Gelang Karet Ibu
Sebuah gelang karet melingkar di tangan kiri ibuku
Perhiasan sahaja yang menyengkeram dunia di korankoran
Doaku salju dan harapan pagi perlahan beku
Sarapanku nasi dingin dengan lauk sisa semalam yang dihangatkan
- Iklan -
Sehangat mata ibuku memandang jendela putih
Bapakku mulai menua, tetapi, usia cumalah jembatan penyeberangan
Kamera telepon pintar tidak bisa mengelabuhi
Keriput wajah bapak dan hitam kantung mataku
Sedang ibuku tetap mengurai bumbu masakan dengan wajan doa
Seperti titah leluhurku yang menjadi fragmen senja
“Di mana gelang emasku?” tanya ibu
Pertanyaan itu meledak di kepalaku
Aku tidak mampu lagi wirid dengan khusyuk
Sebab ibuku yang kiblat itu mencari gelangnya
Sebelum berangkat kerja, kukecup tangannya
Agar anasir dan bau bangkai tubuhku hilang sirna
Sebuah gelang karet melingkar di tangan kiri ibuku
“Dunia hanya memberimu pinjaman”
“Suatu saat kau musti mengembalikannya” katanya
Logam mulia antam, emas 24 karat, semuanya berkarat
Sebab uap garam dari tumis masakan ibuku
“Tulis saja sebuah puisi; karena kau akan mengubah
Gelang karetku menjadi simbol peribadatan sunyi”
2020
***
Silsilah Doa
Sedari jumpa dengan mula tahun sebelas
Kacamatamu diselipkan di antara kancing baju
Kau hitung ke barat jarak keraton nuju perdikan
Aku menunggu di kelas dengan perbendaharaan
Bahasa yang culas; baju bekas
Aku tutupi dengan jas warna merah tegas
Sesampainya di lorong kelas kau mekarkan senyum
Dengan kumis yang khas seperti senopati banyumas
Atau alis tebal memayungi mata lelah karena
Imaji yang jauh; serumpun puisi ihwal perjalanan
Dengan gaya sidakep kau membangunkan lamunanku
Sejarah hidup chairil menjadi pembuka catatan perkuliahan
Perlawanan terhadap orba muasal hilangnya wiji thukul wijaya
Atawa cerita tentang abahnya; dihinggapi embun doa
Rambutmu yang belah tangah ibarat
Menggaris nasab nuju langit;
Di kepalamu, puisi menjelma rencana
Kasih sayang abadi
Dagumu lancip; isyarah ketundukan pada namanama
Bin basyir bin wiryosumarto bin suromangunjoyo
Menjelma jembatan penghubung mahabbah
Lamongan hingga yogya sebatas kedipan mata
Dunia dan ketiadaan hanyalah ruang tunggu
Sedari jumpa dengan mula tahun sebelas
Kacamatamu diselipkan di antara kancing waktu
Kau hitung usia sepanjang gerimis
Bahasa menjadi rumah bagi cahaya;
Puisi menjadi surat Kekasih
Purwokerto, 2019-2020
***
Cemara Sewu
Pantai serupa hening musa setelah
Membaringkan jasad raja adidaya
Orang-orang menyedekahkan wajah
Ziarah pada laut
Untuk mengabadikan kisah
Kaisar dari negeri padang pasir
Nyiur bersyukur sebab angin laut
Mengabarkan berita gembira
Nelayan panen raya
Ikan-ikan lompat kegirangan masuk ke dalam perahu
Sedang penjaja kopi membangkitkan
Gelak tawa turis dengan topi paris di kepala
Cemara terhitung seribu
Atawa jumlah yang tidak terbilang
Menjadi ruang peribadatan khusyuk burung gereja
Serta ritual pre-wedding adam hawa
Negeri pesisir menjadi resepsi perkawinan
Tukang parkir penjaga gumuk pasir
Pantai menjadi alamat larung sesaji
Menggelombangkan doa kepada Hyang
Tongkat musa mengular
Menjadi tradisi gethok tular doa-doa
Para abdi ratu bersama tangga keramat
Syekh maghribi yang membelah jalur pendakian
Purwokerto, 2018-2019
***
Hikayat Damaraja
Angin berhembus menuju kiblat
Mengamini rencana perjumpaan
Untuk mencium aroma pasowanan
Rumah jawi yang dipagari do’a
Ummul kitab melangitkan sayap putih
Sesampainya aku di kamar sunyi
Kulihat wajah penuh kebaktian
Kau memejamkan mata dunia
Nyalalah kalbu muasal kitab-kitab atawa
Manakib para aulia; Diwan Damaraja
Aku bersila di samping kananmu
Mengucap salam; merentangkan wasilah
Seketika itu kau mempersilahkan tanganmu
Kukecup dengan takzim
Aku berharap kau bangkit dari hening
Udara begitu bersahaja
Aroma kematian sepertinya lazim saja
Pada saat shalawat diperdengarkan
Tanganmu bergerak isyarah
Sembahyang dengan takbir tiga
Malaikat penjaga selembut embun
Tubuhku dingin; menyaksikan kepulangan yang indah
Jiwanya adalah sayap burung
Terbang ke atas Tursina
Sedang aku bersiap ziarah dengan segenap duka
Purwokerto, 2018-2020
***
Glempangpasir
Di pesisir pantai selatan
Angin laut menyambutku
Menyampaikan berita dari kerabat
Musim panen wasilah perjumpaan
Kulihat anak-anak bermain gundu
Mengadu nasibnya yang piatu
Sebab bapak ibunya mengunyah perih
Di perantauan
Glempangpasir adalah waktu
Wajah kota penjaja perdagangan
Isyarah kata di jantung laut
Yang sunyi seperti nenek tua
Menjemur gabah di halaman rumah
Aku mencari alamat lewat telpon pintar
Sebuah gang yang dikerdili oleh rumah mewah
Menganulir cahaya matahari dan
Mata para turis yang mencari
Wanita berkulit cokelat tua
Akhirnya, kutemukan rumah kerabat
Dengan arsitektur yang sahaja
Pohon jeruk dan nangka menjadi penanda
Usia orang pesisir hanyalah
Angin yang menggiring doanya menuju
Keheningan
2019
***
Wahyu Budiantoro lahir di Purwokerto, 10 April. Saat ini ia tercatat sebagai Kepala Sekolah sekaligus pengajar di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto dan Logawa Institute Purwokerto. Esainya menjadi salah satu yang terbaik pada even Bulan Bahasa Universitas Gadjah Mada (UGM) 2019, Balai Bahasa Jawa Tengah (2019) dan Antologi Biografi 20 Kiai Banyumas (2020). Beberapa tulisnnya juga pernah dipublikasikan di koran Republika, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Bali Pos, Solo Pos, Harian Rakyat Sultra, Harian Fajar, Haluan, Minggu Pagi, Radar Mojokerto, Radar Banyumas, Analisa, Banjarmasin Post, Simalaba, Satelit Post, Nusantaranews.co, Antologi Puisi Sastra Reboan, Antologi Puisi Banjarbaru Rainy Day Festival, dll. Buku pertamanya berjudul Aplikasi Teori Psikologi Sastra: Kajian Puisi dan Kehidupan Abdul Wachid B.S. (Kaldera Press, 2016).