Oleh Hamidulloh Ibda
“Universitas itu bukan rumah besar dengan satu pintu. Tapi rumah besar, ruangan besar dengan banyak kamar dan pintu”.
Meski dalam tataran teknis susah, tapi pendapat Cak Nun di atas menarik dielaborasi lebih dalam dan luas. Sebab, saat ini yang ada hanya praktik pendidikan baik sekolah/madrasah dan perguruan tinggi yang mengharuskan serba linier, prosedural, teknis, birokratis, dan “menyembah administrasi”.
Di kampus, ada prodi, jurusan, fakultas. Lantaran fokus spesifik seperti ini, wajar saja jika menurut Cak Nun, yang ada adalah “sarjana fakultatif”, bukan “sarjana universitas” yang lebih menguasai banyak hal, tanpa sekat-sekat disiplin ilmu. Tanpa membatasi diri dengan sel penjara bernama “linieritas”. Begitu!
- Iklan -
Ini saya alami tiga tahun lalu waktu awal menyusun kurikulum di prodi saya. Capaian pembelajaran harus sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Begitu pula dengan jenjang MI/SD sampai MA/SMA/SMK, semua harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang disusun BNSP.
Lantaran dunia pendidikan diharuskan demikian melalui regulasi-regulasi, capaian pokok pendidikan yang tidak sekadar tarbiyah, tapi juga taklim, takdib, menjadi terbaikan. Bahkan, nyaris sirna ditelan zaman yang kian materealistik saat ini.
Inovasi itu Ngawur!
Bagi guru, dosen, kepala madrasah/sekolah yang biasa-biasa saja, tentu rata-rata hanya memenuhi target di atas. Padahal, tantangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, semua hal hampir semuanya terdisrupsi, tercerabut dari akar.
Menjawab era yang serba gendeng seperti ini, sangat dibutuhkan inovasi, kreasi, yang terwujud dalam bentuk “kompetensi, karakter, dan literasi” sesuai hasil Word Economic Forum tahun 2015.
Ini rumusan global yang sudah dilestarikan Nahdliyin sejak dulu. Melalui diktum “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yang intinya memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru, menjadi bentuk bahwa NU itu open terhadap perkembangan zaman.
Untuk itu, menurut Sekretaris LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah M. Mahmudi Abduh, mengelola sekolah harus melakukan inovasi. Dalam bahasa sederhana, inovasi itu “setengah ngawur” bahkan “ngawur setotal-totalnya”.
“Jika panjenengan kesusahan mengelola pendidikan, maka harus menerapkan prinsip setengah ngawur,” kata Kiai Mahmudi di beberapa kegiatan Rakerdin.
Bagi saya, bukan sekadar setengah ngawur, tapi ngawur yang kaffah alias total, universal, bukan parsial permukaan.
Ngawur adalah daya dobrak melampaui kebiasaan. Out of the box (berpikir di luar kotak) bahkan without box. Keluar dari zona nyaman. Ia bersifat “melampaui zaman”. Sebab, rumus kehidupan sangat simpel. Orang yang berhasil sukses, bahkan bisa menguasai zaman adalah orang yang bisa membaca “zeitgeits” alias spirit zaman.
Sekolah, kampus, bukan rumah besar dengan satu pintu. Tapi ruang besar. Rata-rata, guru mengotak-otaknya, dosen pun sama. Maka wajar jika berpikirnya linier, kaku, tekstual, bahkan puritan laiknya orang mazhab kanan.
Jika ingin sekolah, kampus, kita harus berpikir out of the box, ngawur, sebagai representasi dari inovasi, diktum “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”.
Tanpa melakukan kengawuran yang membahana itu, saya yakin, madrasah, sekolah dan kampus Anda ya begitu-begitu saja. La wong ayam kandang yang dipenjara, dibok, ditaruh di dalam kotak, dengan ayam kampung yang dicolke, diumbarke, akan berbeda hasilnya.
La wong kata Kiai Mahmudi, Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Alexander Graham Bell, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lainnya menemukan konsep dan menemukan hal yang bermanfaat bagi umat hingga kini berawal dari inovasi, ngawur.
Kita punya pilihan, mau ngawur, apa di zona nyaman. Leres nopo boten?
-Penulis adalah pendidik, penulis, dan Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.