Cerpen Fuat Riyadi
Dingin udara pagi kaki Gunung Sindoro berselimut kabut, membuat hati terasa sejuk damai. Hamparan padi keemasan, lambaian hijau daun pisang dihembus bayu, serta kicau merdu prenjak dan pleci menciptakan sebuah simfoni indah pagi hari. Seorang pemuda, Aidi akrab orang-orang memanggilnya, dengan tergopoh-gopoh keluar dari sebuah rumah yang terletak di pinggir desa. Tas ransel cokelat tampak melekat di punggung. Jaket usang warna biru dongker, lindungi diri dari dingin udara gunung pagi hari.
Aidi pemuda desa, yang lahir dan dibesarkan di sebuah desa di mana tradisi berjanjen, maulidan, tahlilan, yasinan, pengajian dan tradisi keislaman lainnya tumbuh dan berkembang di masyarakatnya. Hampir setiap malam selalu ada kegiatan keagamaan, yang secara bergantian dilakukan oleh warga di desanya, misalnya senenan, selasanan, rebonan, kemisan, yasinan dan tahlilan.
Senenan, merupakan suatu tradisi membaca tahlil yang dilakukan oleh ibu-ibu pada malam Senin secara berjamaah. Selasanan, suatu kegiatan mujahadah yang dilakukan para pemuda desa pada malam Selasa. Rebonan adalah tradisi pembacaan kitab albarjanji yang dilakukan ibu-ibu muda setiap malam Rabu. Kemisan, merupakan pembacaan Al Quran yang dilakukan ibu-ibu setiap malam Kamis dengan metode simakan secara bergantian.
Malam jumat, merupakan malam yang penuh dengan aktifitas atau kegiatan keagamaan, mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa semua melakukan aktifitas keagamaan. Bakda maghrib di malam Jumat, puluhan anak dengan diiringi rebana membacakan kitab maulid atau berjanji. Sedangkan sehabis sholat isya, pemuda, remaja, maupun orang dewasa berkumpul sesuai jamaahnya masing-masing, membaca yasin dilanjutkan tahlil secara bersama-sama. Serta masih ada lagi tradisi keagamaan lain yang dilakukan secara temporer maupun rutin di desa tempat tinggal Aidi tersebut.
Hampir setengah jam menunggu, akhirnya sebuah bis bertuliskan Purwokerto-Solo via Bawen melintas juga. Kursi jok dalam bis, penuh sudah diduduki penumpang yang terlihat letih karena jauhnya perjalanan. Satu kursi di belakang sopir masih tersisa, seperti sengaja disisakan untuknya. Sang sopir dengan kacamata hitamnya, terlihat penuh konsentrasi membawa laju bis melewati tanjakan berkelok. Sesekali tanganya menekan klakson, kaki kanan dan kirinya silih berganti menginjak kopling, gas, dan rem ikuti ritme jalan khas dataran tinggi.
- Iklan -
Mentari tersenyum melewati celah dedaunan perkebunan teh, dengan pelan namun pasti terus merangkak lewati tingginya Gunung Sumbing. Kabut putih masih selimuti kaki Gunung Sindoro dan Sumbing yang tampak dari kaca jendela bis. Roda bis dan aspal hitam terus beradu, semakin jauh meninggalkan Gunung Sindoro dan Sumbing, semakin lama semakin menjauh, diikuti kepulan asap hitam yang terus mengejar lajunya bis. Dingin udara gunung, mulai berganti dengan hangat udara kota dengan segala hingar bingarnya.
Roda bis akhirnya terhenti di sebuah terminal, lantunan lagu campur sari, dengan iringan suara kencrung, usir mimpi Aidi yang terlelap dalam keletihan akibat perjalan jauh.
“Solo Pos Solo Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat,” keras suara penjaja koran, menawarkan tumpukan koran yang dibawanya. Silih berganti turun naik, pedagang asongan keluar masuk bis, berharap ada penumpang yang membeli dagangannya. Satu per satu dari satu kursi ke kursi yang lain, para pedagang asongan menawarkan barang dagangannya, demi sebuah hidangan yang nanti sore akan dinikmati di meja makan bersama seluruh anggota keluarganya.
Hari semakin siang, arloji di tangan kiri Aidi menunjukkan jarum panjang di angka duabelas, sedang jarum pendek di angka sepuluh. Sang sopir mulai tancap gas, tinggalkan hiruk pikuk keramaian Terminal Bawen, kembali lanjutkan perjalanan. Satu setengah jam berlalu, tibalah bis di sebuah pemberhentian. Aidi segera turun dari bis, pria setengah baya bertopi bulat menghampiri seraya berkata dengan ramah, “Baru mudik, Mas? Mau turun mana?” Aidi menjawab, sambil naik dan memposisikan tubuhnya agar nyaman duduk di atas becak, “Jalan Gatak dua nomor limasatu, Pak.”
Perlahan becak berjalan melewati gedung berlantai empat dengan halaman yang luas di kanan dan kiri jalan yang terlihat cukup megah. Taman nan hijau dengan berbagai jenis tanaman peneduh dan warna-warni bunga semakin mempercantik gedung kampus tersebut. Rental pengetikan, foto kopi, warung makan, laundry, wartel, dan pengisian ulang air mineral serta deretan rumah-rumah kos, merupakan pemandangan yang tidak terpisahkan dari sebuah komplek kampus.
Kaki Si Tukang Becak, kuat mengayuh pedal, tak berapa lama sampailah roda tiga itu di alamat yang disebutkan. Lambaian dedaunan dua buah batang pohon melinjo, yang diterpa angin menyambut kedatangan Aidi. Sebuah plang nama rumah kos-kosan bertuliskan “Joker” (Jomblo Keren) Jalan Gatak 2 No 51 terpasang di tembok depan rumah. Pemilihan nama kos tersebut, hasil kesepakatan para penghuni kos, yaitu enam mahasiswa yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Lokasi kos terbilang strategis, karena terletak di belakang kampus, untuk menuju ke kampus pun cukup hanya dengan berjalan kali sekitar lima menit. Sebelah kanan maupun kiri “Joker Kos” adalah tempat kos mahasiswa putri, yang jarang sekali dapat berinteraksi dan berkomukasi karena terhalang pagar pembatas gedung. Letak kos dengan kantin atau warung makan tempat mereka memenuhi kebutuhan akan makanan cukup dekat. Sementara untuk kebutuhan ketik-mengetik tugas kampus dan skripsi, hanya dengan berjalan beberapa langkah sudah sampai di tempat rental pengetikan. Rasanya para penghuni kos sudah merasa nyaman tinggal di kos terebut. Terlebih “Joker Kos” masih satu atap dengan pemilik rumah kos tersebut, sehingga kalau ada keluhan atau kendala berkaitan dengan kos segera teratasi.
Sudoto, pria bertubuh tinggi besar dengan kumis tebal yang menghiasi wajahnya merupakan bapak pemilik “Joker Kos”. Pak Doto, anak-anak kos akrab memanggil namanya, seorang suami dari Ibu bernama Yanti, dan seorang ayah dari dua anak perempuannya merupakan sosok seorang ayah yang family man. Sehingga semua anak-anak kosnya dapat leluasa bercerita atau sekedar bercanda gurau dengannya, meskipun demikian anak-anak kos tetap merasa segan dan hormat kepadanya. Awalnya anak-anak kos ingin memberi nama kos menyerupai nama Pak Doto yaitu “Dototel”, biar berkesan seperti nama sebuah hotel berbintang lima di kota Solo. Namun setelah dipikir-pikir dan dibahas bersama, ternyata diurungkan karena khawatir akan menyinggung perasaan Pak Doto.
Terlihat Hendra di pojok kursi tamu sedang asyik membaca sebuah buku. “The Art of War Sun Tzu”, rupanya mampu menghiraukan kedatangan Aidi. Hendra mahasiswa asal Rembang ini memang dikenal sebagai kutu buku, tumpukan buku tebal selalu di atas meja belajarnya. Petikan gitar bertempo lambat, terdengar pelan mengalun dari sebuah kamar kos yang dihuni Coki.
“Cause we all live under the same sun, we all live under the same moon, why….” terdengar suara Coki menyanyikan lagu band Scorpion kesukaannya itu. Gitar lusuh yang penuh dengan gambar dan coretan-coretan buah karyanya sambil terus dipetiknya. Mahasiswa asal kota Pati ini, selalu isi waktu luangnya dengan bermain gitar. Lagu-lagu Fire House, Scorpion, Greenday atau Bonjovi menjadi teman setia isi hari-harinya.
Sebuah bendera besar berwarna dasar merah bertuliskan “Pasoepati Kampus”, terpasang di kamar kos nomor dua (Pasoepati adalah sebutan untuk suporter pendukung kesebelasan asal Solo). Kamar kos nomor dua ini, adalah kamar yang didiami oleh Wahyu, sang penggila sepak bola dari Cilacap. Atribut-atribut tanda fans sebuah kesebelasan tidak ketinggalan tergantung di tembok kamar tersebut. Poster-poster pemain sepak bola dari dalam negeri maupun luar negeri semakin membuat kamarnya lebih berwarna. Bantal, seprei dan selimut dalam kamarnya pun bermotif sebuah tim kesebelasan.
Tepat berhadapan dengan kamar kos Wahyu, sebuah kamar dengan hiasan dan ornamen gambar wayang, lakon Ramayana maupun Mahabarata dihuni oleh Zuhdi. Mahasiswa semester akhir asal kota Tegal ini, adalah seorang pecinta seni, khususnya seni wayang. Kecintaannya akan seni berasal dari tradisi keluarganya di Tegal. Karena kecintaan dan totalitasya terhadap kesenian, Ia dipercaya menjadi manajer “Teater Wayang Suket” dari Tegal, yaitu sebuah teater pimpinan Slamet Gundono, yang tidak lain adalah pamannya.
Keluar dari sebuah kamar kos, pria jangkung bermata sipit, si mahasiswa fakultas hukum dari Kudus, sambil berkata, “Endi oleh-olehe?” Fais, pria yang hari-harinya disibukkan dengan berbagai keluhan kasus hukum ini, merupakan seorang aktifis sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kampusnya.
“Kuwi jupuken ning meja ngarep,” jawab Aidi sambil masuk menuju sebuah kamar kos. Fais adalah teman seangkatan Aidi, namun beda fakultas. Ia masuk kuliah dan masuk kos bersama Aidi pada tahun yang sama, sehingga mereka terkesan lebih dekat dan akrab. Kedekatan tersebut karena Aidi dan Fais merasa senasib dan sepenanggungan.
Tangan Aidi segera meraih kantong celananya, diambil kunci kamar dari balik saku celana jeans hitamnya. Dua ekor oscar hitam kemerahan ke sana-sini dalam sebuah aquarium, seolah ingin mengatakan, “Aku lapar, aku mau makan.” Dengan segera Aidi, mengambil pelet ikan dan memasukkan beberapa butir ke aquarium. Kedua oscar pun saling menyambar. Selanjutnya mata Aidi melihat seisi kamar. Terlihat meja, kasur dan seisi kamar penuh dengan debu, segera Aidi mengambil kemoceng dan sapu untuk membersihkannya.
Selepas membersihkan seisi kamar, ia menuju kamar mandi, dilanjutkan makan siang. Papan informasi di kamar kosnya, memberi peringatan ada agenda pertemuan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di kampusnya hari itu. Aidi si pemuda dari desa di kaki Gunung Sindoro, ternyata seorang aktifis kampus. Sejak semester tiga, ia bergabung di sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang penelitian dan pengembangan mahasiswa. “Pengaruh memberscard terhadap tingkat konsumsi masyarakat Surakarta,” ucap salah seorang aktifis litbang mahasiswa, kepada beberapa orang di sekretariat litbang yang sedang alot berdiskusi tentang objek penelitian. Setelah selesai menentukan judul, sample, metode, time scedule dan segala keperluan penelitian akhirnya pertemuan ditutup dan diakhiri dengan jabat tangan.
Selesai pertemuan di litbang, di selasar gedung kampus Aidi bertemu dengan dua orang mahasiswi yang sedang duduk di kursi teras depan ruang sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
“Lagi nunggu dosen, ya?” Aidi bertanya.
“Iya, Mas. Ini ada jadwal kuliah, tapi dosennya belum datang,” jawab salah seorang dari mereka.
“Mau masuk mata kuliah apa?” tanya Aidi penuh selidik.
“Ini, Mas, pengantar ekonomi makro,” jawab satu mahasiswi lainnya.
“Lha.. Masnya nunggu dosen juga?” tanya salah seorang dari mereka.
Aidi dan kedua mahasiswi baru itu saling bertanya jawab, sampai tidak terasa hampir 15 menit sudah mereka lalui.
“Eh.. dari tadi ngobrol kok belum tahu namanya, boleh kenalan?” tanya Aidi.
“Aku Naini, Mas… Rumahnya Bekasi,” jawab mahasiswa berbaju biru.
“Aku Anis, Mas, rumah Kartasura,” mahasiswi baju merah marun ganti menjawab.
“Aku Aidi, asli Wonosobo,” jawab Aidi memperkenalkan dirinya.
“Wonosobo itu mana, Mas? Jawa timur ya?” tanya Naini penasaran.
“Wonosobo sebuah kota kecil di Jawa Tengah, dekat dataran tinggi Dieng,” jawab Aidi.
Percakapan antara, Aidi, Naini, dan Anis akhirnya terhenti, ketika dilihat wanita paruh baya bersepatu hak tinggi lewat menuju ke sebuah ruang.
“Udah dulu, Mas, lain waktu bisa disambung lagi, Bu Dosennya sudah datang,” Naini berkata dengan lembut.
Sikap dan gaya bahasa Naini membuat penasaran Aidi, karena ia mengatakan rumahnya bekasi, tapi kok tutur kata dan gaya bicaranya tidak seperti orang bekasi, cenderung seperti gaya bicara orang Solo. Sekilas pertemuan dengan Naini rupanya, membuat hati Aidi terusik. Gayanya yang sederhana dan bersahaja serta sikapnya yang sopan, santun dan lemah lembut semakin menarik hati Aidi untuk ingin lebih mengenal Naini. Cinta pada pandangan pertama, mungkin itu yang dialami Si Pemuda Desa itu. Pertemuan yang singkat namun cukup memberi kesan yang sangat berarti bagi Aidi.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Karena kesibukan dan banyaknya kegiatan kampus membuat Aidi sedikit melupakan peristiwa perkenalannya dengan Naini. Aidi yang kini semester tujuh, mulai sibuk dengan skripsi dan penelitiaannya. Hal ini karena ia pasang target, 3,5 tahun harus lulus S1. Ia sadar betul bahwa, adiknya yang kini duduk di kelas tiga SMA sebentar lagi akan masuk kuliah, tentu saja akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Suatu siang di bulan Januari, bertemu muka tidak sengaja dengan Naini si mahasiswi berbaju biru. Awalnya hanya saling sapa, hingga suatu saat Aidi dan Naini bisa bertatap muka dan ngobrol kembali, seperti waktu Aidi dan Naini bersama Anis ngobrol di depan sekretariat BEM. Namun kali ini hanya Naini dan Aidi yang bisa ngobrol karena Anis tidak masuk kuliah.
“Kok sendiri, teman yang satunya mana?” tanya Aidi membuka percakapan.
“Iya, Mas, nih… Anisnya lagi sakit jadi tidak kuliah,” jawab Naini.
“O.. gitu, nunggu dosen lagi?” tanya Aidi sedikit bercanda.
“Iya, Mas,” jawab Naini, sambil memperbaiki posisi duduknya yang terlihat belum nyaman.
“Eh.. Emang benar kamu dari Bekasi, soalnya dari gaya bicara kamu, kok tidak menunjukkan kalau kamu orang Bekasi, lho?” tanya Aidi penasaran.
“Iya.. Emang benar, Mas, aku Bekasi,” jawab Naini sambil tersenyum menggoda.
Aidi yang melihat, cara bicara dan ekspresi Naini semakin penasaran.
“Bekasi, ya? Kok logatnya kaya orang Solo?” sangkal Aidi
“Iya, Mas. Aku Bekasi, Beakang Kasih Ibu,” jawab Naini berusaha menjelaskan.
Aidi kemudian berkata kepada Naini, “Oh.. Kasih Ibu, rumah sakit yang dekat Stasiun kereta api Purwosari itu ya?”
Ternyata benar dugaan Aidi bahwa Naini adalah seorang gadis Solo, yang rumahnya berada di belakang rumah sakit Kasih Ibu Solo.
Sudah hampir setengah jam Aidi dan Naini mengobrol, namun yang ditunggu Naini belum datang juga. Percakapan Naini dan Aidi terlihat semakin menarik, hingga tak terasa waktu mulai sore.
“Mas, dah sore kelihatannya dosennya tidak hadir, lapar nggak mas?” ucap Naini.
“Ya, ni aku juga dah lapar, ke kantin saja yuk?” jawab Aidi sambil mengajak Naini ke sebuah kantin di pinggir kampus.
Percakapan mereka berlanjut di kantin, di mana keduanya bercerita tentang banyak hal. Naini adalah anak ketiga dari empat bersaudara, ayahnya asli Solo sedang ibunya berasal dari Jepara. Kedua orangtuanya menikah ketika ayah Naini saat itu bertugas di sebuah kantor pegadaian di kota Jepara. Kemudian pindah kembali ke Solo ketika Naini sekolah di SMA.
Sederhana, bersahaja, lesung pipi ketika tersenyum, gaya bicara yang sopan, santun dan lemah lembut, membuat Aidi sulit untuk melupakan Naini. Pribadi yang mandiri, terbentuk dari didikan kedua orangtuanya yang membesarkan Naini dan ketiga saudaranya penuh kasih sayang.
Hari ke hari Aidi mulai semakin merasa nyaman dekat dengan Naini. Demikian juga Naini merasakan hal yang sama. Keduanya mulai memiliki ketertarikan satu sama lain. Gayung pun bersambut, kalau dalam teori ekonomi mungkin seperti dikenal dengan istilah titik equilibrium, yaitu suatu titik yang terbentuk akibat adanya perpotongan antara curve suply dan curve demand, dengan kata lainnya keduanya saling merasa cocok. Dalam teori ekonomi, curve demand terbentuk dari berbagai titik permintaan, sedangkan curve suply terbentuk dari berbagai titik penawaran. Pada suatu titik tersebut, curve demand dan curve suply akan bertemu dan berpotongan, perpotongan kedua curve inilah yang dikenal dengan nama titik Equilibrium atau titik keseimbangan.
Demikian perasaan yang dirasakan antara kedua insan tersebut. Tepat di tanggal empat April 2004 Aidi berhasil mengungkapkan isi hatinya kepada Naini. Benih-benih cinta keduanya, mulai bersemi berawal dari sebuah pertemuan di kampus sebuah Universitas di kota Solo. Bunga-bunga cinta pun mulai bermekaran di hati mereka. Hari-hari mereka selalu terasa indah dan bahagia. Banyak harapan dan cita serta mimpi yang ingin mereka raih berdua. Aidi dan Naini kian hari makin dekat, mereka mulai mengenal lebih dekat kondisi masing-masing. Mereka memiliki lebih banyak waktu untuk bersama, bercerita dan berbagi banyak hal. Mereka saling bercerita mulai dari nilai hasil kuliah, hobi, kesukaan, dan kebiasaan masing-masing, bahkan sampai kondisi keluarga. Meskipun Naini dapat dikatakan dari keluarga yang cukup berada namun ia tetap sederhana dan bersahaja.
Sebagai anak seorang pejabat pegadaian di kota Solo, tentu dari segi materi ia sudah berkecukupan, berbeda dengan Aidi seorang anak desa yang orangtuanya petani yang serba pas-pasan. Meskipun demikian, Naini tidak pernah mengungkit atau membicarakan perbedaan keduanya, Ia tetap mencintai dan menyayangi Aidi apa adanya setulus hati.
Selesai menyelesaikan kuliahnya sesuai target yaitu 3,5 tahun dengan IPK 3,5, Aidi berniat mengadu nasib untuk hidup di Solo. Namun karena kehendak orangtuanya ia harus pulang ke kampung halamannya. Ayahnya yang dulu menjadi tulang punggung keluarga, seiring berjalannya waktu kini mulai menua dan sering sakit-sakitan, sehingga Aidi harus membantu ibunya. Aidi dan Naini pun akhirnya menjalani hubungan jarak jauh. Dalam hati Aidi mulai terbesit, keluarga Naini di Solo hidup dengan berbagai kemudahan dan kemewahan fasilitas sebuah kota besar, sedangkan keluarganya hidup penuh kesederhanan di pinggiran desa. Awalnya Aidi tidak mempedulikannya, perbedaan kondisi keluarganya dengan Naini, tidak menghalangi untuk menjalin hubungan dengan Naini. Ia menjalani dengan penuh kebahagian, ia berusaha untuk tidak memperhatikan perbedaan kondisi kedua keluarga.
Namun lama kelamaan, semakin hari dalam hati kecil Aidi mulai merasa terusik, rasa minder dan rendah diri mulai menghampirinya. Aidi merasa bahwa Naini terlalu baik untuknya dan tidak sesuai untuknya. Kebiasaan dan keseharian orangtua Naini dan Aidi terasa jauh berbeda. Ketika orang tua Naini bekerja di sebuah kantor megah, di mana setiap ruangnya ber-AC yang sejuk dan nyaman, mungkin orang tua Aidi sedang bergelut dengan kotornya lumpur sawah di bawah terik matahari yang panas. Ketika orang tua Naini berbelanja di mall atau swalayan berlantai empat yang mewah, mungkin orang tua Aidi sedang berbelanja di sebuah warung sederhana pinggir rumah, yang pembayarannya bisa menunggu sampai saat panen tiba. Ketika orang tua Naini bermain tenis meja, di sebuah stadion in door yang mewah, mungkin orang tua Aidi sedang bergelut dengan sabit dan cangkul di kebun belakang rumah. Dan mungkin masih banyak perbedaan-perbedaan yang lainnya dari kedua keluarga tersebut.
Aidi pun perlahan-lahan, mulai mundur teratur, berusaha menjauh dari Naini. Meskipun demikian, Naini masih seperti yang dulu, yang sederhana, yang bersahaja yang tulus mencintai Aidi apa adanya setulus hati. Merasakan adanya perubahan yang dialami Aidi, Naini justru menjadi lebih sering menghubungi Aidi. Melalui telepon atau berkirim surat Naini bercerita tentang hari-hari yang dilaluinya. Jarak bukanlah penghalang bagi Naini untuk mencurahkan isi hatinya kepada Aidi. Namun justru Aidi berusaha semakin menjauhi Naini. Kini ia semakin takut jika mencintai Naini. Sikap Aidi kepada Naini bukan karena ia mulai tidak mencintai Naini, bukan karena ia mulai membecinya, bukan pula karena mulai bosan dengannya, namun justru karena rasa sayang Aidi kepada Naini. Aidi merasa takut tidak bisa membahagiakan Naini, Ia merasa takut akan membuat Naini menderita jika Ia terus bersamanya.
Dalam bimbang dan kegelisahan hatinya, terpikir dalam benak Aidi, jika tidak bisa membahagiakan Naini, maka jangan lagi mendekatinya. Menjauhi dan melupakan Naini mungkin sebuah kesalahan, namun Aidi berharap semoga kesalahan yang Ia lakukan menghindarkannya dari kesalahan lain yang lebih besar. Kalau menjauhi dan melupakan Naini sebuah musibah, Aidi berharap semoga musibah yang Ia alami karena meninggalkan Naini menghindarkannya dari musibah lain yang lebih besar. Awal pasti akan ada akhir, pertemuan pasti akan ada perpisahan, duka akan ada bahagia. Jauh meninggalkan Naini adalah sesuatu yang terasa pahit, semoga di balik pahit perpisahan tersebut akan datang manisnya kebahagiaan. Obat atau jamu akan terasa pahit ketika diminum di awal, namun akan memberi kesembuhan dan kesehatan akhirnya. Hari-hari yang dilewati bersama Naini merupakan kenangan indah yang tidak pernah terlupakan.
“Maafkan aku Naini, jika aku tak bisa memenuhi janji, impian dan cinta yang kita bangun bersama. Maafkan aku Naini, tak bisa menjadi seperti yang kau harapkan. Maafkan atas semua kesalahan dan kekuranganku, yang tidak memiliki keberanian untuk melanjutkan cita dan cita kita. Raihlah cita dan cintamu meski tak bersamaku. Kejarlah indah dunia meski tak bersamaku. Terima kasih, untuk semua hari-hari indah yang telah kita jalani bersama. Terima kasih atas semua kenangan yang kita jalani, dan membuat hariku menjadi lebih berwarna. Terima kasih telah membuatku menjadi orang yang berarti dan bermakna. Terima kasih atas ruang di hatimu, yang kau sediakan untukku. Yakinlah, suatu saat, di suatu tempat, seseorang akan bersamamu, berbagi suka dan duka, serta mewujudkan mimpi bersamamu.”
Surat terakhir Aidi yang dikirim kepada Naini di akhir bulan September. (*)
***
FUAT RIYADI, lahir di Wonosobo, 21 Juli 1982. Guru MI Ma’arif Suren Gede, Kertek, Wonosobo