Oleh Hamidulloh Ibda
“Virus itu, bisa diciptakan. Salah satu tujuannya, menakuti umat. Pokoknya, jualan obat”.
Status WhatsApps saya di atas, Senin (15/3/2020) kemarin, ternyata mengundang banyak respon para sahabat WA. Tak hanya berbentuk mendukung, namun juga kontraproduktif dengan argumen saya ini. “Ora mung obat, Pak. Tapi ya masker, obat cuci tangan, antiseptik, hand sanitizer”. Salah satunya begitu.
Sifat dari virus corona (covid 19) salah satunya “menghantui”, membuat resah, menakut-nakuti, puncaknya umat manusia “phobia” dengan virus itu. Kita tentu masih ingat, sekira tahun 2004, wabah flu burung menggegerkan plus menghantui Indonesia. Padahal, virus itu pertama kali ditemukan di Italia pada 1878.
- Iklan -
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan virus corona sebagai pandemi global. Tapi, sebelumnya Indonesia pernah lebih dulu menghadapi pandemi virus H1N1 atau flu burung. Bentuk flu burung kala itu sama, saya masih ingat meski lebih meneror corona dari flu burung.
Bagi saya, kedua jenis virus ini sama-sama seperti pola atau model, isme, aliran-aliran sedikit pemeluk Islam yang mengimpor manjah dari luar. Jelas, paling mentok di Indonesia ya gampangannya flu, batuk, meriang, udunen, dan panunen. Ini jenis-jenis penyakit lokal, bukan dari asing. Indonesia jelas tidak ada flu burung dan corona kecuali datang dari luar.
Mazhab Corona
Islam mazhab asing yang saya menyebutnya “impor murni” tanpa mau bercampur dengan local knowledge (pengetahuan lokal), local genius (jenius lokal), dan local wisdom (kearifan lokal). Berbeda dengan Islam yang dibawa Walisongo yang sejak dulu disebar melalui pendekatan ketiga hal di atas.
Efek corona memang ada sisi positif dan negatifnya. Tapi jika dianalisis, apa yang disebabkan corona ini hampir sama dengan tipologi umat Islam yang cenderung mainstream kanan alias kaku, konservatif, puritan, bisa disebut pula radikal. Mereka rata-rata berfaham bahwa Islam tidak dapat disatukan dengan budaya. Aneh!
Coba kita analisis persamaan antara Islam model demikian dengan corona. Pertama, modelnya sama, mereka beragama “membuang” orang, tanpa merangkul orang. Lah, nyatanya corona demikian.
Kedua, sama-sama menakuti, menghantui, membuat resah umat manusia. Sejatinya, agama itu ya menggembirakan, basiran wa nadiran. Mana ada agama yang menakut-nakuti, menghantui, bahkan meneror. Meski ada ayat di Alquran yang substansinya mengingatkan dengan nada keras, tapi outputnya tetap santun seperti prinsip yang diajarkan Nabi Muhammad bahwa Islam itu agama rahmat bagi semua alam. Begitu!
Ketiga, mereka cenderung antisosial. Jika bukan golongannya, mereka enggah bersosialisasi, enggah kumpul-kumpul tahlilan, mujahadah, diberi berkat dari tetangga yang mitoni saja tidak mau, karena menyebutnya haram, bidah, dan lainnya. Corona juga sama. Memunculkan kebijakan yang ahistoris, paradoks, karena umat manusia disuruh bekerja, belajar, dan tidak keluar rumah. Ini bukannya semakin gendeng ya? Masak hidup begitu? Masak Islam menyuruh begitu?
Keempat, membuat orang semakin sukar percaya kepada warisan leluhur yang sudah mengomparasikan hablumminallah (relasi dengan Allah), hablumminannas (relasi dengan manusia), dan hablumminalalam (relasi dengan alam). Jelas, virus itu makhluk Allah. Jika kita dekat dengan Allah, berzikir, rajin sedekah, dengan alam dan manusia baik, tentu Allah menjaga kita dari makhluknya itu. Bagaimana Allah mau baik dengan kita jika kita antisosial, kepada tetangga dilarang silaturahmi, kepada alam dilarang merawatnya lewat tradisi.
Kelima, munculnya pola hidup semua harus dibungkus termasuk mulut yang puncaknya nanti mendukung bercadar. Duh, duh, inilah puncak kekonyolan manusia yang mengira bahwa cadar adalah ajaran suci yang benar, padahal Yahudi sejak Islam belum menetas juga bercadar. Paradoks memang. Menolak budaya bergabung dengan agama, mereka sendiri “mengagamakan budaya”.
Keenam, menjadikan manusia berkiblat pada internet, siber, daring, teknologi kekinian yang sering dilakukan umat Islam yang kagetan itu karena belajarnya dengan Syekh Google, dan Youtube. Mereka tak punya sanad keilmuwan yang jelas, baik itu ulama, kiai, maupun masyayikh yang jelas sanad zurriyah maupun keilmuwannya. Asal viral dan menguasasi Youtube, Google, maka mereka mengagungkan mereka dan menjadi mereka sebagai anutan.
Ini baru sedikit model Islam mazhab corona yang lahir sejak dulu, kini didukung dengan kondisi yang kebetulan pas. Anda tinggal pilih, mau jadi muslim yang bersatu dengan Allah, manusia, alam, dan tidak memutus tali silaturahmi, atau tetap tercerabut dari akar dan konversi ke dunia digital. Semua tinggal pilih. Dus, corona itu aslinya makhluk apa?
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.