Tukang Amplop
Oleh Risen Dhawuh Abdullah
Tujuh belas kali sudah lelaki itu menawarkan jasa pembuatan amplop, namun belum juga ada satu pun orang yang memasang. Di sakunya tidak ada sepeser pun uang. Hari ini ia benar-benar tidak punya uang. Sementara di rumah, istrinya dengan penuh kesabaran merawat anaknya yang sedang demam.
“Ya Tuhan,sepelik inikah ujian yang Engkau turunkan pada hamba?” ucap lelaki itu dalam hati, sembari mengendarai sepeda motornya. Baru kali ini, ia menawari orang sebanyak itu dan tidak ada yang memesan. Sebelum berangkat, lelaki itu menyempatkan diri berutang bensin dua liter kepada tetangganya, sebab jika itu tidak dilakukan, ia tidak akan mungkin bisa keliling menawarkan jasa pembuatan amplop.
- Iklan -
Sudah lama lelaki itu bergelut dengan dunia amplop. Amplop yang ditawarkan tidak berwarna putih sebagaimana umumnya, melainkan amplop bergambar atau motif yang indah, yang nantinya di sudut tertentu diberi tulisan sesuai keinginan pemesanan—biasanya nama dan alamat. Sebenarnya jika dikatakan sebagai jasa pembuatan amplop tidaklah tepat.Sebab apa? Ketika ada seseorang memesan amplop kepadanya, ia akan terlebih dahulu pergi ke toko yang menjual amplop bercorak atau bermotif itu, yang mana perboks isinya lima puluh lembar. Ia akan membeli, lalu membawanya pulang—jadi ia tidak membuat amplop. Di rumah ia akan memberikan tulisan sesuai keinginan pemesan dengan cara disablon. Untuk harganya sendiri, lelaki itu menghargai dua puluh lima ribu perboks untuk amplop berukuran kecil. Sedangkan ukuran yang agak besar, tiga puluh ribu perboks.
Orang-orang yang pernah pesan amplop kepadanyatetap menyebutnya sebagai tukang membuat amplop atau tukang amplop. Dan kepada para orang yang yang ia tawari, lelaki itu selalu melibatkan kata membuat. Menurutnya hal tersebut tidak menjadi masalah. Orang-orang tidak ada yang tahu proses sesungguhnya.
Lelaki itu membelokkan kendaraannya di suatu jalan, menuju sebuah rumah sakit. Tentu saja ia tidak memeriksakan keadaan tubuhnya, sepeser pun uang saja tidak punya. Lalu? Tidak ada hal lain yang akan dilakukan selain menawarkan amplop. Sebelumnya, lelaki itu pernah menginjakkan kakinya di tempat itu, rumah sakit paling terpercaya di kotanya tinggal.
“Barangkali yang langganan amplop di sini sudah habis amplopnya dan mau pesan lagi…” Setelah memarkirkan sepeda motornya, lelaki itu berjalan gontai menuju pintu masuk utama rumah sakit.
Di rumah sakit itu, lelaki itu tidak akan menawarkan amplop kepada orang-orang biasa yang berseliweran—artinya bukan dokter atau perawat. Ia hanya akan menawarkannya kepada orang-orang yang berpakaian seragam, yang mendiami ruang-ruang tertentu. Selama ini memang yang ia tawari lebih kepada orang-orang berseragam, ataupun memiliki pangkat. Kenapa demikian? Sebab amplop yang bergambar dan ada tulisannya, terkesan mewah dan elegan.
Lelaki itu memasuki satu per satu ruang yang biasa dimasukinya. Menanyai satu per satu orang yang ada di dalamnya, sembari tangannya mencekal empat buah katalog yang di dalamnya berisi contoh-contoh amplop. Tidak ada satu pun yang memesan, dengan alasan yang hampir sama ; amplop yang pernah dipesan padanya belum habis.
Dulu pada saat sebelum ia beralih pekerjaan, dari menjualkan buku-buku milik suatu penerbit ke jasa pembuatan amplop, lelaki itu paham, amplop bukan barang yang cepat habis. Perlu berhari-hari lamanya, bahkan berbulan-bulan, untuk menghabiskannya. Alasannya simpel saja. Hajatan tidak setiap hari ada. Dengan kata lain, tidak setiap hari orang menyumbang ke orang lain yang sedang punya hajat. Pemesanan amplop akan meningkat saat hari lebaran tiba, untuk membagi-bagikan tunjangan hari raya.
Namun lelaki itu tetap saja alih pekerjaan. Sifat amplop yang tidak cepat habis, menimbulkan masalah baru. Ia tidak mungkin mengandalkan orang-orang yang hanya itu-itu saja untuk mendapatkan uang—yang memesan amplop padanya. Jika itu terjadi, berarti ia harus menunggu sampai amplop habis untuk menawarkannya lagi. Jika itu terjadi, maka jelas sekali, ia tidak akan bisa makan setiap hari. Maka itu agar memiliki pelanggan yang banyak, ia harus memiliki jaringan yang luas. Dengan begitu, ia dapat setiap hari menawarkan amplopnya.
Seorang lelaki berpakaian necis berjalan berlawanan arah dengan lelaki itu. Sekejap langsung timbul inisiatif untuk menawarinya. Ia menghentikannya. Ia membuka katalog amplop.
“Pak mohon maaf mengganggu waktunya, saya mau….” Belum selesai ia bicara, lelaki necis itu memasukkan uang seratus ribuan sebanyak satu lembar ke salah satu amplop yang ada di katalog tersebut sembari berkata, “semoga membantu.”. Lelaki itu cepat-cepat mengeluarkan uang yang baru saja dimasukkan. Rupanya lelaki necis itu mengiranya meminta sumbangan.
“Maaf, Pak. Saya tidak minta sumbangan. Saya hanya mau menawarkan jasa pembuatan amplop… Nah seperti ini, Pak, nanti jadinya. Jika bapak mau pesan, harga perboks dua puluh lima ribu. Sudah tertulis nama bapak, tidak perlu repot-repot menulis nama kalau mau menggunakan.”
“Oh, maaf, saya kira bapak ini mau minta sumbangan. Sekali lagi, maafkan saya, Pak,” ucap lelaki necis itu dengan raut muka memancarkan rasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Pak.” Kejadian yang baru saja terjadi, tidak hanya kali ini saja menimpa lelaki itu. Ia tidak pernah marah atas perlakuan itu. Tetapi ia heran dengan orang yang menganggapnya meminta sumbangan, padahal lelaki itu tidak pernah berkata akan meminta sumbangan. “Bagaimana? Apakah bapak mau pesan? Bapak tidak perlu repot-repot menulis nama lagi…”
“Maaf, Pak. Untuk saat ini saya belum berminat. Saya permisi dulu.”
Meski lelaki itu sudah menganggap penolakan ialah hal biasa bagi seorang sales, namun tidak bisa dibohongi, selalu ada rasa sakit yang datang di hatinya. Lelaki itu menghela napas. Saat ia keluar dari rumah sakit, langit tampak menghitam, seakan hendak menghadirkan kesuraman bagi bumi.Tangan kanan lelaki itu masuk ke dalam saku. Di dalam saku, telapak tangan itu mekar, berusaha memenuhi ruangan saku. Barangkali lelaki itu sedang berharap, di dalam sakunya ada keberuntungan. Tetapi tidak. Hanya hampa yang ada.
Sembari menuju gerbang keluar rumah sakit, dalam hatinya ia berkata, “jika aku tidak memiliki istri dan anak yang harus kuhidupi, mungkin aku sudah pasrah sejak tadi. Lebih baik aku lapar, daripada aku ke sana-sini tidak kunjung mendapat uang.”
Hujan menderas. Jalanan melengang. Sebagaimana biasanya, kios-kios, rumah-rumah yang memiliki teras, dan tempat-tempat apapun yang dapat digunakan untuk berteduh penuh dengan orang-orang. Tidak terkecuali lelaki itu. Ia menepi di depan sebuah bengkel sepeda motor yang kebetulan sedang tutup. Bajunya hampir basah. Rupanya ia sedikit mengalami keterlambatannya dalam menemukan tempat untuk menepi.
Waktu telah beranjak sore. Melihat hujan dan mendengar suara guntur, lelaki itu teringat suatu masa, saat ia baru tiga bulan menjalani pekerjaan yang dijalaninya sekarang ini. Kala itu, ia memasuki sebuah katering yang telah lumayan mempunyai nama, menemui pemiliknya. Di sana ia menawarkan amplop. Keadaannya saat itu sedang hujan deras, dan uangnya di hari itu tinggal dua puluh ribu saja. Sementara listrik di rumahnya habis.
Lelaki itu tersenyum. Si pemilik katering memesan amplop sebanyak dua puluh lima boks dengan tulisan nama kateringnya beserta alamat dan seketika itu pembayarannya langsung dilunasi—sampai sekarang yang memesan amplop atas nama bukan individu hanya katering itu. Bayang-bayang yang mendekam di kepalanya tentang rumahnya yang gelap segera sirna.
Tidak terhitung jumlahnya, berapa kali katering itu memesan amplop kepadanya—amplop yang dipesan katering itu tentu saja bukan untuk nyumbang, melainkan keperluan perusahaan. Katering itu menjadi pelanggan tetap lelaki itu. Sayang seribu sayang, beberapa waktu yang lalu, usaha katering itu tutup. Entah apa yang menyebabkan.
“Andai katering itu masih ada, dan si pemilik menghubungiku…” kata lelaki itu dalam hati. Ia terus membayangkanbila hal itu terjadi saat ini.
Beberapa saat kemudian hujan mereda dan menyisakan gerimis tipis. Malam baru saja tiba. Sembari melajukan sepeda motor, ia berpikir, harus ke mana lagi akanhunting? Kerlap-kerlip lampu perkotaan yang indah, bukan lagi menjadi pemandangan yang menggembirakan hati. Sepeda motor terus melaju, tanpa lampu. Ya, tanpa lampu. Sudah lama sekali lampu sepeda motornya mati, dan tidak pernah diurus oleh lelaki itu. Alasan paling kuat, kenapa ia tidak mengurusi tak lain karena ia hampir tidak pernah keluar malam.
Tetapi malam ini, keadaan memaksanya untuk berkendara. Lelaki itu tidak mungkin mempercepat kendaraan roda dua itu. Sama saja ia bunuh diri. Jalanan padat, apalagi ini malam minggu. Malamnya anak muda. Ia terus berpikir, dan berpikir. Pada akhirnya ia menyebut nama seseorang. Suroso!
“Apa aku ke rumahnya saja, ya? Sudah lama sekali aku tidak ke sana menawari amplop.”
Pada awalnya, ia ragu. Hari telah malam. Lelaki itu tidak enak juga bila harus ke rumah Suroso, seorang lurah yang ia kenal lima tahun lalu—terakhir kali Suroso memesan amplop kepada lelaki itu delapan bulan yang lalu. Ia takut kedatangannya akan membuatnya tidak nyaman. Apalagi kedatangannya hanya akan menawarkan amplop, tidak ada kepentingan yang lebih penting. Namun keadaan berhasil membuat keraguannya hilang.
Lelaki itu memutuskan pergi ke rumah Suroso. Butuh waktu sekitar dua puluh menitan untuk sampai di sana, jika dihitung dari posisinya di mana ia berada. Gerimis masih berjatuhan, ia berharap gerimis itu tidak berubah menjadi hujan deras. Dingin menusuk tulang. Ia menggigil. Jalanan basah memantulkan sinar-sinar kendaraan, menjadikan perjalanannya sedikit lebih lama. Matanya sesekali harus menahan silau.
Tiba-tiba saja telinganya mendengar suara ledakan. Sepeda motor lelaki itu berjalan semakin melambat. Semakin berat. Lelaki itu menghentikan sepeda motornya. Ia menoleh ke arah ban belakang. Bocor!Lelaki itu tentu tidak lupa kalau ia sedang tidak memiliki uang sepeser pun. Ia menuntun sepeda motornya. Mendadak hujan menderas!
Di waktu yang bersamaan, baru saja seorang lelaki yang tidak lain Suroso meninggalkan rumah lelaki itu. Sekitar lima belas menit yang lalu ia datang. Istri lelaki itu bahagia sekali. Betapa tidak? Suroso, memesan amplop dua puluh boks dan dibayar tunai! Sebenarnya ia akan bertemu lelaki itu, namun lantaran ia tidak di rumah, maka istrinya yang menemui dan melayani. Lalu bagaimana dengan lelaki itu? Ia menuntun sepeda motornya dengan keadaan basah kuyup.
Bantul, 2019
* Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.