Oleh Drs. KH. Mohamad Muzamil
Dengan memperingati hari lahir (Harlah) NU, tahun ini berarti yang ke-97 Hijriyah (16 Rajab 1344-16 Rajab 1441), dapat menjadikan putra putri Nahdliyyin sebagai generasi penerus yang tangguh dalam menggapai masa depan yang lebih baik.
Dengan kegiatan Harlah, generasi penerus mendapatkan pencerahan tentang ketangguhan generasi mu’asis, para ulama pendiri NU.
- Iklan -
Para pendiri NU adalah para alim ulama, bahkan para Auliya atau kekasih Allah yang telah dianugerahi berbagai kelebihan ilmu, amal dan keikhlasan dalam berbakti kepada agama, bangsa dan negara.
Para pendiri NU seperti syaikhona Kholil Bangkalan Madura, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, KH Ridwan Abdullah, KH R Asnawi, KH Mas Alwi, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Hasan Gipo dan para alim seperjuangannya adalah para ulama terkemuka pada masanya.
Sejak masa kanak-kanak, para mu’asis NU tersebut telah memperlihatkan karakter yang kuat, disiplin, tahan uji, dan melakukan puasa wajib dan Sunnah sesuai dengan titah dari orang tuanya dan guru-gurunya.
Apa yang diperintahkan oleh orang tuanya atau guru-gurunya selalu dijalankan dengan senang hati. Mereka belajar dari pesantren ke pesantren sesuai harapan orang tuanya. Sejak kecil atau remaja sudah merantau menuntut ilmu. Bahkan juga menuntut ilmu ke tanah Hijaz, atau Makkah dan Madinah ketika itu yang masih dipimpin oleh Sayid Syarif Husein yang beraqidah ahli Sunnah wa al-alamah, yakni mengikuti ajaran Rasulullah SAW dan para sahabatnya, yang diajarkan secara turun temurun dengan jalinan sanad yang kokoh.
Kehidupan sehari-hari para para ulama tersebut juga sangat sederhana, karena waktu itu bangsa kita masih dijajah oleh para penjajah, makan minum, dan kebutuhan pokok lainnya serta fasilitas sekedarnya. Yang penting dapat belajar menuntut ilmu yang bermanfaat.
Sepulang dari pesantren, mereka memiliki kepedulian yang sangat besar pada bangsanya yang masih terjajah oleh para penjajah. Mereka sering bermusyawarah untuk mendiskusikan berbagai permasalahan yang dihadapi ummat, tidak hanya tentang ekonomi, sosial budaya, juga politik dan keamanan negerinya.
Agar umat dapat mencari jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya, mereka membuat organisasi seperti taswirul afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatul tujar.
Taswirul afkar sebagai wadah untuk mendiskusikan permasalahan ummat sesuai dengan ilmu yang diperolehnya. Nahdlatul Wathan digunakan untuk menggembleng generasi muda agar semangat membela Islam dan sekaligus membela tanah airnya dapat terlaksana. Sedangkan Nahdlatul tujar digunakan sebagai sarana untuk mencapai kemandirian ekonomi ummat, agar kehidupannya menjadi layak, adil dan makmur.
Ketika tanah Hijaz dikuasi oleh Ibnu Saud sejak tahun 1924, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari berembug untuk mengirimkan utusan bertemu dengan raja Ibnu Saud, agar situs bersejarah ummat Islam sejak masa Kanjeng nabi Muhammad tidak digusur, dan pengamalan Islam diperbolehkan sebagaimana diajarkan oleh para imam madzhab yang muktabar. Biaya tarif haji juga agar diperjelas, sehingga para jama’ah haji dari tanah air dapat berangkat dan membawa perbekalan yang cukup, serta mendapatkan jaminan keamanan.
Dengan perjuangan yang gigih akhirnya para utusan tersebut yang disebut dengan komite Hijaz dapat bertemu dengan raja Ibnu Saud, dan menyampaikan petisi atau tuntutan para ulama dari tanah air. Guna memperkuat kedudukan komite Hijaz, akhirnya disepakati berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul ulama (NU).
Setelah berhasil menunaikan tugasnya, akhirnya komite Hijaz ditugasi untuk menyelenggarakan Muktamar NU, agar organisasi para ulama tersebut dapat kokoh memperjuangkan aqidah ahli Sunnah wa al-jama’ah, dan memerdekakan bangsa kita.
Akhirnya muktamar pertama NU dapat diselenggarakan pada tahun 1926, sebagai forum pernusyawaratan tertinggi organisasi, agar para ulana dapat bermusyawarah dan mengambil keputusan penting untuk syi’ar agama Islam, dan sekaligus menyusun kekuatan para alim ulama dalam berbakti kepada bangsa dan negara.
Hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran berharga dari berdirinya Jam’iyyah NU adalah bahwa, perjuangan tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, melainkan harus bekerjasama yang baik seluruh komponen masyarakat yang ada. Para ulama adalah pemimpin yang memberikan suri tauladan yang baik, memiliki karakter yang kuat, serta memiliki wawasan pemikiran yang luas untuk masa depan yang lebih baik bagi masyarakat, rela berkorban, dan hanya mengharap ridho Allah SWT.
Agar perjuangan dapat berhasil, juga diperlukan strategi yang baik, dengan cara menjalankan syari’at Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagaimana diajarkan oleh guru-gurunya yang berkarakter dan berakhlak mulia. Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah.