Judul: Biarkan anak-anak kita mencontek
Penulis : Junaidi Abdul Munif
Penerbit: CV. Asna Pustaka
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 212 hlm
ISBN: 978-623-91103-5-2
Harga: 35.000
Oleh : Khoirun Niam
Selama ini dunia pendidikan kita apabila anak menyontek selalu di pandang sebelah, sebuah aib atau sebagainya, padahal realita di lapangan budaya menyotek ketika mengerjakan soal-soal baik pilihan ganda atau uraiannya, seakan menjadi sesuatu yang amat lumrah. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap?
Buku bertajuk Biarkan anak-anak kita menyontek karya Junaidi Abdul Munif berusaha merespon tentang hal tersebut. Meskipun dalam buku ini adalah bentuk serpihan-serpihan artikel/ esai yang tercecer di media massa. Namun meskipun begitu tidak akan mengurangi subtansi yang terkandung dalam buku ini. Bisa di bilang bahwa lahirnya buku ini adalah bentuk dari kegelisahan yang penulis alami, bahkan bisa jadi ketika itu penulis juga melakukan praktik mencontek.
- Iklan -
Seperti yang diuraikan penulis dalam kata pengantarnya, Esai-esai pendidikan yang saya tulis mencoba melihat pendidikan dalam aspek yang luas tersebut. Bagaimana melihat pendidikan dari sisi kebudayaan, hubungan pendidikan dengan guru, pendidikan dengan agama, pendidikan dengan kurikulum, pendidikan dengan anak-anak, dan lain-lain, adalah upaya saya untuk menjadikan pendidikan sebagai entitas yang benar-benar mendesak untuk ditata dan direka ulang.
Esai-esai ini saya tulis sejak sekitar tahun 2010, melewati pergantian presiden, menteri, dan kebijakan. Pemerintah terus merumuskan kebijakan untuk memperbaiki pendidikan. Dan kita, masyarakat, tidak boleh hanya tinggal diam. Pendidikan adalah diri kita sesungguhnya, mengurat nadi dalam gerak dan pikir kita sebagau manusia yang berbudaya
Ada salah satu alasan kenapa ada siswa yang mempraktikkan mencontek; kadar pengetahuan siswa yang selama ini secara konseptual diarahkan pada ranah kognitif, afektif, psikomotorik, pada realitasnya tidak demikian. Anak-anak masih fokus pada aspek pengetahuan saja, sedangkan keterampilan dan sikap terbengkalai. Sehingga, output maupun outcome yang ada hanya terbatas pada ranah pengetahuan. Padahal, pendidikan kita menganjurkan adanya relasi antara olahpikir, olahrasa, dan olahraga. Kedua, mencontek di buku ini bukan “dilegalkan”, melainkan ada pandangan lain yang menegaskan bahwa mencontek menjadi alternatif anak-anak, bahkan mahasiswa yang memang kesalahan sebuah sistem pendidikan yang ada.
Selain itu, Setiap pelaksanaan UN, seperti biasa, mencontek menjadi momok tabu yang haram dilakukan. Beberapa sekolah bahkan perlu menyusun sebuah pakta integritas untuk melaksanakan UN dengan jujur. Kendati, seperti adagium, penjahat selalu selangkah lebih maju ketimbang polisi, mencontek adalah “bahaya laten”. Berbagai cara dilakukan anak didik agar berhasil lolos dari mata pengawas saat mencontek.
Mencontek menjadi alternatif ketika soal yang diberikan adalah model pilihan ganda. Sebuah model soal yang penuh potensi “menjebak” dengan redaksi tawaran jawaban yang mirip. Bagi anak-anak tertentu yang lemah ingatan, sangat berharap adanya keberuntungan. Mereka asal memilih jawaban, sesuai dengan yang terlintas di ingatan mereka. Maka sangat mudah ditemukan, anak-anak yang prestasi belajarnya biasa-biasa saja, dalam UN dapat memperoleh hasil yang baik. Sebaliknya, tak sedikit anak-anak yang dikenal pintar dan cerdas, nilai UN-nya justru jeblok. (hal 156).
Kita telah berbuat tidak adil kepada anak didik di SD sampai SMA. Aspek kognitif dan hafalan ditaruh di posisi pertama. Di ujian nasional mereka diberi soal dengan jawaban pilihan ganda (multiple choice), tanpa merangsang mereka untuk tahu, mengapa memilih jawaban A, B, C, D, E dan bagaimana prosesnya. Karena itu mereka merasa hanya perlu membaca poin-poin penting dari buku pelajaran. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak yang cuma menghafalkan soal dan kunci jawabannya saja.
Pelajar hari ini (dan masa depan) tumbuh di era digital yang hampir meniadakan fungsi ingatan. Mereka hidup dengan seperangkat teknologi komunikasi. Untuk menghubungi seseorang melalui telepon seluler, mereka cukup mencari nama di buku telepon yang sudah disimpan. Ketika mencari jalan atau alamat, ponsel pintar yang memiliki GPS bisa membantu.
Dengan cara hidup seperti itu, otak manusia hanya digunakan untuk mengingat sesuatu yang elementer dalam hidupnya; tentang nama-nama teman, tempat, dan wajah orang-orang yang dijumpai. Kalau lupa, ada “mbah google” yang bisa ditanya. Untuk mengerjakan pelajaran, ingatan “hampir” tidak diperlukan karena tidak berkorelasi dengan hidup anak didik.
Dalam pendidikan tentu banyak pilihan, apabila saat kita berproses bukan tingginya nilai yang kita kejar akan tetapi ilmu yang bermanfaat untuk bekal di masa depan. Maka dari itu apabila kita ingin melihat wajah pendidikan Indonesia maka buku ini bisa di jadikan referensi. Selamat membaca.
-Peresensi adalah anggota Gerakan Literasi Maarif Jateng.