Oleh Muammar Ramadhan
Diskursus penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal senantiasa menarik dikaji. Hal ini bukan saja terkait dengan metode penetapan awal bulan yang berbeda satu dengan lainnya, namun juga menyangkut kegiatan ritual keagamaan dan sosial budaya yang melingkupinya.
Sepanjang sejarah sidang itsbat oleh Kementerian Agama, penetapan awal bulan Ramadhan dan awal syawal senantiasa menyisakan kontroversi. Persoalan hisab dan rukyah termasuk persoalan fiqih atau ijtihadi. Karena itu, dalam penentuan awal Ramadlan dan Syawal di Indonesia terjadi perbedaan. Dalam skala kecil, perbedaan ini membingungkan masyarakat awam dan sedikit menyebabkan sedikit ketegangan di tengah masyarakat. Namun demikian hal ini tidak sampai menyebabkan konflik sosial. Hal ini karena perbedaan ijtihadiyah sudah hal yang wajar. Hanya saja karena menyangkut peran pemerintah dalam menetapkannya, maka hal ini menjadi isu nasional yang setiap tahun mengemuka.
Hisab dan rukyah merupakan dua istilah yang sering dibincangkan menjelang sidang istbat oleh Kementerian Agama. Dua terminologi ini senantiasa aktual untuk dikaji karena menjadi dasar penetapan sidang itsbat sehingga sering menyisakan pertanyaan lebih valid mana antara hisab dan rukyah? Pertanyaan ini senantiasa mengemuka paling tidak karena dua hal. Pertama, hasil hisab -meski sudah memenuhi standar imkanu ru’yah, tidak sesuai dengan hasil rukyah. Kedua, penggunaan metode hisab wujudul hilal yang tidak mempertimbangkan imkanu ru’yah (posisi hilal yang memungkinkan diru’yah) sehingga seringkali berbeda dengan hasil ru’yah. Perbedaan antara hasil hisab dan rukyah inilah yang menyebabkan perbedaan awal Ramadhan dan Idul Fitri.
- Iklan -
Metode ru’yatul hilal (melihat bulan) merupakan metode penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal yang didasarkan kepada hadis Rasulullah Saw.
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلوُا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا
Artinya: Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Jika penglihatan kalian tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Dengan hadis di atas, maka Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) dalam menetapkan awal bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (awal Syawal) menggunakan metode rukyah. Hal ini karena melaksanakan ibadah puasa adalah masuk dalam ranah ta’abbudi (bersifat ibadah) sehingga harus mengikuti redaksi teks hadis sesuai tuntunan Rasulullah Saw.
Penggunaan metode rukyah bukan berarti para ulama NU tidak ahli dalam hisab (perhitungan) untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Kesan bahwa penggunaan rukyah menunjukkan ulama NU tidak ahli hisab dibanding ulama lainnya adalah tidak benar. Ulama-ulama NU ahli falak sangat mahir dalam melakukan hisab awal bulan. Namun mengingat pelaksanaan ibadah puasa merupakan ranah ibadah maka harus mengikuti tuntunan Rasulullah Saw. Dengan demikian, meskipun para ulama NU sudah melakukan hisab awal Ramadhan dan Syawal namun tidak akan memutuskan penetapan awal Ramadhan maupun Syawal sebelum melakukan rukyah.
Data perhitungan hisab awal bulan Ramadhan dan Syawal tetap diperlukan dan penting dilakukan untuk panduan melaksanakan rukyah. Panduan ini akan menentukan keberhasilan rukyah karena dengan mengetahui data hisab awal bulan akan diketahui ijtima’ (konjungsi) bulan dan matahari, ketinggian hilal saat matahari terbenam, umur hilal, dan posisi hilal saat matahari terbenam. Kecermatan data hisab ini sudah dirumuskan ulama NU ini menjadi bagian terpenting kegiatan rukyah yang diselenggarakan oleh Lajnah Falakiyah NU di berbagai daerah.
Lepas dari perbedaan apakah rukyah harus dilakukan dengan mata telanjang atau boleh dengan menggunakan alat, oleh ulama NU kedua-duanya dilakukan. Saat ini, pelaksanaan rukyah dibantu dengan menggunakan teknologi modern berupa teleskop, foto, dan komputer.
Data hisab menujukkan bahwa konjungsi (ijtima’) akhir bulan Sya’ban yang jatuh pada hari Kamis Tanggal 23 April 2020/29 Sya’ban 1441 dengan ketinggian hilal mar’i 3 derajat 19 detik. Dengan data ini jika nanti rukyah berhasil dilakukan dan hilal dapat dilihat maka Ramadhan tahun 1441 H/2020 M akan jatuh pada hari Jum’at, 24 April 2020.
Adapun data hisab untuk menentukan awal Syawal 1441 H menunjukkan bahwa konjungsi (ijtima’) akhir Ramadhan terjadi pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2020 dengan ketinggian hilal mar’i 6 derajat 50 detik. Dengan data ini, maka 1 Syawal 1441 H/2020 akan jatuh pada hari Ahad 24 Mei 2020.
Dengan data di atas, dimungkinkan kegiatan rukyah akan berhasil melihat hilal sehingga antara data hisab dan hasil rukyah akan sama. Hal ini mengingat data-data hisab memungkinkan hilal dapat dilihat (diurkyah) sebab ketinggiannya sudah memenuhi ketentuan Imaknur Ru’yah (kemungkinan ketinggian minimal hilam dapat dilihat dengan ketinggian minimal 2 derajat). Karena itu, dapat diperdiksi bahwa sidang itsbat Kementerian Agama akan memutuskan sesuai data hisab tersebut, yakni awal Ramadhan 1441 H jatuh pada hari Jum’at 24 April 2020 dan 1 Syawal jatuh pada hari Ahad tanggal 24 Mei 2020. Namun demikian, sesuai prosedur sidang istbat dan prinsip Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, kepastian penetapannya harus menunggu hasil rukyah yang nanti akan di lakukan di sejumlah daerah di Indonesia.
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah, Kandidat Doktor UIN Walisongo Semarang.