Oleh Al-Mahfud
Hari Anak Sedunia diperingati setiap 20 November beberapa waktu lalu bertujuan untuk menghormati hak-hak anak di seluruh dunia. Peringatan yang juga sering disebut Hari Anak Universal ini bertujuan mendorong semua orang untuk menginspirasi, mengadvokasi, mempromosikan, dan merayakan hak-hak anak. Di antara hak-hak utama seorang anak adalah mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan rasa aman.
Akses pendidikan yang layak adalah hak dasar anak. Salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk seorang anak menjadi pribadi cerdas, toleran, cinta damai, dan anti kekerasan. Anak mesti punya karakter atau kepribadian damai: dapat hidup berdampingan secara harmonis di lingkungan sosialnya. Dalam kontens anak Indonesia, ini menjadi salah satu kunci penting untuk bisa hidup di tengah masyarakat yang majemuk atau beragam.
Keluarga berperan penting dalam proses tumbuh kembang anak. Sejak dini, orangtua mesti menciptakan lingkungan keluarga yang bisa mendukung secara positif terbentuknya nilai-nilai utama dalam kehidupan sebagai bekal terjun ke masyarakat. Hal tersebut mesti sudah dibangun orangtua sejak kecil pada anaknya sebagai fondasi agar kebal dari pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan. Terlebih, di era digital sekarang marak konten kekerasan, dari game-game online, animasi, film, cyberbullying, bahkan radikalisme di media sosial, dan sebagainya.
- Iklan -
Mencegah
Ada beberapa hal penting yang mesti orangtua perhatikan terkait upaya mencegah tumbuhnya bibit-bibit kekerasan dalam diri anak tersebut.
Pertama, orangtua mesti menunjukkan teladan dan contoh bagaimana menjadi pribadi yang toleran, cinta damai, dan bisa menghargai perbedaan. Kita tahu, pendidikan paling utama adalah lewat keteladanan. Sulit mendidik anak tentang sikap dan perilaku tertentu tanpa dilandasi keteladanan dari orangtua itu sendiri. Orangtua dalam mengasuh anaknya mesti selalu mengedepankan kasih sayang.
Stephen F. Dunchan dalam Love Learning (2009:10) menjelaskan, setiap anak mesti diingatkan bahwa orang-orang di sekitarnya mencintai dan menyayangi dia. Kasih sayang adalah landasan pengasuhan yang baik dan di saat bersamaan memberi contoh bagi anak tentang pentingnya memandang orang lain dengan penuh kasih sayang dan pengertian.
Kita tahu, anak adalah peniru yang handal. Dengan sosok orangtua yang mendidik penuh kasih sayang dan penuh penghargaan, anak pun akan mengidentifikasi dan menirunya, sehingga anak pun menjadi sosok yang memiliki rasa kasih sayang dan penghargaan pada sesama.
Kedua, membiasakan mendengarkan pendapat anak. Ini sebenarnya merupakan penjabaran lebih jauh mengenai teladan dalam mendidik anak. Meski anak masih kecil, usia balita, misalnya, orangtua mesti tetap mendengarkan pendapat anak. Orangtua mesti menciptakan ruang dialog yang positif dalam keluarga, agar sejak dini anak terbiasa bebas berpendapat dan bisa mendengarkan serta menghargai pendapat orang lain.
Ayah Edi (2012), seorang konsultan parenting ternama, memandang bahwa jika kita ingin anak kita menghargai pendapat orang lain, hargailah ketika anak berbicara. Meskipun misalnya, pendapat anak kurang tepat, orangtua baiknya tetap mendengarkannya terlebih dahulu tanpa memotong pembicaraannya. Setelah anak selesai bicara, orangtua bisa meluruskan apa yang keliru.
Terkait hal tersebut, penting bagi orangtua menghindari ucapan yang merendahkan anak. Seperti misalnya, “Halah, anak kecil tahu apa?” atau “anak kecil jangan sok tahu!”. Meski terkesan sederhana, hal tersebut penting diperhatikan. Sebab, anak yang sejak kecil sering disepelekan atau tak didengarkan pendapatnya, bisa tumbuh menjadi pribadi egois dan sulit mendengar pendapat orang lain. Dan kita sama-sama tahu, bibit atau mentalitas kekerasan kerap kali berawal dari ketidakmampuan mendengar dan menghargai pendapat orang lain.
Ketiga, memberi pengawasan penggunaan internet, game, dan media sosial. Ini mesti mendapat perhatian tersendiri di tengah era digital saat ini. Internet, game dan media sosial menyimpan bahaya bagi anak sebab memengaruhi berbagai perkembangannya. Di bukunya Digital Parenthink (2018), Mona Ratuliu membeberkan bermacam pengaruh gadget bagi perkembangan anak menurut pakar psikologi. Bagi anak, gadget bisa memengaruhi perkembangan motorik, fisik, moral, sosial, identifikasi gender, bahasa, neurologi, hingga perkembangan kognitif anak.
Terkait pengaruh terhadap perkembangan sosial, anak yang kecanduan gadget cenderung malas bersosialisasi. Padahal, tulis Mona, sosialisasi adalah dasar bagi anak mempelajari respon emosinya terhadap perilaku orang lain, juga mempelajari reaksi orang lain terhadap perilakunya. Dari sana, anak belajar mawas diri (aware) terhadap diri dan lingkungannya. Saat anak malas bersosialisasi, kecerdasan sosialnya bisa terhambat sehingga anak minim punya rasa mawas diri. Padahal, mawas diri merupakan nilai penting penunjang terbangunnya sikap toleran pada sesama.
Era digital menghamparkan “ruang bermain” yang begitu luas dan tak terbatas bagi anak. Namun, berbagai macam bahaya mengintai anak, seperti cyberbullying, cyberchrime, pornografi, ajaran kekerasan, hingga paham radikalisme-terorisme (cyberterrorism). Oleh sebab itu, penting bagi orangtua memiliki wawasan bagaimana mendidik anak di era digital.
Sudah semestinya kita semua peduli dengan pengasuhan dan pendidikan anak. Termasuk berupaya mendidik anak menjadi pribadi toleran, anti kekerasan, dan penuh kasih pada sesama. Sejak dini, anak mesti diasuh dengan prinsip-prinsip pengasuhan anti-kekerasan. Ketika tumbuh dewasa, anak tak gampang terpengaruh paham-paham kekerasan, sehingga ia bisa menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat atau lingkungan sosialnya.
-Al-Mahfud, penulis, dari Pati. Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media.