Oleh: Muallifah
Judul buku: “ Masak Hijrah Begitu? ”
Penulis : Edi Ah Iyubenu
Penerbit: Diva Press
- Iklan -
Tahun Terbit: Januari 2020
Jumlah halaman: 264 hlm.
ISBN: 978-62-391-837-9
Saya ingin memulai tulisan ini dengan kisah menarik yang dipaparkan oleh penulis yakni: Ja’dah binti al-Asy’at. Dia adalah cucu menantu Rosulullah Saw, istri Hasan bin Ali. Dialah yang meracuni sauminya sendiri, cucu kesayangan Rasul Saw, karena tergiur oleh bujuk rayu Yazid bin Mu;awoyah yang menjanjikan akan menjadikannya permaisuri bila membantunya ‘ menyelesaikan’ Hasan bin Ali. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah dinikahi oleh Yazid” ( hlm. 31). Cerita menarik yang bisa kita ambil hikmahnya bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menebak hati seseorang. Tidak ada yang bisa mengetahui isi hati seseorang, bahkan sekalipun dalam perilakunya ia mencerminkan kemungkaran terhadap Allah SWT, bukan otoritas kita untuk menghukumi seseorang tersebut kafir. Bahkan sekalipun hari ini ada orang yang baik, rajin beribadah, tidak ada yang tahu bahwa pada akhir hayatnya, seseorang meninggal bukan dalam keadaaan khusnul Khotimah atau sebaliknya. Hati itu berbolak-balik, oleh karenanya kita selalu dituntu untuk berdoa kepada Zat yang Maha Pemilik Hati agar tetap berada dalam agama-Nya.(hlm.33)
Fenomena ini kita sering melihat baik secara real ataupun dari berbagai informasi melalui media sosial. Banyak di kalangan kita memahami esensi Islam secara benar menurut dirinya sendiri, kemudian menolak kebenaran menurut orang lain. Buku ini menarik untuk kita baca, setiap diksi yang digunakan oleh penulis sepertinya tidak pernah menyulitkan pembaca untuk memahami esensi dari apa yang disampaikannya. Pembaca akan dibuat geli oleh trend hijrah masa kini yang marak dikampanyekan oleh masyarakat. Tulisan ini justru bukan Islamofobia, sebab memahami esensi Islam tidak hanya tentang persoalan hijrah yang menutup aurat secara syar’i, akan tetapi masih merendahkan perempuan yang tidak berjilbab. Hijrah bukan persoalan diri yang rajin beribadah, mulai dari sunnah, puasa, hingga membaca Al-Quran tapi membiarkan dirinya mencaci orang lain. Bukankah Islam kita memanusiakan orang lain? Lalu bagaimana jika hijrah versi kita menganggap diri jauh lebih baik, lebih shaleh daripada orang lain, melecehkan orang lain. Atau jangan-jangan hati kita terhijabi oleh perbuatan amal saleh diri kita sendiri. Maka dari itu, buku ini menyerukan agar pembaca senantiasa intropeksi terhadap apa yang diyakininya untuk tidak mudah melihat rendah orang lain (hlm.187).
Maka dari itu, afdhalnya, kita harus berguru langsung kepada orang yang bijaksana menyikapi segala kemampuan murid-muridnya, kedalaman ilmu agama yang mumpuni (hlm. 170). Akan tetapi, jika guru yang kamu ikuti justru mengajarkan agama dengan susah, peplik dan memicu kemudharatan, apalagi menganggap manusia lain yang berbeda pemahaman lebih rendah, maka lebih baik tinggalkan (hlm.205)
Bukanlah hal aneh yang terjadi pada saat ini ketika banyak sekali pertentangan paham keagamaan. Sering kita melihat media sosial yang isinya hadis, ayat Al-Quran, Shirah Nabawiyah, untuk menjelaskan esensi ajaran Islam. Banyak hal yang perlu kita pahami dari esensi ajaran Islam, tidak hanya berhenti pada pemahaman diri kita sendiri. Setiap kepala pasti memiliki interpretasi berbeda memaknai ajaran Islam, kita boleh berbeda pendapat dengan orang lain, asal tidak berbeda pendapat dengan Allah. Banyak diantara kita begitu mudah mengutip sepenggal hadis, berbicara dengan landasan ayat Al-Quran, bagaimana nyatanya kalau itu semua hanya berhenti pada teks tertulis semata. Seyogyanya, memaknai ajaran Islam terletak pada pengaplikasian diri yang selalu berdoa agar selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Kisah menarik juga dipaparkan oleh penulis yakni pada masa Rosulullah, ada seorang yang kencing di masjid. Akan tetapi, para sahabat mencoba menegur orang tersebut. Rosulullah melarang para sahabat itu. Akhirnya, setelah orang tersebut selesai kencing, Rosulullah menyiramnya dengan air, lalu memberi tahu kepada si Fulan agar tidak buang air kecil di Masjid. Begitulah cinta kasih yang diperlihatkan oleh Rosulullah untuk menjadi panutan dalam kehidupan beragama. Sebab tidak perlu menegakkan kebenaran dengan cara berkoar-koar apalagi menyakiti orang lain, mempermalukan orang lain di depan orang banyak hanya untuk memberi tahu kesalahan yang terjadi. Hijrah tidak sebatas ketika kita memperbaiki seluruh ibadah, lalu dengan lantang kita melecehkan kedua orang tua yang tidak melaksanakan hal yang sama seperti diri kita. Bersikaplah selayaknya manusia, kalau kita tidak bisa melihat orang lain dengan kesamaan, seharusnya kita melihat orang lain sebagai sesama makhluk Allah yang memiliki derajat yang sama.
Begitulah menariknya membaca buku ini memberikan kita pandangan bahwa selama ini kita terlalu fixed mindset menanggapi orang-orang sekitar yang saat sedang hijrah apalagi sampai menjauhinya. Menemani teman, sanak keluarga yang sedang berhijrah justru kewajiban kepada kita agar bisa saling memberikan kebermanfaatan satu sama lain dalam mencapai Ridho Allah Swt.
Akan tetapi, pembahasan dari awal yang disampaikan penulis dengan bahasa lugasnya serta kedalaman pengetahuan penulis membuat saya merasa ditampar dengan pilihan diksi yang ada. Pembahasan akan lebih menarik perhatian pembaca ketika pemaparan yang disampaikan tidak sebatas kisah masa lampau semata, akan tetapi fakta yang terjadi bahwa kalangan hijrah lebih dominan diikuti oleh para kaum millenial yang tertarik dengan isu-isu kontemporer. Bagi pembaca yang saat ini sedang melakukan proses hijrah, akan menganggap bahwa buku ini merupakan tulisan Islamofobia, sebab kalimat yang digunakan begitu menampar fenomena yang ada.
Pembaca, khususnya yang sedang hijrah akan merasakan sakit oleh tiap kata yang disampaikan oleh penulis. Jika diksi yang dipilih berbeda, mungkin pembaca tidak akan merasa demikian. Akan tetapi, pemilihan diksi yang ada, justru bukan merupakan kekurangan tulisan, sebaliknya menunjukkan keluwesan penulis menyampaikan kepada pembaca untuk melihat hijrah secara kontekstual semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah, memperbaiki hubungan vertikal serta horizontal.
-Peresensi adalah mahasiswi IAIN Madura. Penulis buku “ Mahasiswa, Baper No! Produktif Yes!”