Oleh Muallifa
Saya ucapkan banyak terimakasih kepada pembaca opini yang saya tulis di Maarif NU Jateng edisi 19 Maret 2020. Sebuah tulisan tidak lain menjadi bagian dari perjalanan pengetahuan penulis sebagai jejak keilmuan yang menjadi konsumsi dalam kesehariannya. Kita bisa melihat ketika Kesigapan pemerintah dalam menghadapi covid-19 masih menjadi ingatan besar bagi masyarakat umum apabila bercermin pada komunikasi publik pejabat pemerintah yang bisa kita anggap sebagai bentuk perilaku menyepelakan virus yang mengerikan ini.
Sebelum pengumuman tentang corona, Mahfud MD sebut Indonesia bebas virus corona, sebelum itu menteri kesehatan, DR. Terawan juga dalam guyonannya melalui awak media, salah satunya “ Difteri saja tidak takut apalagi corona”, “Flu lebih bahaya dari firus corona”, “Masker untuk orang sakit”. Komunikasi publik menurut Joseph R. Dominick yang ditegaskan oleh para pejabat publik menimbulkan perilaku masyarakat yang kurang paranoid terhadap adanya virus civid-19. Padahal, virus yang mengerikan ini, Indonesia setidak-tidaknya memiliki waktu beberapa minggu sejak diumumkan adanya covid-19.
Komunikasi massa yang disampaikan oleh pejabat publik secara gamblang ditulis oleh para Jurnalis kemudian dibaca oleh masyarakat. Akibatnya, masyarakat juga bertindak tanpa seperti ada kendala apapun. Lambat laun, virus covid-19 ini terus berkembang dan mewabah ke seluruh nusantara. Menurut data terbaru pada tanggal 24 Maret 2020 menurut Ahmad Yurianto, juru bicara menteri kesehatan dalam penanganan kasus virus covid-19 Konfirmasi positif covid-19 sebanyak 107 kasus, dengan total saat ini 686 kasus positif. Kasus sembuh 30 orang, jumlah meninggal 55 orang. Angka tersebut merupakan akumulasi sejak awal melakukan pemeriksaan.
- Iklan -
Kagetnya, sikap pemerintah dalam penanganan virus ini dimunculkan oleh media massa dengan berbagai angle yang berbeda. Kita bisa melihat seruan tenaga kesehatan yang disampaikan oleh ketua ikatan dokter anak Indonesia dr. Aman Bhakti Pulungan, “ kamilah pasukan khusus untuk perang (melawan corona). Masalahnya musuh kan tidak tahu, berapa jumlah musuhnya. Kami tidak bisa melihat musuhnya dimanapun saat ini. Kami tidak dikasih senjata yang lengkap” begitulah pemaparan yang disampaikan dalam acara Mata Najwa.
Kalimat yang keluar dari para tokoh yang terlibat langsung terhadap penanganan kasus ini menjadi bukti kacamata masyarakat awam bahwa pemerintah belum masih gagap untuk bergerak cepat kasus ini. Seluruh elemen pemerintahan antara yang satu dengan yang lain mengalami krisis kepercayaan diri terhadap paparan data yang dihasilkan. Economy based yang dipaparkan oleh Karl Marx menjadi alasan bahwa segala sesuatu yang terjadai dan segala bentuk relasi sosial pada dasarnya membutuhkan uang,. Kita tidak bisa melakukan apapun tanpa modal yang bisa dijadikan dasar segala aktifitas. Apalagi kondisi rupiah Indonesia hingga saat ini semakin tidak tenggelam di lautan mata uang dollar.
Tidak hanya virus covid-19, virus HIV AIDS, virus flu burung, virus Ebola yang mematikan, serta virus yang lain nyatanya kebanyakan belum ada obat yang bisa memberantas. Maksimalnya vaksin yang bisa memperlambat laju penyebaran virus. Hal tersebut juga terjadi pada covid-19 yang sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang bisa memperlambat penyebaran virus.
Lebih dari itu, selama beberapa pekan yang akan datang. Masyarakat tentunya lambat laun akan mengubah perilaku konvensional menjadi digital untuk segala bentuk keperluan. Covid-19 bagi masyarakat Indonesia secara tidak langsung memaksa agar kita bisa menggunakan teknologi untuk seluruh kepentingan lini kehidupan. Kita benar-benar dipaksa agar bisa mengikuti laju percepatan ekonomi seperti negara yang lain. Mulai dari tatanan pendidikan, hubungan sosial, serta bisnis diharuskan untuk menggunakan teknologi.
-Penulis adalah mahasiswi IAIN Madura, Aktivis KOPRI PMII