Oleh Kartika Catur Pelita
Sejauh memandang hanya ada padang lumpur cokelat luas membentang. Kecoklatan menggumpal, timbul gelembung-gelembung, seperti air mendidih itu, menenggelamkan ribuan rumah, ratusan bangunan, belasan perkampungan dan pedesaan.
Lautan lumpur melambai. Bagaskara terik membakar. Mana pekerja yang sedang membendung lumpur, menaikkan tanggul?
Kini aku berjarak hanya beberapa meter dari lumpur pekat, berasap, air kecokelatan yang menggejolak, seolah dipompa dari kedalaman perut bumi. Hawa panas terasa menyentuhi tubuh dan bau gas menyengat.
Konon lumpur yang terus menerus ke luar dari perut bumi terjadi karena ulah salah segelintir manusia. Mengebor sumber minyak, yang keluar malah sarang lumpur!
Berapa teknologi sudah digunakan untuk menghentikan kucuran lumpur itu. Bahkan paranormal berurun rembuk, menjajal kemampuan supranatural, menutup semburan lumpur. Tapi hasilnya berlumur nihil.
Hari berganti minggu, bulan terlewati, menyentuh tahun. Lumpur terus bermuntahan. Berapa ratus hektar lahan terendam? Berapa ribu rumah dipendam? Berapa puluhan ribu orang harus kehilangan tempat berteduh? Orang meratap pilu dipaksa kehilangan pekerjaan.
Sekolah, madrasah, tempat ibadah turut musnah. Anak kecil kehilangan tempat bermain. Mungkin rumah, sekolah, rumah sakit, pabrik, pasar dan bangunan lainnya bisa dibangun kembali. Penduduk yang kehilangan tanah- rumah bisa diberi ganti rugi, walau hanya sebagian. Tapi berapa banyak kerugian moral yang harus dialami mereka?
Rasa kemanusiaan yang teraniaya, kenyamanan yang punah, keputusasaan, kekecewaan, kehilangan yang takkan pernah tergantikan. Kenangan yang harus hilang seiring tenggelamnya kampung halaman. Kampung halaman yang menyimpan sejuta kenangan, pada hidup yang pernah dilewati. Hikayat pada tanah kelahiran, makam leluhur, cerita moyang?
Aku adalah satu di antara selaksa orang yang telah kehilangan. Aku terpekur di tepi pekat lumpur. Aku tak bisa memenuhi amanat Ibu karena tak bisa nyekar ke makam leluhur, Nenekku, ibu seseorang yang telah melahirkanku. Makamnya telah tersapu pekat lumpur.
Aku bahkan tak mendapat petunjuk di mana peristirahatan itu pernah ada. Seorang teduh yang berada di sisiku yang menguak sebuah kisah…
“Sebulan yang lalu kawasan itu masih ada. Tapi luapan lumpur semakin menggila. Semburan-semburan air lumpur bermuatan pasir bermeter-meter tingginya bermuncratan. Suara geludak-geluduk, meledak seperti suara bom. Genangan lumpur beraroma tak sedap dan membuat dada sesak semakin menjalar. Merembes. Menggenang. Merambat seperti akar ketela. Akhirnya sampai daerah itu dan memendam rumah, mushola, sekolah, taman bermain juga makam leluhur!”
Dia tampak sedih. Aku bisa mengerti kehilangan banyak yang mesti ditanggungnya? Apakah dia termasuk orang yang tanah miliknya dipendam lumpur dan sampai hari ini belum mendapatkan ganti rugi?
Aku turut merasa perih, apalagi saat terbayang sosok nenek. Betapa banyak kenangan yang terajut dengan perempuan penyayang dan penyabar itu. Sifat yang menurun pada Ibu. Bukankah buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Aku sekarang sedih mengenangmu, Nek…
“Mas dari mana?”
“Magelang.”
“Punya sanak famili di sini?”
“Nenek saya asli penduduk daerah sini. Nenek di makamkan di sini. Saya berniat berziarah tapi makamnya telah hilang terpendam lumpur. Di mana makam nenek…?”
Maafkan anakmu Ibu, aku tak bisa memenuhi amanatmu.
“Setidaknya kamu masih memiliki kenangan tentang nenekmu.”
“Tentu, Bapak. Walau Nenek telah tiada, tapi dalam hati beliau selalu ada.”
“Beruntungnya seseorang yang selalu mengingat leluhurnya.”
“Bukankah kita ada karena keberadaan mereka, Bapak?”
“Ya, walau mereka telah…. mati?”
“Bukankah kematian bukan akhir perjalanan manusia, Bapak. Kita hanya berpindah alam.”
“Ya.”
“Tapi sejujurnya saya sedih karena tak bisa nyekar. Tak tahu di mana keberadaan makam Nenek kini. Apakah saya harus menabur bunga di atas lumpur ini, Bapak?
Si Lelaki Bijak tersenyum. “Kalau kau mau…saya bisa mengantarmu ke makam nenekmu.”
“Maksud Bapak…?”
“Ikut saya. Kita naik perahu ke sana!”
Dia menggamit lenganku. Aku manut. Dia naik perahu, aku ikut. Si Lelaki Soleh mengayuh sampan, aku merasa tenang. Bersamanya menelusuri hamparan lumpur yang maha luas.
Perahu meluncur di antara lumpur yang kecokelatan, tapi aneh lumpur itu seperti kaca transparan. Aku bisa melihat rumah-rumah, sekolah- sekolah, taman, rumah ibadah, jalan, pepohonan, tiang listrik, perkantoran, pasar, pabrik.
Bukankah ini sebuah perkampungan? Perkampungan mati, yang kosong sunyi hanya berisi bangunan. Di mana penghuninya?
“Aku melihatnya, Bapak. Perkampungan. Sepertinya aku pernah ke sana. Benar, Bapak. Ini perkampungan nenekku. Pemakaman itu ada di balik bukit utara desa ini!”
Si Lelaki Soleh mengayuh sampan, menuju tempat yang kuinginkan. Kami berada di atas sebuah pemakaman yang tak begitu luas. Ya, pohon kamboja besar. Ini adalah peristirahatan Nenekku!? Di sebelah mana makam Nenek? Hei… aku melihat banyak orang berbaju putih duduk bersandar di batu batu nisan?
Pekuburan adakah rumah mereka. Inikah dunia orang yang sudah meninggal? Beginikah kehidupan mereka sehari-hari. Sebelum kiamat datang? Mengapa mataku bisa melihatnya? Ooh…akhirnya aku bertemu Nenek!
Dia tampak seperti ketika masih hidup. Giat, lincah dan ceria.
“Nenek…!” aku memanggilnya. Dia melambaikan tangan. Tersenyum.
“Kau datang juga Nang Gus.”
“Aku mohon restu Nenek. Sebentar lagi aku jadi ayah, Nek!'”
“Nenek bahagia mendengarnya. Semoga lahir selamat buyut tersayangku!”
Nenek tangannya menengadah.
Aku mendoa seraya menjatuhkan bunga-bunga yang kubawa. Mawar, melati, asoka, cempaka, kamboja,
Harum wangi merebak. Nenek menyambutnya suka cita, tersenyum semringah menari, melayang. Berbagi bunga pada teman-temannya. Duh….aku merasa diselimuti haru dan senang. Ingin aku berada di sini lebih lama. Seandainya aku membawa sekeranjang bunga, tentu mereka sangat bahagia. Sesaat aku kembali menguntai doa. Semoga Nenek di sini bahagia!
Aku lega sudah menjalankan amanat Ibu.
“Sudah Mas. Kita kembali?” Si Lelaki Bijak menatap lekat. Aku mengangguk hikmat. Perahu memutar haluan. Melaju. Menuju tengah. Lalu menepi. Tapi sial, mengapa gulungan ombak datang menerjang. Padahal bukankah lumpur tak memiliki gelombang?
Bukankah ketika berangkat tadi lautan lumpur tenang? Mengapa? Ada apa? Apakah perahu akan tenggelam? Kumohon, jangan…
“Pegang erat perahu. Pegangan kuat!” Si Lelaki Bijak memberi komando. Aku siaga.
“Ombak datang, pegangan kuat! Kuat!”
Aku berpegangan perahu lebih kuat. Ombak lebih dahsyat menghantam perahu. Aku terlempar ke lautan lumpur. Tersedot. Aku berenang, sesuatu seperti menarikku dari kedalaman lumpur?
Tapi aku tak ingin mati!
Aku mencoba menepi. Kukerahkan segala kekuatan, sisa tenaga. Aku mencoba bertahan, di ujung keputusasaanku, ketika separuh tubuhku telah tersedot lumpur, tanganku menggapai, mohon pertolongan. Tolong aku, Tuhan Allahu akbar! Allahu akbar!!
Sekejap…aku melihat seseorang seperti kilat bagai melayang di atas padang lumpur dan dia menyambarku!
Aku dibawanya terbang!
***
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Penulis 700-an cerpen, 100 cerpen sudah dimuat di 60 media massa cetak dan daring, di antaranya : Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Haluan Padang, Sumut Pos, Analisa Medan, Koran Rakyat Sultra, Kendari Pos, Lampung Post, Solopos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Info Muria, Okezone.com, SoaeraMoeria.com, Nova, Kartini, Genie, Satelit Pos, Bangka Pos, Media Indonesia, Republika. Kompas. Buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta,” “Kentut Presiden.” Bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara(AMJ). Tinggal di Jepara.