Oleh Muhammad Adi Sucahyo
Perkara yang sama-sama bagus, memang tak perlu dipertentangkan. Namun, perlu dipilih mana yang utama. Selama ini, pembudayaan literasi sebagai motode dalam pembelajaran di Sekolah Dasar, Madrasah Ibtida’iyah salah atau kurang tepat. Mengapa? Karena disebabkan hanya mengedepankan apa yang sedang laku di pasaran guna perekrutan murid, atau menarik ketertarikan dari orang tua untuk menyekolahkanya di situ.
Seharusnya materi yang diajarkan itu sesuai tahapan, mana yang lebih penting untuk dihafalkan dahulu oleh mereka, lebih pentingan mana antara menghafal sifat–sifat Allah dan Nabi atau nama–nama Allah atau diajari menghafalkan Alquran.
Maka dari itu, seharusnya guru dapat dengan cerdas memberikan materi berdasarkan urutan yang lebih penting terlebih dahulu atau yang paling dibutuhkan murid pada jenjang SD/MI, ataupun ada suatau kebijakan dari lembaga sekolah tersebut. Tidak mungkin juga, misal kelas satu disuruh mempelajari materi kelas enam, karena pada masa itu belum saatnya mengerti yang terpenting dia tahu dan menghafal saja soal mengerti akan kegunaan itu bisa di masa lain karna belum saatnya juga berpikir yang berat- berat.
- Iklan -
Jika dalam bentuk pembiasaan itu tidak ada tahapannya, yang mending tidak usah dibuat kelas, anehnya masih saja dilakukan budaya yang seperti itu. Apakah guru–guru yang ada di situ tidak dapat mengamati atau membedakan mana yang terlebih penting dari yang penting.
Khusunya pada SD/MI yang selama ini dapat kita ketahui dari kelas satu sampai enam sebelum memulai pembelejaran itu disuruh membaca asmaul husna, padahal ada yang lebih urgen ketimbang asmaul husna yaitu aqaid 50 atau sifat wajib, sifat jaiz, dan muhalnya Allah dan Nabi. Bukan mau menyalahkan sepenuhnya karena sebetulnya juga baik dari pembiasaan tersebut, namun kurang sistematis saja.
Jika kita berkaca pada pola pembelajaran di pesantren itu sangatlah sistematis dan sangat berurutan dari yang lebih penting dan berdasarkan kelas. Misal dari kelas paling bawah, pasti yang akan diberikan sekilas pengantar di adab, ada Alala, di teologi, ada Aqidatul Awam, Fiqih Fasalatan, akan diajarkan Iqro’ untuk supaya tahu tentang huruf–huruf Arab dan pembacaannya.
Pasti akan dikenalkan dengan pembagian kelas seperti, Istida’, Ibtida’, Tsanawi, dan Aliyah, secara penaman saja pendidikan yang bernaungan Ma’arif NU masih menggunakan nama – nama yang dilahirkan dalam pesantren NU masa dalam sistem pemberian materi tidaklah sama, tentu sangatlah lucu.
Maka dari itu seharusnya materi yang diberikan ataupun ruh model dari bentuk literasi sebagai satu identitas pendidikan yang dibawah naungan Ma’arif itu mengaca pada pesantren, bukanya malah meniru apa yang sedang laku dan diminati saja. Misalnya meniru dari lembaga sekolah dasar Islam terpadu ya salah alamat, dari keberangkatannya sudah berbeda, yang dikedepankan adalah simpati masyarakat atau apa yang sedang diminati masyarakat dan pastinya masyarakat akan menyekolahkan anaknya ke situ.
Dari ajaran yang diberikan itu lebih mengedapankan Tahfidh Alquran, ataupun pembiasaan mengenal nama–nama Allah, tapi tidak mengenal sifat–sifat Allah dan para nabi yang itu diwajibkan setiap orang untuk tahu. Ketika kita mendepankan nama–nama Allah ketimbang aqaid 50, seperti halnya kita membiasakan murid untuk puasa sunah namun tidak menekankan agar berpuasa wajib seperti puasa di bulan Ramadan.
Meskipun sama–sama penting tapikan ada hal yang paling mendasar atau yang lebih penting dari yang penting, seperti halnya kita mengajarkan anak untuk menghafalkan Alquran namun tidak mengajarkan makhroj, tadjwid, ataupun asbabul nuzul, ya sama saja, buat apa? Terasa aneh saja jika ada seseorang yang bisa menghafal Alquran namun ketika ditanyakan sifat–sifat Allah, hukum dan tatacara salat malah tidak tahu. Bisa dikatakan itu adalah bentuk pembiasaan yang salah, artinya salah dalam keteraturan materi yang diajarkan tapi tetap benar pada metodenya, tetap menngunakan membaca, pembiasaan, dan keteladanan, yang dilakukan secara konsisten.
Memanglah menjual, nama sekolah ataupu apa yang diajarkan di sekolah itu penting untuk menarik simpati masyarakat agar mau menyekolahkan anaknya. Namun, jangan sampai menghilangkan ruh dari pendidikan ataupun model literasi yang sudah menjadi identitas sekolah Ma’arif dengan meniru sekolah yang lain yang berafiliasi jelas–jelas berbeda, itulah yang menjadi PR saat ini dalam pendidikan yang di bawah naungan Ma’arif.
Aqaid 50 Lebih Penting!
Dalam sebuah pembelajaran keteraturan, berurutnya satu ilmu dengan ilmu yang lain itu yang paling terpenting. Sebab, jika materi itu diberikan secara acak atau tidak dari bagian yang paling terpenting terlebih dahulu, maka akan mengalami kegagalan pemahaman. Seperti halnya ketika memberitahukan salat pasti yang akan diajarkan secara berurutan, yang pertama pasti pemberitahuan bahwa sebagai seorang muslim salat adalah kewajiban, baru ketahap berikutnya yaitu syarat dan rukunya salat, baru ketahap berikutnya sampai kesalat itu adalah kebutuhan bagi umat muslim. Artinya semua itu ada tahapanya, tidak asal asalan dalam pembiasaan, atau dari bagian yang paling mendasar baru kebagian yang penting.
Sebetulnya penting semua anatara aqaid 50 dengan asmaul husna tapi ada yang lebih penting yaitu membiasakan suatu pengetahuan yang diwajibkan terlebih dahulu daripada nama – nama Allah ataupun menghafalkan Alquran. Cara pembiasaan itu ada beberapa. Pertama, disediakannya satu lembar tulisan untuk satu anak satu yang di situ tidak harus tuliskan dengan huruf Arab dan ajarkanlah cara membaca dengan dibuat syair atau dilagukan seperti apa yang diajarkan oleh pendahulu kita, supaya murid dapat menghafal secara cepat dan itu dibutuhkan keajegan. Itu bisa diwajibkan bagi semua kelas, ataupun sebagai suatu kebijakan dari sekolah. Setiap pendidikan yang berada di bawah naungan Ma’arif setidaknya mempunyai satu identitas dalam pembelajaran atau pembiasaan dan itu sebagai simbol dari sekolah Ma’arif tersendiri.
Kedua, menggantikan pembiasaan membaca asmaul husna dengan aqaid 50, dan dilagukan pula seperti halnya membaca asmaul husna dan itu dilakukan sebelum memulai pembelajaran. Lama-kelamaan jika itu dilakaukan secara konsisten, maka anak akan cepat menghafal meskipun belum mengerti tentang kegunaan dari sifat tersebut, tapi setidaknya kewajiban itu sudah terpenuhi.
Tanpa menghilangkan apa ruh model ataupun identitas darimana kita berpijak, dan untuk mendapat simpati masyarakat agar tetap diminati, cukup membuat slogan tentang pemahaman kesistematisan / keteraturan bahwa setiap materi yang diberikan itu ada masanya, dan dalam model literasi sebagai metode pembelajaran disekolah, karna setiap masa itu mempunyai zaman dan setiap zaman itu mempunyai masanya tersendiri.
Dari apa yang terpapar sudah dijelaskan, bahwa tahapan pemberian materi ataupun tahapan dalam pembiasaan itu sangatlah penting, dan identitas dari sekolah itu tidak boleh dihilangkan dari awal berpijak. Supaya kepahaman anak itu teratur dari yang mendasar kebagian yang penting, dan identitas itu sebagai sanat kelembagaan atau bisa dikatakan sebagai sanat keilmuan dari sekolah tersebut supaya tidak terputus, dan ketika itu adalah sekolah yang bernaungan dibawah ma’arif tentu itu sudah jelas secara sanat keilmuanya atau kelembagaanya siapa yang mendirikan atau berasal dari mana. Simbol itu sangat penting untuk ditunjukan ke permukaan dan tidak usah disembunyikan lagi agar tetap masih diakui secara kesanadannya.
-Peneliti Pendidikan di Pena Aswaja, Alumnus Ponpes Sunan Plumbon