Oleh : Mohamad Muzamil
Setiap malam Jum’at di pondok pesantren ada latihan khitobah, agar para santri lihai dalam penyampaian pesan dakwah. Bahkan di kampus berbasis Islam juga ada Fakultas dakwah. Ini sangat penting agar mahasiswanya memiliki ketrampilan dalam berdakwah.
Dakwah adalah mengajak orang yang belum berserah diri kepada Alloh menjadi berserah diri kepada-Nya. Sebaik-baik orang yang mengajak untuk ta’at kepada Alloh SWT adalah Nabi Muhammad SAW.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw mengajak dengan kasih sayang, dengan hormat, kejujuran dan tulus ikhlas karena Alloh SWT, tidak dengan kebencian, kebohongan dan tipu daya.
- Iklan -
Rasulullah Muhammad SAW adalah manusia biasa, namun sangat mengerti tentang memanusiakan manusia. Ia mengajak sesuai dengan kondisi seseorang, berlaku sabar dan bijaksana. Dalam suatu riwayat disebutkan, dengan rela hati Nabi Muhammad SAW memberikan makanan kepada seorang janda tua yang sedang sakit penglihatannya atau buta. Setiap kali memberikan makanan, seorang janda tua itu memaki-maki Nabi Muhammad SAW, yang sedang berada di depannya.
Namun Sang Nabi diam saja, tetap memberikan makanan. Hal ini terjadi berulang-ulang, hingga suatu hari, Kanjeng Nabi sedang berada di tempat lain, tidak bisa memberikan makanan. Kemudian ada sahabat Nabi yang memberikan makanan kepadanya. Sang nenek mengatakan, orang yang memberikan makanan ini tidak seperti biasanya yang lembut sikapnya.
Kemudian seorang sahabat Nabi tadi mengatakan, “iya nek, yang biasa memberikan makanan sehari-hari kepada Nenek adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW”. Sang nenek pun tersentak kaget, sambil berpikir sang Nenek berkeyakinan betapa sangat luhur akhlaq Sang Nabi, setiap hari saya katakan bahwa ia tidak baik, namun tetap bersabar memberikan makanan. Akhirnya sang nenek tersebut mendapatkan hidayah Alloh, membaca kalimat syahadat dan meminta ma’af kepada Kanjeng Nabi SAW.
Ada juga riwayat lainnya bahwa ketika Kanjeng Nabi SAW sedang duduk-duduk bersama para Sahabatnya, tiba-tiba datang seorang pemuda yang datang dengan suara keras mengatakan, “wahai Nabi, saya minta ijin ingin berbuat Zina”. Mendengar ucapan sang pemuda tadi, para Sahabat mencegahnya, namun dengan tersenyum Rasulullah SAW mempersilahkan pemuda itu mendekat, dan Nabi menanyakan. Siapa yang akan engkau ajak zina? Seorang perempuan. Lalu Nabi bertanya kepadanya, “bagaimana kalau seorang perempuan itu adalah ibumu atau saudara perempuanmu kemudian diajak berzina orang lain, apakah engkau rela?”. Sang pemuda tadi mengatakan tidak rela, lalu dengan sebab itu, ia mendapat hidayah, tidak jadi berbuat zina.
Dari riwayat tersebut dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baik da’i. Masih banyak lagi riwayat yang menyebutkan keluhuran akhlak Nabi Muhammad SAW, sehingga para sahabat mendapatkan suri tauladan yang sangat baik.
Meskipun karakter para Sahabat Nabi berbeda-beda, ada yang santun seperti Sahabat Abu Bakar As-Shidiq, yang tegas seperti Sahabat Umar bin Khatab, namun para Sahabat Nabi tetap mendapatkan pendidikan suri tauladan yang luar biasa dari Nabi SAW.
Dengan demikian keluhuran dan kemuliaan akhlaq tersebut juga dilakukan para Sahabat Nabi, keluarganya, dan para pengikutnya, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta para ulama sebagai pewaris Nabi.
Dengan demikian membuktikan kebenaran pernyataan Nabi SAW bahwa, “sesungguhnya saya diutus oleh Alloh SWT adalah untuk menyempurnakan akhlaq”.
Akhlaq adalah buah dari manifestasi iman, Islam dan Ihsan. Dalam suatu riwayat, Nabi SAW bersabda, “Yang paling sempurna iman seseorang adalah yang paling baik akhlaknya”.
Keluhuran perangai para pembawa risalah Islamiyyah tersebut kemudian menjadi sababiyah atau faktor yang menyebabkan umat mendapat hidayah Alloh Ta’ala untuk menerima kebenaran Islam, mereka menerima agama yang sempurna ini dengan penalaran yang sehat, tanpa adanya paksaan, tidak dengan penjajahan dan peperangan. Perang adalah jalan terakhir ketika Nabi SAW dan para sahabatnya diserang setelah melakukan serangkaian ajakan yang memikat, diskusi yang mencerahkan.
Oleh karena itu jika saat ini ada pihak yang mengaku umatnya Rasulullah SAW, namun melakukan serangkaian dakwah dengan ujaran kebencian, menyebarkan kebohongan, dan bahkan memancing tindakan kekerasan, maka bisa ditanyakan, siapakah Nabi mereka itu?
Karenanya pendidikan da’i sangat penting, karena selain diperlukan penguasaan ilmu agama, juga perlu disertai dengan pengamalan ajaran agamanya sebagaimana dicontohkan para Nabi. Pendidikan da’i tidak cukup dengan kompetensi kognitif dan psikomotorik, tetapi juga kompetensi afektif atau sikap dalam dakwah, supaya ada keteladanan, sehingga dakwah tidak hanya bi lisan, tetapi juga bi al-hal, yang bersumber dari keteladanan Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam.
-Penulis merupakan Ketua PWNU Jawa Tengah.