Oleh: Fuat Riyadi
Mbah Onah begitu cucu-cucunya memanggil, usia menjelang setengah abad namun masih semangat kerja. Pagi hari bersama terbitnya mentari pergi ke pasar menjemput rejeki, sore hari pulang membawa hasil kerja kerasnya. Gula merah yang dalam bahasa jawa sering disebut gula jawa, merupakan barang dagangannya. Setiap lima hari sekali atau sering dikenal dengan satu pasaran jawa yaitu setiap legi, membeli gula merah dari para produsen.
Dalam budaya jawa dikenal lima hari pasaran yaitu, legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Mbah Onah membeli dagangan setiap hari legi, dan menjualnya kembali di hari berikutnya, begitu seterusnya. Pasar tradisional Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah menjadi saksi kerja kerasnya, sejak lulus sekolah menengah pertama hingga usianya yang kini hampir setengah abad.
Bersama suami yang kini sering sakit-sakitan, lima anak berhasil Ia besarkan dengan penuh kasih sayang. Dua orang anaknya kini meneruskan dan mengembangkan usahanya, dua anak lainnya menjadi guru dan dosen, sedangkan anak terakhirnya menjadi salah satu penjaga kedaulatan NKRI yang ditugaskan di sebuah batalyon infantri TNI angkatan darat di Kalimantan. Berbagai halangan dan rintangan tidak pernah Ia hiraukan, naik turun usahanya pun sudah menjadi pengalaman. Berjuang, kuat dan terus bertahan menjadi rumus hidup yang selalu Ia tanamkan ke anak-anaknya tersayang.
- Iklan -
“Ndhuk… Le.. urip kuwi kudu obah men iso mamah”, pesan Mbah Onah kepada anak-anaknya, penuh dengan hormat dan kepatuhan anak-anaknya pun menjawab.
“Nggih Mak”.
Mbah Onah di mata anak-anaknya adalah orang yang keras namun penuh kasih sayang. Sikapnya yang keras dan penuh perjuangan, karena perjalanan hidup di masa kecilnya. Lahir dari seorang ibu bernama Depok dan ayah bernama Mustajab, merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara yang dibesarkan oleh seorang ibu single parent. Ayahnya meninggal ketika Ia masih usia remaja, sehingga mau tidak mau Ia harus ikut membantu mencari nafkah untuk keluarga. Masa remaja yang seharusnya digunakan untuk mencari ilmu, Ia gunakan untuk mencari nafkah membantu mencukupi kebutuhan keluarganya.
Meskipun cucu seorang glondong, lurah, kepala desa, Ia tidak mendapatkan prioritas ataupun kemudahan fasilitas hidup dari kakek atau neneknya. Hal ini disebabkan karena, kakek dan neneknya bercerai dan masing-masing dari mereka menikah lagi serta mempunyai kehidupan baru bersama pasangan dan anak-anaknya. Sehingga Mbah Onah sejak kecil harus hidup mandiri dan tidak menggatungkan diri kepada orang lain.
“Nah deke, kudu ngadek nggo sikile dewek”, kata mbah Depok kepada Onah remaja, yang artinya, Nah kamu, harus berdiri menggunakan kakimu sendiri.
”Nggih.. mbok kula mpun paham” jawab Mbah Onah Remaja penuh hormat. Tempaan dan cobaan hidup yang Mbah Onah hadapi menjadikan dirinya menjadi pribadi yang mandiri dan penuh kerja keras.
Di pasar Mbah Onah menjajakan daganganya di sebuah kios, yang berukuran sekitar sembilan meter persegi. Ia mempunyai strategi dan kemampuan menjajakan dagangan yang unik. Gula jawa yang masih dikemas dalam bentuk dagelan (keping gula ) ditata rapi di belakang, gula jawa kerekan (berbentuk kepingan) kiloan dan eceren Ia tata dibagian depan berdampingan dengan timbangan ukuran berat. Celemek tidak lupa selalu Ia kenakan, sebagai pelindung dari serpihan gula yang sesekali menempel di pakaiannya. Pelanggannya berasal dari berbagai kalangan, dari para bakul grosiran yang kemudian dijual lagi, sampai kepada masyarakat sehari-hari.
Karena pengalamannya selama bertahun-tahun, Ia sudah faham betul dengan berbagai jenis gula jawa. Konsumen atau pelanggan yang datang untuk membeli gula jawa, tinggal menyebutkan gula jawa untuk apa, maka dengan sigap Mbah Onah akan memilihkan sesuai dengan kebutuhannya.
Saonah adalah nama lengkapnya, Subkhan adalah nama suaminya. Sebelum suaminya sakit sakitan, suaminya adalah seorang petani yang ulet dan pekerja keras, namun semenjak sakit kini hanya di rumah. Berangkat pagi pulang sore itulah rutinitas yang Mbah Onah setiap hari lakukan. Ia selalu bangga dan bahagia dengan apa yang Ia lakukan, kelima anak dan kesembilan cucunya menjadi penyemangat hidupnya. Rumahnya yang sederhana selalu menjadi rumah hangat, yang selalu dirindukan oleh anak-anak dan cucunya.
“Mbah Onah jajane pundhi?” ujar cucunya dengan penuh harap. Dengan penuh kebahagiaan Ia mengambil bungkusan berisi jajan pasar yang selalu Ia beli selesai berjualan di pasar, dan diberikan kepada cucu-cucunya.
“Niki jajane bagi-bagi nggih, ampun rebutan !, kata Mbah Onah.
Para tetangga Mbah Onah, mengenalnya sebagai orang yang ramah, santun, dan baik hati. Ia dikenal sebagai orang yang ringan tangan dan senang membantu. Hampir setiap tetangga memesan gula jawa kepadanya, Ia bawakan dengan penuh suka cita. Tetangga hajatan, perayaan hari raya selalu Ia membawakan gula jawa yang dibutuhkan tetangganya. Meskipun demikian Ia masih merasa, bantuan yang Ia berikan tidak sebanding dengan kebaikan yang diberikan para tetangga kepadanya.
Tubuh yang kurus, kulit sawo matang dengan sedikit keriput di wajah dan tangannya, tidak mengurangi semangat hidupnya, Ia tetap penuh semangat menjalani hidup. Mbah Onah adalah sosok orang yang biasa seperti layaknya orang lainnya, namun sangat istimewa di mata anak, cucu dan keluarganya. Perjalanan hidup yang Ia jalani, terlihat sama dengan orang lainnya, namun begitu luar biasa di mata anak, cucu, dan keluarganya. Entah sampai kapan perjalanan hidup Mbah Onah yang panjang ini akan terus Ia jalani, yang pasti Ia akan terus selalu menjalaninya dengan semangat dan penuh harapan kebahagiaan untuk anak, cucu, serta keluarganya. Mbah Onah yang kuat, Mbah Onah yang tegar semoga Tuhan senantiasa meridoi setiap langkahmu dan memberikan balasan yang terbaik untukmu, itulah yang selalu anak, cucu dan keluarga doakan untukmu.
-Penulis adalah pendidik di MI Maarif Suren Gede Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah.