidak punya uang, lembaran berwarna yang terimpit dalam dompetnya hanya tersisa sekian helai saja. Dia harus menghematnya baik-baik sampai uang honornya sebagai guru wiyata bakti, mencair.
Padahal sudah pertengahan bulan, gumamnya. Kenapa honor yang sebetulnya tak seberapa itu, tak kunjung diberikan?
Ini bukan kali pertama honor bulanannya terlambat diberikan. Pak Mul yang selalu melarang anak buahnya datang terlambat ke sekolah, tidak pernah memberikan penjelasan mengapa sering terjadi keterlambatan pembagian honor.
“Kalau begini terus, bagaimana aku bisa meminang Ranti dan mengajaknya naik pelaminan?” cetus Budi. Ada nada sendu di balik kalimatnya.
Perlahan dia mengeluarkan dompet dari saku celana, membuka benda tipis berwarna cokelat itu. Bukan untuk melihat dan menghitung lembaran uang yang terlempit di sana, melainkan guna memandangi foto seraut wajah yang tengah tersenyum seolah menatapnya. Dengan memandang foto itu, tubuhnya kembali dialiri semangat. Dia pun memaksakan diri untuk bangkit sambil berdoa, semoga bisa kuat mengajar hingga pukul 13.30.
“Nanti selesai mengajar, aku mau minta izin pulang lebih awal. Mudah-mudahan, sisa nasi goreng semalam, belum basi untuk dimakan,” ujarnya, seorang diri seraya mengusap-usap foto di bagian depan dompet. Di bibirnya terkulum senyum.
Tiba-tiba, Budi mendengar bisik obrolan dan bunyi tawa perlahan dari sudut musala. Dengan badan lemas namun gerakan bergegas, dia mendekati asal suara.
“Lho, kalian?!” Mata Budi berserobok dengan delapan laki-laki berseragam putih abu-abu yang tengah duduk-duduk menggerombol di pinggir pagar pembatas musala. Sebagian di antara mereka tengah merokok.
“Bukannya sekarang pelajaran Pak Budi?!” sergah guru muda lagi.
Delapan laki-laki itu mengangguk takut-takut.
“Sekarang, kembali ke kelas!” hardik Budi. “Buang rokok kalian! Masih jadi tanggungan orang tua saja sok-sokan merokok! Saya yang guru saja tidak merokok!”
Gerombolan siswa kelas XI itu berbondong-bondong pergi dari sana.
Dasar anak badung! umpat Budi dalam hati.
______________________________
“Risalah seminarnya sudah selesai ditulis?” Pertanyaan itu menyelonong masuk liang telinga Budi saat dia tengah memakai sepatu.
Kelaparan yang mendera, ditambah rasa capai sisa lembur semalam, membuat emosi Budi tersulut mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Pak Mul yang berdiri tegak di depannya.
“Belum, Pak,” jawabnya sembari menekan rasa gondok. “Saya baru selesai salat. Ini mau mengajar.”
Tanpa berusaha mengerti keadaan lawan bicaranya, raut muka Pak Mul kelihatan biasa saja ketika kembali bicara, “Nanti setelah mengajar, langsung dikerjakan, ya. Biar aku bisa cepat tahu ringkasan materi seminar tadi. Jadinya, besok pagi, waktu briefing bareng guru sebelum jam mengajar, aku bisa menyampaikan pokok-pokok isi seminar kepada forum secara meyakinkan, tanpa tersendat waktu membaca teks.”
Budi tidak menyahut dan tampaknya Pak Mul pun tidak membutuhkan jawaban kesanggupannya. Sebab, selama dua tahun mengabdi si SMA Cerdik Cendekia, dia sudah lebih dari mengerti, tidak ada kata tidak, bila berhadapan dengan kehendak Kepala Sekolah.
Dengan memanggul kedongkolan, Budi menyeret kaki menuju kelas di ujung timur lapangan. Pagi tadi, usai guru muda itu mengajar, Pak Mul berlaku semena-mena dengan memerintahkannya berangkat seminar, menggantikan Sang Kepala yang enggan hadir dengan alasan entah. Pucuk pimpinan SMA Cerdik Cendekia tidak peduli dan tidak mau mengerti kalau bawahannya lemas lagi pening setelah semalaman memeras otak sembari memelototi layar laptop dan kini tengah menanggung keriuk rasa lapar. Menyebalkannya, sertifikat yang diperoleh sebagai hasil oleh-oleh seminar, harus diatasnamakan Kepala Sekolah. Dan sekarang … aarrgh!
“Hei, Bro!”
Di tengah perjalanan, Budi disapa Agus yang melambaikan tangan seraya menyunggingkan senyum tak simetris.
“Kenapa mukamu kusut begitu? Habis dilimpahi pekerjaan lagi sama Pak Bos?” Tawa mengejek yang keluar dari mulut Agus, menggetarkan udara.
Budi cuma mengangkat kedua alisnya.
Agus kian terbahak. “Makanya, jadi guru wiyata bakti itu sadar diri. Jangan terlalu rajin. Akibatnya, jadi orang suruhan ‘kan kamu! Kerja keras bagai kuda, padahal honor tak seberapa!”
Budi melotot. “Ssttt! Jangan keras-keras kamu bicaranya! Kedengaran Pak Mul, baru tahu rasa!”
Agus mengedikkan bahu. Perlahan namun nikmat, dia menyedot batang rokok yang diselipkan di tangan kiri. “Tidak akan. Pak Mul butuh kita, butuh guru yang bisa dibayar murah dan bisa diperintah-perintah seenak pusarnya sendiri macam kamu. Tenang saja, Bro, kita tidak akan dipecat hanya karena omong kenyataan. Justru kalau kita pergi dari sekolah ini, Pak Mul bakal mohon-mohon supaya kita tetap bertahan.”
Asap mengepul dari mulut Agus.
Budi mendengus. Dia sudah sangat terlambat masuk ke kelas. Dan dia tidak mau merasa makin sial dengan mendengarkan ocehan pemuda bermulut bak cerobong kereta api. Oleh karenanya, dia enggan bicara lebih jauh dengan Agus. Rekan sekerja sekaligus teman semasa kuliah itu memang sejak dulu suka memprovokasi orang. Bodohnya lagi, dulu, dia mau-mau saja diajak mengabdi di sekolah yang sama dengan laki-laki yang hobinya mengisap nikotin itu.
Sebelumnya, Budi sudah mengirimkan banyak surat lamaran ke berbagai SMA negeri maupun swasta unggulan di kota ini. Tapi, semua lamarannya mental tanpa membuahkan panggilan. Dia pun akhirnya terpaksa mendamparkan diri di sekolah ini setelah termakan rayuan Agus.
“Katamu, yang penting bisa mengajar di SMA ‘kan? Tidak peduli SMA negeri atau swasta, tapi yang jelas harus di kota ini?!” tanya Agus waktu mengajaknya bergabung di SMA Cerdik Cendekia, dua tahun lalu. Dan Budi mengangguk kuat-kuat.
Sebagai pemuda yang baru menetas dari cangkang bernama universitas, semangat dan idealisme menyala-nyala dalam dada anak asal luar provinsi itu. Dia ingin mengabdikan ilmu yang ditimbanya dari bangku kuliah dengan sebaik-baiknya di kota ini. Ditambah lagi, ada alasan khusus yang membuat dia rela tetap bertahan di perantauan dan menolak tawaran orang tua untuk mengajar di tanah asal. Alasan itu terangkum dalam seraut wajah yang diselinapkan dalam dompet. Sebuah foto yang dia dapatkan dari mencetak foto profil sang pemilik dari media sosial.
Ranti. Ah, sedap rasa hati Budi tiap kali mengucap nama itu. Ya, sebab gadis berkulit temu giring yang dekik di pipinya membuat darah mendidih itulah, Budi memilih menetap di kota ini, kota kelahiran dan domisili sang pujaan hati.
Dia sungguh ingin menghirup udara, menginjak tanah, dan bernaung di bawah langit yang sama dengan Ranti. Tak cuma itu, dengan tinggal satu kota, dia bisa lebih mudah mengintai dan menguntit gadis itu secara langsung, tidak hanya lewat media sosial semata. Ya. Budi memang memendam suka pada gadis teman kuliahnya itu. Sayangnya, dia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Budi memilih mencintai Ranti dalam diam sambil berdoa suatu ketika Yang Kuasa memberi kesempatan bagi dia untuk menikahinya. Guna menunggu masa itu tiba, dia harus selalu memastikan Ranti baik-baik saja dan tidak membuhulkan hubungan dengan laki-laki mana pun. Dan sejauh ini, dia cukup yakin, kalau gadisnya itu tidak memiliki teman spesial dari kalangan laki-laki.
“Eh, tadi ada titipan surat undangan buat kamu. Masih aku simpan di tas. Nanti aku letakkan di mejamu, ya.” Kalimat Agus membuyarkan benak Budi yang sempat melayang.
“Oh ya,” sahut Budi, sambil lalu. “Dari siapa?” tanyanya sambil melangkah menjauhi Agus.
“Dari Ranti,” tukas Agus. Dia sama sekali tidak tahu kalau ada nama serupa yang tersimpan rapi dalam benak dan doa-doa kawannya.
Jantung Budi berdenyut kencang.
“Ranti?!” Dia berhenti menjangkah, berbalik badan. “Ranti siapa?!”
“Teman kuliah kita. Dulu kelas sebelah. Kamu kenal ‘kan? Kalau tidak salah, dulu kamu KKN bareng dia.”
Detak jantung Budi bergerak makin cepat. Dia bahkan mendengar gema suara dari balik dada itu hingga rongga telinganya.
“Ranti yang kulitnya temu giring, yang ada lesung pipinya?!” sergah pemuda bertubuh jangkung kurus.
Tanpa mengetahui kecamuk hati Budi, Agus menyeringai lebar. “Kamu hafal betul ciri teman kita itu, Bro. Memang dia orangnya. Kamu naksir, ya?”
Budi merasa jantungnya pecah. Terhuyung, dia berjalan menjauhi Agus.
“Lho, aku belum selesai bicara. Kamu belum jawab pertanyaanku. Hei, Bud!” panggil Agus.
__________________________________
Suasana Kelas XI IPA 2 yang semula berisi geremengan suara ngobrol dan tawa cekikikan berubah senyap ketika Budi datang. Sebaliknya, isi kepala dan rongga dada sang guru justru bergemuruh sekali. Kabar yang baru saja melesat dari lidah Agus menjelma malapetaka baginya.
Budi meletakkan buku di meja guru. Jemarinya tremor. Melihat para siswa yang seketika diam, secara aneh, dia disengat rasa jengkel.
“Kenapa diam?! Kenapa berhenti mengobrol?! Takut sama saya?!” teriaknya, tiba-tiba.
Tak ada siswa yang menyahut. Mereka kaget, mengapa guru yang biasanya ramah mendadak marah-marah?
“Kenapa tadi tidak ada yang menjemput atau mencari saya, padahal sudah masuk jam pelajaran?! ‘Kan sudah berkali-kali saya bilang, kalau guru terlambat masuk kelas, tolong cari. Bukan diam di tempat. Malah ngobrol dan ketawa-ketiwi!”
Budi mengedarkan mata ke penjuru kelas. Saat itulah, dia menemukan lubang di antara kerumunan siswa. Setelah dihitung, lubang itu berjumlah delapan pasangan meja-kursi yang tak berpenghuni, meski di sandaran kursi tersangkut tas si empunya.
“Ke mana delapan anak yang duduk di sana?!” bentak Budi lagi. Rasa lapar, letih, kecewa, sedih, amarah, dan entah apalagi, campur aduk mencengkeram benaknya. Membuat dia semakin sukar mengendalikan diri.
“Ketua kelas, keluar! Cari mereka!”
Seorang siswa laki-laki bertubuh tambun berdiri dari tempat duduknya. Terbirit-birit, dia meninggalkan kelas.
Tujuh menit berselang, sembilan pemuda warga Kelas XI IA 2 masuk ruangan.
“Sini! Baris!” teriak Budi pada para siswa yang baru datang. “Dari mana kalian? Bukannya tadi saat di musala, sudah saya katakan supaya masuk kelas?! Ke mana kalian barusan ini?”
Delapan laki-laki itu menundukkan muka.
“Hei, jawab! Kalian tidak bisu ‘kan?” Budi menabok lengan salah seorang di antara mereka.
“Dari kantin, Pak …” gumam siswa itu.
“Ngapain?!”
“Merokok.”
Muka Budi merah padam.
“Baris semua. Ayo, berbanjar!” perintahnya. Delapan laki-laki menurut. “Ayo, satu persatu mendekat!”
Plak! Plak!
Bagaikan kalap, Budi menampar bolak-balik wajah siswa laki-laki itu, satu demi satu.
“Rasakan kamu!” teriaknya, nyaris histeris. Tanpa bisa dikendalikan, linangan air mata meleleh di wajahnya yang membara.
Dia tidak menyadari, kalau ada siswa di deretan tempat duduk belakang yang merekam perbuatan di muka kelas itu menggunakan telepon seluler. Dia pun tidak menyadari betapa bahayanya jika video itu diunggah di media sosial. Lalu disebar ke penjuru dan ditonton orang ramai.
Budi tidak tahu. Pikirannya yang tengah kalut, tidak sampai ke sana. Yang dia pikirkan hanya: kenapa semuanya harus terjadi? Bagaimana dengan kelanjutan hidupku setelah ini?
Purbalingga, 16 Mei 2018
________________________________
*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Tulisan-tulisannya dipublikasikan sejumlah media seperti Adzkia, Aspirasi, Derap Guru, Derap Perwira, Radar Banyumas, Sang Guru, Satelit Post, Annida, Story, Potret, Koran Jakarta, Suara Muhammadiyah, Tribun Jateng.
Buku-bukunya yang telah terbit yaitu Petualangan ke Tiga Negara (Indiva Media Kreasi, 2018), Cerita dari Asrama Tentara (Bitread, 2017), Lepas Rasa (Loka Media, 2017), Aku Bukan Gay (Loka Media, 2016), Misteri Nenek Pemuntah Darah (Pro U Media, 2016), Catatan dari Balik Jendela Sekolah (Elex Media Komputindo, 2015), dan Hikayat Tanah Beraroma Rempah (Pustaka Puitika, 2015).