Cerpen Anas S. Malo
Saya memasukkan campuran semen dan pasir di molen. Sementara dua orang sibuk menyusun batu bata untuk membuat tembok. Beberapa orang mengeruk gorong-gorong. Sementara yang lain membuat pondasi bangunan. Peluh mereka saling berjatuhan dan sesekali diseka menggunakan punggung telapak tangan dan kaos lusuh mereka.
Mereka kerja bakti untuk merenovasi gereja di desa kami. Sudah satu abad lebih desa kami berdiri dengan keindahan kerukunan warganya. Mereka saling menolong satu sama lain, tidak pilih-pilih. Kata Kakek, dulu pada waktu pendirian masjid desa, mereka ikut membantu warga membangun masjid, bahkan mereka menyumbangkan uang dan bahan material.
Akidah kami tetap baik-baik saja. Kami tetap beriman dengan agama yang kami anut—ajaran yang mengajarkan kasih sayang terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan.
- Iklan -
Beberapa kaum wanita menyediakan makanan santap siang dan beberapa camilan serta kopi. Ada pula yang tidak menghendaki kopi, karena mereka punya penyakit asam lambung sehingga mereka hanya menenggak teh, hangat atau dingin. Selain itu, juga ada jajanan pasar yang begitu mencolok warnanya.
Setelah beberapa waktu, kami disuruh berhenti sejenak untuk istirahat dan makan siang. Matahari mulai tepat di atas hari, namun tidak sepanas hari-hari sebelumnya. Agak mendung, disertai desir angin dari utara. Beberapa pohon jati ditebang supaya tidak mengganggu perluasan— kayunya untuk bahan bangunan.
“Terima kasih saudara-saudaraku, atas bantuannya hari ini. Mudah-mudahan renovasi gereja ini cepat selesai, agar kami bisa menggunakannya,” kata Pak Bernat pengurus gereja. Kami pun senang hati membantu.
Dua bangunan itu begitu kokoh berhadap-hadapan. Di sisi utara ada sebuah masjid tua yang diberi nama Nurul Hidayah. Sedangkan di selatan berdiri sebuah gereja yang bernama Santo Andreas. Kedua bangunan tersebut berdekatan. Bangunan tersebut menjadi identitas kerukunan di desa kami.
Beberapa hari kemudian, digelar Malam Natal sebelum Perayaan Misa Natal di pagi harinya. Malam Natal berlangsung penuh khidmat. Saya hanya bisa melihat dari kejauhan— sekitar seratus meter dari rumah saya. Meski tak terlalu meriah, namun Malam Natal berjalan dengan lancar dan damai.
Sekitar jam delapan malam, anak saya yang paling bungsu menggelendot di punggung saya ikut melihat perayaan malam itu. Namanya Delina. Ia masih terjaga, meski saya tahu kalau ia sangat mengantuk. Pandangannya samar-samar melihat perayaan itu, duduk di pangkuan saya. Bola matanya melihat ada cahaya warna-warni di arah gereja.
“Leo pasti ada di situ ya, Yah?” tanyanya sambil mengucek-ngucek matanya yang semakin sayu karena kantuk. Ia berusaha untuk tetap bertahan, meski ia lelah bukan main, setelah seharian ikut kegiatan sekolah.
“Mungkin saja,” jawab saya singkat sambil mengelus rambutnya yang lembut nan wangi. Ia sudah tahu apa yang sebenarnya ia lihat. Dan ia sudah mengerti jika hal tersebut berbeda dengan perayaan agamanya yang selama ini ia ikuti.
“Ayah,” serunya.
“Iya sayang?” jawabku.
“Kenapa di sekolah, Leo mengikuti pelajaran agama kita, padahal agamanya beda?” Aku dibuat kaget dengan pertanyaannya. Ia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas dua. Sesaat hening, tanpa ada suara dari saya maupun dirinya. Saya mencoba menjelaskan, meski hanya sekadar terkaan. Saya menarik napas panjang. Wajahnya melengos ke arah depan.
“Mungkin sudah kebijakan dari sekolah seperti itu. Mungkin karena pelajaran agamanya berpatokan pada mayoritas.” Kira-kira seperti itu, saya harus menjelaskan anak yang baru berumur delapan tahun. Saya berharap dengan penjelasan itu, ia paham.
“Kenapa bisa begitu, Yah? Jelas-jelas agamanya berbeda kok harus ikut dengan pelajaran kita?” tanyanya. Saya tahu betul sifat putri saya— rasa ingin tahunya tinggi, ngeyel seperti ibunya dan saya bersyukur memilikinya.
“Kalau itu, Ayah nggak paham, tapi kita patut bersyukur karena Leo mau belajar tentang agama kita. Dengan hal itu, semoga ia diberi hidayah. Biar ia tahu, jika agama kita itu agama yang damai dan indah,” jawab saya sambil berusaha menenangkannya.
“Kalau begitu, Delina boleh mempelajari agama Leo dong, Yah?” tanyanya. Dada saya tiba-tiba terasa berat dan panas. Saya selalu berpikir bagaimana Delina bisa paham dengan penjelasan saya. Saya berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Delina yang memang butuh penjelasan dan pemahaman. Saya tidak mau ada hal yang tak diinginkan. Kekhawatiran itu harus segera dimusnahkan.
“Ya tidak boleh, Nduk. Kita punya ajaran sendiri, sedangkan Leo dan keluarganya juga punya ajaran sendiri. Kita boleh menghargai tapi tidak perlu mengikuti ajarannya. Ayah harap kamu mengerti dan menjauhi pikiran mempelajari agama orang lain,” ucap saya sambil sedikit menahan marah. Saya rasa, Delina belum saatnya untuk memikirkan agama lain, kecuali agama yang dianutnya. Butuh ilmu yang lebih untuk hal ini.
Delina terdiam. Keningnya berkerut sambil melayangkan pandangan ke langit-langit teras. Saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Tapi, dari raut wajahnya, mengisyaratkan jika ia benar-benar berusaha menyerap apa yang saya ucapkan barusan kepadanya. Saya berharap ia mengerti apa yang saya sampaikan kepadanya. Saya tidak melarang Delina berteman dengan Leo tetapi, saya hanya ingin Delina mengetahui batasan.
Leo dan Delina memang sudah berteman akrab. Sejak Leo pindah di desa kami, beberapa tahun yang lalu, mereka sering bermain bersama. Pernah suatu ketika, Leo mendapat perlakuan tidak baik dengan teman-teman satu kelasnya. Lantas Delina berusaha untuk mencegahnya. Delina menceritakan hal itu pada saya.
Kalau saya tidak salah ingat, Delina pernah bercerita tentang Leo yang dibully oleh teman-temannya satu kelas. Delina mengatakan, jika saat itu Leo sering mendapat bullyan dari teman-temannya karena beda agama. Delina semakin kasihan dengan Leo.
Ada kerumunan setelah bel istirahat berbunyi. Delina tahu, di balik kerumunan itu ada Leo yang sangat tertekan. Melihat ada kerumunan, ia langsung melaporkan kepada Pak Syarif yang kebetulan berjalan menuju ruang guru. Singkat cerita, ia mengatakan jika ada kegaduhan di kelas. Delina dan Pak Syarif langsung menuju kejadian. Mereka berlari-lari kecil menuju ruang kelas.
Setelah tahu duduk perkaranya, Pak Syarif langsung menegur mereka dan memberikan pemahaman tentang bagaimana arti menghargai agama orang lain. Ia bercerita begini:
“Waktu itu, banjir menghancurkan sebuah Gereja Katolik Desa Khalsabad di Kota Gojra, Pakistan. Bencana yang menyeret para pemeluk Katolik di desa tersebut tidak dapat beribadah sedari lama. Satu tahun berselang bantuan datang. Bantuan itu datang dari warga muslim Khalsabad,” kata Pak Syarif.
“Warga Muslim tersebut menganggap bahwa gereja selayaknya masjid yang sama-sama merupakan rumah Tuhan,” lanjut Pak Syarif. Ia mengatakan, tidak ada alasan untuk saling membenci satu sama lain, termasuk berbeda kepercayaan.
Angin malam menggoyangkan rambut Delina di atas keningnya. Hawa dingin menyusup ke dalam pori-pori kami. Saya kira angin ini tidak baik untuk kesehatan. Delina juga merasakan demikian. Kami pun masuk ke dalam rumah. Meninggalkan perayaan Misa Natal dari kejauhan. Meraih gagang pintu, saya menutup daun pintu dengan pelan, berderit. Saya menuju ke kamar mandi untuk buang air dan berwudu. Sedangkan Delina langsung menuju ke kamar.
Dalam langkah menuju kamar tidur, saya masih terngiang-ngiang dengan pembicaraan dengan Delina beberapa waktu yang lalu. Bukan masalah bagi saya, hanya saja saya kaget dengan apa yang dibahas. Yang dibahas menyangkut hal yang sensitif.
“Aku mau puasa seperti teman-teman, Ma!” minta Leo kepada mamanya.
Mama Leo terperanjat mendengar permintaan anaknya. Sejenak menarik napas. Seperti ada sesuatu di tenggorokannya. Dadanya tersentak— seperti sesak. Dengan pelan ia mulai mengucapkan sesuatu pada putranya itu. “Kenapa harus begitu, Nak? Agama kita berbeda dengan agama teman-teman kamu, jadi ajarannya juga tidak sama. Yang penting kamu tetap menghormati mereka untuk berpuasa,” ucap mamanya.
“Caranya gimana, Ma?” tanya Leo.
“Kamu jangan makan dan minum di depan mereka,” jawab mama Leo.
“Memangnya, kalau agama kita berbeda dengan mereka, kita tidak boleh ikut ibadah agamanya mereka?”
Mama Leo kembali tersentak, menarik napas panjang. Ia berusaha untuk tetap tenang, menghadapi putra satu-satunya itu, “Tentu saja tidak boleh, Sayang. Semua ajaran agama sesuai dengan pedoman agama masing-masing,” jawabnya.
Ia menggenggam tangan putranya sambil menatap wajahnya. “Percayalah anakku, semua agama di muka bumi ini hanya mengajarkan kebaikan. Maka, kamu harus yakin dengan ajaran agamamu, bahwa ajarannya adalah kebaikan,” ucapnya sambil meyakinkan putranya. (*)
*Anas S. Malo, lahir di Bojonegoro. Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan belajar di Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta, Prodi Teknologi Hasil Pertanian. Karya-karyanya sudah tersiar di media lokal maupun nasional. Finalis National Community Investors Award 2018. Antologi cerpennya akan diterbitkan Belibis Pustaka yang berjudul Si Penembak Jitu