Biodata Buku:
Judul Buku : Dua Barista
Penulis : Najhaty Sharma
Penerbit : Telaga Aksara
- Iklan -
Terbit : Januari, 2020
Tebal : xvi+495 hlm; 14×20,5 cm
ISBN : 978-623-91852-4-4
Peresensi: Imam Farouq
Belakangan, jagat sastra Indonesia diwarnai dengan munculnya karya bernafaskan islami, sejak boomingnya Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan karya serupa yang kini mulai tenggelam, hadirnya sastra dengan muatan agama didalamnya memberi warna baru dalam dunia literasi di Indonesia yang kini banyak diwarnai oleh sastra genre pop. Dan kemunculan Dua Barista karya Najhaty Sharma menjadi bukti bahwa sastra islami masih digemari oleh pembaca ditengah maraknya karya sastra dengan genre yang lainnya.
Najhaty Sharma dalam novelnya ini juga mengangkat tema yang tak biasa yaitu isu tentang poligami, dimana isu ini belum begitu bisa diterima oleh masyarakat luas. Dan yang ia tampilkan juga tentang kehidupan dunia pesantren beserta ‘ndalem’ yang jarang diketahui oleh orang banyak terlebih bagi mereka yang tidak pernah memasuki dunia pesantren. Sehingga dalam novel ini gambaran tentang dunia pesantren bisa dikatakan sangat relevan mengingat latar belakang penulis yang juga merupakan santri putri.
Dua Barista mengisahkan kehidupan Ning Mazarina yang merupakan istri seorang Gus Ahvash yang tak lain adalah seorang putra tunggal kiai pengasuh pesantren besar di Purworejo. Nasib membawa Mazarina harus merelaka rahimnya untuk diangkat karena kanker yang bersarang di rahimnya yang mana itu membuatnya tidak bisa memiliki keturunan dari benih sang suami. Tekanan demi tekanan terlebih saat keluarga ‘ndalem’ berharap agar sang putra tunggal bisa memiliki keturunan yang kelak akan meneruskan Pesantren membuat pihak keluarga merencanakan untuk mengambil jalan lain, yaitu poligami. Pukulan telak bagi Mazarina dimana sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam hidupnya kini membentang didepan mata, dimana ia harus berbagi suami dengan sang madu, meskipun dia sendiri yang memilihkan madu untuk suaminya.
Mazarina yang kemudian memilih Meysaroh sebagai istri kedua suaminya dirasa sebagai sosok yang tepat. Selain karena Meysaroh adalah qodimah (pembantu) ndalem yang sudah dikenal membuat Mazarina yakin dialah orang yang cocok untuk menjadi madunya. Pada titik inilah konflik batin dimulai. Dimana ia harus rela menyaksikan suaminya bersanding dengan perempuan lain, yang otomatis merenggut kebiasaan yang biasa ia lakukan bersama suaminya, Gus Ahvash.
Pada jalan cerita novel ini kita akan disuguhkan dengan konflik batin dari masing-masing tokoh, dan luar biasanya saat membaca bagian yang mengisahkan masing-masing tokoh dengan gaya penulis yang menggunakan sudut pandang yang berbeda-beda membuat kita memahami pikiran masing-masing tokoh. Artinya penulis benar-benar bisa membawa pembaca memahami konflik batin seorang Mazarina sebagai seorang istri yang dimadu, Gus Ahvash yang harus bersikap adil karena sudah memiliki dua orang istri, juga Meysaroh yang merupakan istri kedua Gus Ahvash dan juga sekaligus merupakan santri dari Mazarina. Pada titik ini kejelian penulis dalam menggambarkan kondisi batin atau konflik batin tokoh yang diciptakan benar-benar luar biasa.
Dalam novel ini penulis tidak hanya menyuguhkan kisah percintaan dalam bingkai poligami, namun lebih dari itu, Najhaty Sharma mengemas dengan indah dan konkret realitas yang terjadi didalam lingkungan pesantren lengkap dengan konflik keluarga ‘ndalem’ yang selama ini selalu kita lihat sebagai bentuk kesempurnaan, yang mana sering kali membuat kita lupa, bahwa keluarga kiai sekalipun pasti memiliki banyak masalah selayaknya keluarga umumnya. Namun disini jelas konflik yang digambarkan tidak lantas menunjukkan kebobrokan keluarga ‘ndalem’, tidak sama sekali. Justru penulis banyak memberikan pelajaran dengan banyaknya dialog yang dituliskannya. Tentang kesabaran dalam berumah tangga, tentang cara menyelesaikan masalah, dan tentunya itu banyak dibahas dalam nuansa islami yang tergambar jelas sesuai dengan background penulis. Maka jika boleh dikatakan kelahiran Dua Barista adalah bangkitnya kembali sastra Islami yang dulu hanya didominasi oleh beberapa penulis, dan ini menjadi bukti bahwa bakat dari kalangan santri dan Pesantren kini sudah mulai terlihat dan menunjukkan geliatnya dengan karya yang ditulis dan berkisah tentang dunia pesantren yang mana ditulis oleh kalangan santri. Bisa jadi Najhaty Sharma namanya kelak akan sejajar dengan penulis novel genre islami seperti Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Abidah El Khalieqy, dan nama lainnya. Karena apa, nuansa kisah yang disajikan didalamnya sangat religius baik dari tokohnya maupun isi hikmah yang ada, yang dituliskan berdasarkan berbagai sumber ilmu, terutama ilmu agama.
Novel yang mengambil tema tentang poligami ini juga banyak menyampaikan kritik sosial didalamnya. Salah satunya adalah ketika takdir Allah menentukan seseorang perempuan tidak bisa memberikan keturunan bagi sang suami apakah poligami benar-benar menjadi jalan keluar dari masalah itu, atau ada saat dimana manusia menerima takdir dan bersama-sama menyadari bahwa ini adalah bagian dari rencana Allah untuk hambanya. Dalam hal ini tentu saja penulis juga menyajikan argumen dari dua sisi, baik dari yang pro poligami maupun yang kontra terhadap poligami, tentu dengan memasukkan narasi dalam kisah didalam novel tersebut.
Novel ini sangat layak dibaca oleh siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Karena didalamnya menyuguhkan banyak hikmah dari konflik yang ada dalam rumah tangga. Sehingga siapapun yang membaca akan bisa merenungkan makna yang terkandung dalam novel ini setelah membacanya. Pada bagian akhir saat konflik mencapai klimaks dimana kehidupan keluarga Mazarina, Meysaroh, dan Gus Ahvash sedang diuji, disinilah kejelian penulis patut diapresiasi, karena penulis benar-benar bisa menggambarkan kondisi batin masing-masing tokoh dalam menghadapi dilema yang sedang menimpanya.
Percakapan Gus Ahvash dan Gus Rozi dalam dialog yang ditulis dengan bagus sangat menjelaskan bagaimana pandangan penulis terhadap poligami itu sendiri, disinilah pembaca akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang poligami, dari percakapan antara Gus Ahvash dan Gus Rozi diakhir novel ini.
Geliat para santri dalam dunia literasi mulai bermunculan, dan tentunya ini membawa angin segar dimana para santri bisa menjelaskan agama melalui jalur sastra. Hal tersebut perlu diapresiasi, agar kedepannya banyak sastra bernafaskan Islam yang tentunya dengan menyisipkan nilai Islam moderat yang dijunjung tinggi bagi kebanyakan mayoritas muslim di Indonesia. Selayaknya Dua Barista meski isu yang ditayangkan tentang poligami, namun nilai yang ada didalamnya jauh melampaui itu, jadi siapapun layak membaca dan mengapresiasi karya ini. Pramoedya Ananta Toer pernah menulis.