Oleh M Novianto Dwi K
Melihat isi pidato Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada acara puncak peringatan Hari Guru Nasional di Universitas PGRI Semarang pada Sabtu (7/12/2019). Yang menyebutkan bahwa “Sekolah Swasta harus menggaji gurunya sesuai UMK, jika tidak maka perizinan sekolah akan dicabut”.
Hal itu perlu kita kaji lagi, disatu sisi kita sangat setuju dengan upaya gubernur Jawa Tengah untuk mensejahterakan guru honorer. Akan tetapi di sisi lain hal ini akan menimbulkan beberapa polemik baru, di antaranya, kebijakan itu akan menimbulkan sifat materialistis bagi guru honorer sendiri.
Jika selama ini, guru sering kita kenal dengan istilah ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ tapi, dengan upaya tersebut, bisa mengikis sifat kepahlawanan guru. Pasalnya, mereka yang selama ini berjuang dengan tulus ikhlas, bisa tergoyahkan spirit perjuangannya, apalagi wacana mencabut izin bagi sekolah swasta yang tidak menggaji guru sesuai UKM. Hal itu akan menciderai cita-cita luhur guru dalam mendidik. Mereka tidak lagi fokus mengajar, tapi guru dijadikan sarana mata pencaharian.
- Iklan -
Izin Dicabut, Pendidikan Semrawut
Upaya menyetarakan gaji guru honorer dengan UMK, yang digagas oleh Gubernur Ganjar Pranowo, terkesan janggal. Pasalnya, selama ini, Pemprov sendiri tidak berkontribusi dalam hal finansial di sekolah swasta. Di lain sisi, dengan kebijakan ini, Ganjar Pranowo membebankan hal tersebut kepada pihak sekolah swasta. Ini tentunya kurang tepat, seharusnya, sebelum menentukan keputusan, pihak Pemprov harus terlebih dahulu menyiapkan anggaran pendidikan swasta, bukan hanya menuntut pihak sekolah.
Hal ini, jika tidak segera diluruskan, akan menimbulkan polemik. Wacana Gubernur tersebut bisa memunculkan statmen bahwa kebijakannya adalah sebagai pengalihan tanggung jawab, dari Pemprov ke sekolah swasta saja. Di mana tugas mensejahterakan rakyat (termasuk guru honorer). Yang seharusnya menjadi tugas pemerintah, kini hal itu terkesan dibebankan ke pihak sekolah swasta. Tujuan mulia Pemerintah untuk mensejahterakan guru honorer seharusnya dibarengi dengan kontribusinya pada pihak sekolah swasta juga.
Selama ini, bantuan yang diberikan pemerintah secara berkala kepada sekolah swasta hanya berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Itupun, pengalokasianya tidak sepenuhnya untuk kesejahteraan guru, porsi honor dalam BOS hanya boleh digunakan sebesar 20 persen. Belum lagi, jumlah siswa dalam sekolah juga akan menentukan banyaknya BOS yang diterima. Jadi dengan kondisi seperti itu, pihak sekolah tentunya akan sangat terbebani. Tugas utama mendidik akan terganggu dengan adanya beban dari gubernur tersebut.
Selain itu, wacana dari Ganjar Pranowo, yang mengancam akan mencabut izin sekolah swasta, bagi lembaga pendidikan swasta yang tidak mampu menggaji guru honorernya sesuai dengan UMK juga sedikit lucu, karena, pada dasarnya, mendirikan sekolah bukanlah perkara yang mudah. bisa dibayangkan, berapa banyak upaya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan atau sekolah. Mulai dari biaya pengadaan tanah, dana pembangunan fisik gedung itu sendiri, sampai proses perizinan berdirinya sekolah tersebut.
Jika hal ini, benar-benar diterapkan oleh pemprov Jawa Tengah, maka akan sangat banyak sekali sekolah swasta yang akan dikorbankan. Sementara, masih banyak daerah tertinggal, di perbatasan misalnya. Sekolah adalah sesuatu yang mahal bagi mereka, dari segi fisik gedung, sarana prasarana maupun jumlahnya, masih jauh berada di bawah sekolah di Jawa. Mereka masih membutuhkan hadirnya sekolah di tempat tinggalnya. Tapi, di sini yang jumlahnya sudah lumayan, justru akan dicabut. Ini menjadi hal yang sangat aneh tentunya.
Jumlah sekolah swasta di Jawa Tengah pada tahun 2019 adalah sebanyak 4777 sekolah (Dapodikdasmen Jateng) sekolahan, disini kita dapat melihat dengan jelas. Seberapa besar kontribusi sekolah swasta dalam mensukseskan pendidikan, khususnya di Jawa Tengah sendiri. Dan jika izin itu dicabut, akan dibawa ke manakah siswa sebanyak itu, yang selama ini mengenyam pendidikan di sekolah swasta tersebut.? Bukanlah hal ini justru akan menimbulkan konflik baru dalam dunia pendidikan.
Memberdayakan Guru dan Sekolah Swasta
Kita sangat setuju dengan wacana Ganjar Pranowo, dalam upayanya mensejahterakan guru honorer. Akan tetapi, banyak hal yang masih perlu dikaji ulang. Salah satunya adalah soal pencabutan izin bagi sekolah yang tidak mampu menggaji gurunya sesuai UMK. Karena hal ini justru akan membebani bagi sekolah swasta itu sendiri. Pemerintah seharusnya membantu mencari solusi bagi pihak sekolah yang tidak mampu mensejahterakan gurunya tersebut. Bukan malah mengancam pencabutan izin.
Adapun beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah bagi sekolah swasta diantaranya, menyetarakan sekolah swasta dengan negeri pada keuangan, dalam hal ini, pemerintah seharusnya mampu menggaji guru swasta seperti halnya menggaji guru negeri. Sehingga dengan adanya peraturan tersebut, tidak menjadikan beban bagi sekolah swasta. Selain itu, pemerintah juga bisa membantu mengkampanyekan sekolah swasta, kepada masyarakat. Yang akhirnya minat sekolah di swasta semakin tinggi, dan otomatis keuangan akan menjadi lebih baik.
Solusi lain yang bisa diterapkan adalah pemberdayaan guru dan sekolah swasta. Artinya, guru tidak hanya diberi honor saja, akan tetapi, guru diberi ketrampilan memanajemen keuanagannya. Selain kemampuan mendidik guru juga harus bisa mandiri. Seperti dilatih berwiraswasta atau bisnis. Hal ini, sebenarnya sudah diterapkan pada sistem pendidikan di pesantren, di mana setiap pengasuh (kiai) dalam pesantren, pasti memiliki bidang usaha sendiri, ada yang berdagang, bertani, berternak dan lain sebagainya.
Dalam pesantren, biasanya usaha milik Kiai dijalankan oleh para santri, sementara, sang Kiai hanya fokus mengajar. Sehingga di sini terdapat dua kelebihan, yaitu, Kiai sebagai pengasuh pesantren hanya fokus mendidik para santri, tidak memikirkan tentang finansial, di sisi lain, santri yang membantu Kiai dalam usahanya, secara tidak langsung, mereka akan belajar tentang dunia bisnis. Di samping tugas pokok mengaji tentunya. Hal ini tentunya juga bisa diterapkan pada pendidikan di sekolah.
-Penulis adalah aktivis Pena Aswaja, mahasiswa Prodi PAI STAINU Temanggung.