Judul : Slilit Sang Kiai
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan
Terbit : Juni 2019
Cetakan : pertama, edisi keempat
Tebal : 312 halaman
ISBN : 978-602-441-112-1
Slilit Sang Kiai adalah kumpulan kolom Cak Nun yang ditulis di era 1900an. Kumpulan kolom yang terbit kali pertama tahun tahun 90an ini bukan sebuah gagasan yang disusun secara sistematis. Ibarat sebuah pementasan di panggung, kolom-kolom ini adalah sederet lagu yang mengalir sendiri-sendiri, meskipun dalam penyusunannya diupayakan aliran-aliran itu bertemu dan membangun suatu keutuhan nuansa.
Kolom yang ditulis budayawan asal Jombang, Jawa Timur ini bukanlah artikel ilmiah, makalah diskusi, atau lembaran kertas kerja. Sehingga kolom-kolom yang disajikan tidak punya ambisi untuk menyajikan sebuah argumen yang dibangun dengan dukungan data empirik yang akurat. Namun kolom-kolom dalam buku ini merupakan hasil obrolan yang ringkas, cerdas, dan memikat.
Dalam buku setebal 312 halaman ini, buku dibagi menjadi 3 bagian (bab). Bagian pertama, berisi tema-tema keagamaan, khususnya Islam. Pada bagian pertama ini, penulis (Cak Nun) memaparkan berbagai ilustrasi yang menggambarkan keringnya penghayatan karena konsentrasi ritus dan kecenderungan menuhankan syariat bukan fikih. Secara tidak langsung penulis melakukan ijtihad/ reinterpretasi atas nilai-nilai agama.
- Iklan -
Misalnya dalam kolom yang berjudul “Makan Minum Dak Tentu”. Bahwa dalam aktivitas makan, dalam pengertian syariat dikategorikan mubah atau boleh. Namun dalam situasi tertentu makan bisa menjadi sunnah, wajib, juga bisa haram.
Dalam sebuah perbincangan dengan ustad dari Madura, Cak Nun memberikan stetemen jika sejak dulu makan dan minum hukumnya mubah.
“Lho! Kan sudah jelas sejak dulu. Makan dan minum itu hukumnya mubah. Halal. Boleh,” terang Cak Nun saat ditanya ustad Madura perihal hukum makan dan minum.
Si ustad Madura itu dengan tegas menjawab Dak Tentu (tidak tentu, red). Hukum makan dan minum menurutnya bisa mubah, sunnah, makruh, dan haram.
“Dengar, Dik. Kalau makan dan minum sekadar mubah atau halal, berarti manusia boleh tidak makan atau tidak minum karena tidak wajib. Kalau Adik tak makan tak minum, berarti Adik menghina Tuhan yang sudah capek-capek bikin badan Adik, berarti Adik tidak memelihara amanah Tuhan. Adik membunuh titipan Tuhan. Jadi makan minum itu wajib. Kalau Adik bisa hidup tanpa makan minum, ya hukumnya sunnah, karena Adik dianjurkan menikmati rezeki Allah. Lha kalau Adik makan minum dalam jumlah yang melebihi standar syarat kesehatan tubuh, hukumnya makruh. Apalagi kalau Adik makan minum secara berlebihan baik dalam jumlah maupun estetika makannya maka bisa haram hukumnya. Terlebih-lebih lagi kalau Adik makan milik orang lain itu haram muakkad…” (hlm. 53-54)
Pada bagian kedua buku ini, kolom-kolom yang disajikan memaparkan berbagai problem yang dihadapi berbagai kelompok masyarakat. Yaitu mereka yang mengalami sunyi ekonomi, politik, dan budaya serta tertepikan dalam pergulatan sejarah.
Dalam kolom-kolom yang disajikan dalam bagian ini agama berhadapan dengan problem-problem nyata yang harus diselesaikan. Pada tahap ini, kolom-kolom yang tertuang menohok bermacam-macam ketidakberesan di setiap lapis ekonomi dan kekuasaan. Dalam pemahaman awam tema-tema kolom seperti ini memasuki wilayah non agama. Pembicaraan menyentuh soal tata karma dan budaya politik bahkan mempersoalkan patriotisme dan mengurusi tema-tema emansipasi kaum perempuan Indonesia.
Sedangkan pada bagian ketiga buku ini, kolom-kolom yang disajikan Cak Nun memasuki persoalan-persoalan yang lebih makro dan universal. Setiap tema yang diajukan selalu ditarik ke dalam skala makro sejarah dan peradaban yang luas.
Misalnya dalam kasus sadisme yakni tentang kekejaman pembunuhan yang terjadi di Indonesia. Bahwa kasus tersebut tidak sekadar sebagai kasus psikologis personal atau kasus kelainan kejiwaan melainkan juga sebagai bagian dari kecenderungan-kecenderungan sosial bahkan sistemik dari keberlangsungan sejarah sejak zaman para sahabat.
Dalam perpustakaan sejarah sadisme bagian tertentu dari dunia Islam ikut memberikan sumbangan buku. Pengikut Ali Bin Abi Thalib pada era Dinasti Umayyah misalnya untuk menyiapkan diri setidaknya 5 model sadisme; disalib di alun-alun, dipancung kepalanya dan diarak keliling kota, diberi minum madu beracun, dikerangkeng dalam logam cetakan sesuai dengan bentuk tubuh manusia yang berpaku-paku tajam, atau dipicis, diiris-iris dagingnya dan dikasih dressing cuka encer. (hlm. 243)
Membaca kolom-kolom yang disajikan Emha Ainun Nadjib seolah-olah kita membaca rangkaian tulisan sebagai teman dialog, lebih dari sekadar deretan informasi. Bisa juga berangkat dari angle yang santai untuk berbicara tentang sebuah problem besar.
Pada sisi yang lain, membaca kolom-kolom buku ini kita bisa mengawalinya dengan angle yang serius bahwa fenomena-fenomena yang ada di sekeliling kita selalu dituntut pemikiran yang sungguh-sungguh. Selamat membaca!
-Peresensi : Syaiful Mustaqim, pegiat literasi