Cerpen Novia Sari Melati
Dendam hanya akan menorehkan kisah laga yang tak pernah usai. Benci hanya mampu membuat tidurmu kurang nyenyak. Cobalah tidur dengan bermimpi. Cobalah bernapas tanpa menghela. Cobalah kehidupan yang bahkan kau tak pernah merasakan sebelumnya. Bukan perihal monoton rasa—hidup yang kadang tidak kau harapkan jalan ceritanya boleh jadi menjadi hidup yang tengah menjadi idaman seseorang di luar sana.
Deru ombak menghentikan langkahku. Dahulu, aku sangat merindukan seseorang kembali dari kapal layarnya, berlari dengan berewok yang menghiasi wajahnya dan senyum semringah meski wajahnya penuh dengan kusam. Pria yang harus aku contoh ketika di masa depan nanti. Pria yang kukira pekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya. Dia bapakku, ralat —mantan bapakku.
“Nak, ayo kita pulang,” ujar wanita paruh baya yang sangat kucintai lebih dari apapun. Bahkan aku enggan menikah dengan wanita lain ketika melihat ibuku sendirian di rumah. Aku ingin selamanya menghiasi wajah keriput ibu dengan sejuta senyum kebahagiaan. Namun sepertinya, niatku selalu terhalang oleh bayangan masa lalu tentang mantan bapakku.
- Iklan -
Tiga belas tahun yang lalu, sejak usiaku menginjak 12 tahun, saat itulah masa-masa paling pedih yang aku lalui. Sebagai seorang anak laki-laki sudah seharusnya aku menahan setiap air mata yang jatuh akibat kekecewaan terhadap sikap bapak. Tetapi aku urungkan niatku menangisi pria sepertinya, aku tak pernah ingin menganggapnya sebagai bapak, dan aku benci mengakui bahwa darahnya mengalir pada tubuhku.
“Hom pim pa alaiyung gambreng!” teriakku bersama teman-teman di pesisir pantai. Kami tengah bermain sembari sesekali ombak menerpa ujung jemari kami.
“Yoshi, kau kalah!” teriak Nino padaku. Aku mengerucutkan bibirku sambil menenteng kedua tanganku di samping, layaknya seorang bos.
“Sebagai laki-laki sejati, aku hitung sepuluh mundur sambil memandang air laut! Satu…,” suaraku membuat teman-teman panik mencari tempat persembunyian yang sulit kutemukan.
“Dua…”
“Tiga…”
“Empat…”
“Lima…”
“….”
“Sepuluh!”
Aku memejamkan mataku sambil menghirup udara segar sore hari ini. Deru ombak membuat hatiku damai, tetapi tugasku belum selesai sebelum keenam temanku berhasil kutemukan.
“Nino, aku tahu kau pandai memanjat. Tapi panjatlah pohon yang banyak daunnya. Jika kau bersembunyi di atas pohon bakau, lantas bagaimana caramu menyembunyikan diri?” tanyaku sambil menatap Nino yang memunggungiku. Dia menyerah dan berakhir turun dari pohon bakau.
“Ruri, kau tahu jika sore hari kapal layar yang tengah diparkir tak mungkin bergerak sendiri. Kenapa kau memilih di dalamnya untuk bersembunyi?” aku melihat sandal jepit Ruri yang hampir lepas jepitannya. Dia menyerah sembari menghela napas.
Begitu pula Yoyo, Mito, Fafa, dan Kila. Mereka sangat mudah ditemukan, apalagi pesisir pantai tak banyak tempat untuk bersembunyi. Mereka kesal karena aku menemukan mereka tak kurang dari setengah jam. Biasanya, jika yang kalah Nino, kami akan usai bermain ketika azan magrib berkumandang. Itu pun saat Nino baru menemukan satu dua anak saja.
“Besok Yoshi nggak boleh kalah!”
“Iya, Yoshi pinter banget!”
“Hahaha, makanya…,” belum sempat aku melanjutkan kalimatku, sosok pria paruh baya yang amat kurindukan berjalan dengan gagahnya ke arah kami. Meski hanya siluet karena melawan sinar senja sore hari ini, aku tahu dia siapa. Ya, bapakku.
“Bapak!” teriakku kegirangan. Bapak merentangkan kedua tangannya untuk bersiap menerimaku dalam pelukannya. Aku tak peduli betapa usangnya ia saat pulang, dia bapakku dan aku akan sangat bangga kepadanya.
Setelah kami pulang, terdengarlah perdebatan antara ibu dan bapak. Jarang mereka berdebat, bahkan bisa dibilang ini adalah kali pertama orang tuaku berdebat. Aku tak paham karena aku harus ke surau untuk mengaji. Tetapi sepulang dari surau, di depan pintu rumah, sebelum aku mengucap salam, aku mendengar bapak berkata kepada ibu.
“Buk, sudah saatnya bapak merantau di kota seberang. Juragan Mende pun akhirnya sukses sepulang dari sana. Aku ingin membahagiakanmu dan Yoshida tidak hanya dengan cinta, tetapi juga materi,” begitulah kira-kira. Untuk anak seusiaku, siapa peduli apa itu cinta, apa itu materi. Yang kutahu hanyalah kami harus menjadi keluarga yang rukun dan bahagia.
“Assalamualaikum,” akhirnya suaraku keluar seperti biasa. Aku masuk pun seperti biasa. Namun aku merasakan suasana yang berbeda. Bapak dan ibu diam satu sama lain, karena aku mengantuk setelah salat isya dan main petasan, akhirnya aku masuk kamar untuk tidur.
“Belajar dulu, Nak!” suara ibu tercekat namun berhasil keluar.
“Iya, Buk,” jawabku seadanya.
“Sekolah yang bener!” itu suara bapak. Entah kenapa aku agak tidak suka dengan intonasinya, terkesan agak kasar.
Dan aku baru tahu bahwa malam itu, 26 November 2005 adalah malam terakhir aku berbincang dengan bapak. Lebih tepatnya, mendengar suara bapak. Setelah malam itu, bapak benar-benar memutuskan untuk merantau ke kota seberang untuk mencari nafkah. Bapak berangkat pagi-pagi sekali sebelum subuh untuk menghindari ombak pagi hari, kata ibu. Tapi aku tidak suka caranya berpamitan. Sangat tiba-tiba dan tidak biasa.
Sampai ketika aku SMA, tiba-tiba kiriman uang yang biasa bapak titipkan lewat pos berhenti. Ibuku sakit-sakitan dan aku harus membanting tulang untuk membantu ibu mempertahankan hidup kami. Selain itu, aku tak ingin putus sekolah. Untung saja otakku bisa diandalkan sehingga pada tahun terakhir, yaitu kelas 12 aku mendapatkan beasiswa.
Ibu berjualan makanan yang langka di sana. Seblak, itu pun aku yang merekomendasikan karena mayoritas warga di sini belum mengenal seblak. Meskipun demikian, kue dan gorengan juga tak berhenti diproduksi. Jika resep kue dan gorengan murni ibu yang tahu, berbeda dengan seblak yang itu hasil percobaanku selama 12 kali. Menguras kantong memang, tetapi jiwa entrepreneurship tiba-tiba tumbuh begitu saja.
“Mas Yoshi!” pekik seorang pria dengan handuk kecil yang disampirkan di pundaknya.
“Lik Bejo, kenapa?” tanyaku menghentikan langkah menuju sekolah. Hari ini terik, tetapi aku berangkat untuk les tambahan.
“Bukankah ini bapakmu?” Lik Bejo memperlihatkan koran dengan foto pria paruh baya yang masih gagah. Ya, dia bapak. Tapi aku tak menyangka dia masuk koran karena pesta pernikahannya dengan wanita kaya di kota seberang.
Tak sadar tanganku mengepal, ibu tidak boleh tahu tentang hal ini. Tetapi, penduduk desa ini selalu tak bisa menahan untuk tidak menyebarkan kabar, baik itu kabar menggembirakan atau bahkan menyedihkan. Aku memejamkan mataku sejenak, mengambil napas, dan membawa koran itu dari Lik Bejo. Langkahku menjadi cepat karena amarah dan tekad bulatku untuk menampar wajah bapak suatu saat nanti.
Sesuai dugaanku, ibu sudah tahu tentang hal ini. Aku sengaja pura-pura tidak tahu, begitupun beliau. Dia menyambutku dengan senyuman hangat seperti biasa. Matanya terlihat sangat lelah. Aku memakluminya karena kami tak memperkerjakan karyawan.
“Penjualan hari ini laris, Alhamdulillah, Nak!” kata ibu sambil menuangkan air mineral dari kendi untukku.
“Sekolahku juga lancar, Bu, Alhamdulillah. Bagaimana jika besok kita jalan-jalan?” itu hanya alibiku saja supaya ibu bisa menyegarkan pikirannya.
“Tidak, Le. Ibuk sudah terlanjur menerima pesanan kue untuk acara besar di rumah Pak Kades,” sahut ibu membuatku urung masuk ke kamar. Bukan karena ucapannya kuhentikan niatku istirahat di kamar, melainkan air mata ibu yang sudah kelewat jatuh dan membasahi pipinya yang tak lagi kencang seperti dulu.
Aku tahu, ibu tengah menangisi bapak, ia tak kuasa menahan rasa sakit di hati karena ia sangat mencintai bapak. Aku tahu, bahwa ibu terluka teramat sangat dalam hari ini. Aku tahu, ibu selalu memaafkan bapak. Tetapi hari ini, dengan bara api dalam dada, aku bertekad tak akan memaafkannya. Dengan amarah dalam dada, aku duduk memeluknya. Tetapi, hal yang membuat aku ikut menangis adalah kalimatnya di sela-sela tangisannya.
“Jangan kotori hati dan tanganmu dengan balas dendam, Mehta Yoshida,” untuk pertama kali ibu memanggil nama panjangku. Untuk pertama kali aku menangis karena ia lebih memilih jalan memaafkan secara tulus daripada membalas. Untuk pertama kali, ia benar-benar memintaku dengan cara seperti ini. Dan untuk pertama kali seumur hidupku, aku membenci seseorang lebih dari apapun.
“Mas Yoshi, ada panggilan dari investor!” Lik Bejo berteriak di meja administrasinya.
Ya, aku berhasil membuka sebuah rumah makan di daerah pesisir pantai ini. Dua tahun yang lalu, ada investor datang menawari kerja sama dengan penduduk desa ini. Untung saja ibu sering melakukan pelatihan membuat kue, gorengan, bahkan memasak masakan yang lain kepada tetangga, sehingga kedatangan investor tak membuat kami kikuk.
Pesisir pantai yang 13 tahun lalu sepi, hanya ada suara deru ombak dan kicauan camar pun, kini sudah menjadi objek wisata. Rumah makan ini bukanlah satu-satunya usahaku bersama penduduk desa setempat. Ada beberapa warga yang memiliki bakat terpendam seperti olahraga pencak silat, voli, bahkan selancar. Selain cabang olahraga, ada pula beberapa anak yang pandai dalam logika, akademik, serta debat. Sekolah kami pun maju seiring berkembangnya zaman. Setidaknya aku tak lagi melihat anak-anak seusia kami 13 tahun lalu buta teknologi.
“Selamat siang, Yoshida. Kau tahu saya tak pernah berbasah-basi jika ada hal serius. Berkat kerja sama di sana, ada beberapa perusahaan yang membuka seleksi beasiswa kuliah di luar negeri untuk siswa kelas XII. Jika baik hasilnya, maka ini akan menjadi program terbaik bagi kita,” ucap investor itu membuatku sukses menahan haru.
“Alhamdulillah Ya Allah. Terus kabari ya, Pak! Saya akan dengan senang hati mengumumkan kepada adik-adik di sini!” pekikku penuh rasa syukur. Bagaimana tidak, jikalau Tuhan memberikan nikmat yang begitu banyak melalui keringat, cucuran air mata, bahkan penderitaan yang pernah kami alami.
So, be positive thinking on your God!
Sembari menyiapkan segalanya, aku pun sempat melupakan kebencianku terhadap bapak. Aku ingin menyadarkan generasi muda di sini bahwa bermimpi itu tidaklah salah. Ada bintang yang harus diraih, ada hal yang tidak boleh terputus begitu saja. Ada orang yang perlu bangga telah mendidik kita.
Dan pada saat itulah aku menerima surat yang bagiku bagaikan petir di siang bolong. Surat dari putri bapak di kota seberang.
Teruntuk saudaraku jauh di sana, pesisir pantai yang selalu bapak ceritakan padaku, pesisir pantai yang sama sekali belum pernah aku rasakan selama ini.
Boleh aku panggil kau dengan sebutan Abang? Karena memang bapak selalu menceritakan tentangmu padaku. Agaknya aku iri dengan hal itu, tetapi aku tak menuntut apapun dari lelaki yang berhasil membangkitkan kembali bara yang pernah padam dalam dadaku.
Bang Yoshi, kau tahu?
Bapak menikah bukan karena beliau ingin. Mungkin, kau beranggapan bahwa dia adalah sosok kejam meninggalkanmu dan ibumu. Tetapi ketahuilah, bapak melakukan semua itu murni karena keinginan kerasku. Aku merasa bahwa dia adalah orang yang tepat untuk menggantikan posisi almarhum ayahku. Dia adalah sosok yang tepat untuk membahagiakan ibuku.
Maaf, bila aku egois. Tetapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa anggapan jahat yang mungkin selama ini kau pelihara adalah salah. Tetapi aku minta maaf aku ingin egois sedikit lagi. Aku ingin bapak menemaniku sebelum akhirnya aku bertemu dengan Pencipta-ku.
Bang Yoshi, alangkah bahagia bila aku bisa bertemu denganmu. Kau-lah satu-satunya lelaki yang selalu dibanggakan bapak. Bahkan, teman-teman pemudaku di sini, sehebat apapun mereka, tak pernah bisa menggoyahkan keyakinan bapak bahwa kaulah yang terbaik di matanya.
Bang Yoshi, aku tahu benar kau adalah lelaki yang baik hati. Jika tak memungkinkan untuk memaafkan keegoisanku, minimal, maafkanlah bapak. Dia tidak bersalah. Dia selalu menyayangimu.
Maukah kau anggap aku sebagai adikmu, walau hanya sebentar?
Adikmu yang kurang ajar,
Yenia Miftahudira
Semenjak surat itu datang, seluruh tatanan batinku berubah. Tuhan memang sangat pandai memberi kejutan. Termasuk saat ini ketika aku memegang kursi roda di depanku, dia bapak. Gejala stroke membuat kakinya tak bisa lagi digerakkan. Kami berada di sebuah tempat yang sebenarnya ramai, tetapi sangat sepi.
Bukan. Bukan perpustakaan.
Dua pasang mataku, pun pasang mata milik bapak sama-sama menatap benda terbuat dari kayu dengan ukiran yang sangat cantik. Secantik pemiliknya, kurasa. Aku belum pernah bertemu dengannya. Namun, satu yang pasti, aku melihat, nama yang tertera mengukir kayu tersebut. Nama yang berhasil mengubah gumpalan dendam menjadi setitik cahaya harapan bahkan kini bermetamorfosa menjadi taman nan indah.
Kayu itu menancap dengan gagahnya, seolah ia memang bangga berada di atas raga seseorang di bawah sana. Kukeluarkan buku kecil dengan tulisan kaligrafi Arab di sana—Tahlil.
“Esok adalah hari raya, aku kemari untuk menjengukmu, Adikku!”
*Novia Sari Melati, lahir di Magelang 24 November 1999. Tinggal di kaki Gunung Merbabu paling bawah, kecamatan Pakis. Mahasiswi PGMI STAINU Temanggung.