Oleh Dimas Indianto S.
Bulan Maulid, katanya adalah bulan untuk meluapkan rasa cinta kepada Kanjeng Nabi. Di mana-mana diselenggarakan acara maulid, berisi pengajian berikut dengan pembacaan maulid barzanji, simtudduror hingga diba’. Di sekolah, di instansi, di kantor, di madrasah, di kampus, di pesantren, di masjid kota, masjid kampung, di pedesaan, di perkotaan, di perumahan dan di hampir semua tempat.
Perayaan maulid menjadi simbol kecintaan umat terhadap Kanjeng Nabi. Untuk itulah, acara dibuat sedemikian menarik, estetis, meriah dan bahkan beberapa di antaraya sampai terkesan gemerlap. Sajian makanan dan buah-buahan menambah citra istimewa dari perayaan maulid dibanding dengan perayaan hari besar Islam lainnya.
Tetapi, apakah cinta hanya selesai diucapkan dan disimbolkan? Apakah dengan perayaan maulid yang meriah itu menjadi jaminan bahwa cinta kita benar-benar “dalam” kepada Kanjeng Nabi?
- Iklan -
Jika merujuk pada teori cinta Robert Jeffrey Sternberg, seorang ahli psikologi keturunan Amerika, yang dikenal dengan The Triangular Theory of Love, kita akan dibawa pada tiga batasan cinta. Pertama, intimacy (keintiman). Cinta ditandai dengan keintiman. Tanpa adanya ketintiman cinta hanya semacam bualan. Tanpa mengetahui “apa” dan “siapa” yang kita cintai, kita tak akan pernah tahu “cara terbaik” dari kerja mencintai. Keberjarakan antara orang yang mencintai dan orang yang dicintai, akan menimbulkan banyak ruang kosong. Hal ini berimbas pada substansi dari status cinta yang diungkapkan.
Dalam pada ini, persoalan keintiman dalam menunjukkan cinta pada Kanjeng Nabi harus dibuktikan juga dengan pengetahuan yang mendalam mengenai sosok Kanjeng Nabi, baik historisitas kenabiannya, biografi kehidupannya serta kompleksitas pemikiran dan kontribusinya bagi umat manusia. Sehingga cinta Kanjeng Nabi juga harus dibuktikan dengan selesainya proses pembacaan mengenai semua ikhwal Kanjeng Nabi. Tanpa mengetahui secara detail tentang sosok Kanjeng Nabi, cinta kita masih perlu dipertanyakan. Sebab Kanjeng Nabi adalah “Uswatun Khasanah” sebagai grand desain manusia unggul. Terlampau banyak keindahan dan keistimewaan yang dimiliki Kanjeng Nabi yang bisa kita tiru. Sehingga cinta kita tidak semata berhenti pada sebuah ucapan tetapi juga keintiman terhadap Kanjeng Nabi. Keintiman ini yang akan menjadi tolak ukur seberapa besar cinta yang kita rasakan kepada Kanjeng Nabi.
Kedua, Hasrat (passion). Setiap pecinta semestinya memiliki hasrat untuk “menyatu” dengan objek yang dicintai. Tanpa ada hasrat ini, cinta tidak akan menumbuhkan ‘”sense of belonging”. Jika tidak ada rasa kepemilikan, maka cinta tidak memasuki ruang terdalam dari perasaan cinta itu sendiri. Sehingga, jika kita mengaku mencintai Kanjeng Nabi, sudah seharusnya kita memiliki keinginan untuk selalu bersamanya. Kemenyatuan itu bisa berwujud selalu ingin dekat dengan Kanjeng Nabi, sehigga bibir kita tidak akan pernah berhenti untuk bershalawat kepadanya, kapanpun tidak hanya di bulan Maulid. Dengan sholawat berarti kita senantiasa mendoakan Kanjeng Nabi, sebagai objek cinta kita.
Ketiga, Komitmen. Cinta tanpa sebuah komitmen adalah hubungan tanpa ikatan. Komitmen adalah bukti ketulusan dan totalitas sebuah cinta. Komitmen adalah perekat yang akan selalu membuat pecinta dan yang dicintai selalu dekat. Komitmen akan senantiasa menjadi media untuk keutuhan sebuah jalinan cinta. Cinta kepada Kanjeng Nabi juga harus dengan komitmen yang kuat, yaitu bersedia mengikuti sunnah Nabi dan hal-hal yang dilarangnya. Salah satu hal konkrit dalam menyatakan sebuah komitmen cinta kepada Kanjeng Nabi adalah dengan meneladani pesan profetik Kanjeng Nabi.
Pesan Profetik
Menurut perspektif Ilmu Sosial Profetik yang dikenalkan oleh Kuntowijoyo, ada tiga pesan profetik yang tertulis dalam surat al-Imran Ayat 110, Pertama, al-amr bil-ma’ruf, bersifat humanisasi. Kedua, al-nahy anil munkar, bersifat liberasi. Ketiga, tu’minuna billah bersifat transenden. Dalam ayat tersebut, terdapat makna bahwa umat Islam merupakan umat terbaik (khair al-ummah) jika mau melakukan amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan iman kepada Allah (transendensi). Pesan profetik inilah yang menjadi pegangan Umat Islam jika mau mengikuti jejak Kanjeng Nabi. Karena ketiga hal itu sudah dipraktikkan dengan baik oleh Kanjeng Nabi, baik melalui perkataan maupun perbuatannya.
Pertama, amar maruf. Perintah menebarkan kebaikan. Jadi kalau kita mengaku mencintai Kanjeng Nabi, kita harus bisa melakukan misi ini, yakni menebar kebaikan kepada sesama mankhluk. Adapun, amar maruf yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi dilakukan dengan ma’ruf, bukan dengan munkar. Pada posisi ini penting bagi kita, bahwa “uswah” yang perlu kita contoh tidak sekadar mengemban misi amar marufnya saja. Melainkan juga cara atau teknik dalam melakukannya. Kanjeng Nabi sudah memberi contoh, tidak pernah melakukan kekerasan dalam berdakwah, baik kekerasan fisik maupun simbolik.
Dalam misi ini ada nilai humanisme yang diterapkan Kanjeng Nabi, yakni memanusiakan manusia. Maka cinta kita kepadanya harus mewujud laku yang sama, yakni berbuat baik kepada sesama, meskipun berbeda. Ada penghargaan terhadap kemanusiaan yang ingin disampaikan oleh Kanjeng Nabi. Jangan sampai, gairah beragama yang kuat membuat kita membabi buta dalam menyiarkan ajaran Islam yang notabene rahmatan lil alamin.
Kedua, nahi munkar. Sebagaimana dalam amar ma’ruf, Kanjeng Nabi melakukan nahi munkar dengan maruf, bukan dengan munkar. Artinya, ketika mencegah perbuatan tidak baik atau mencegah kerusakan, diupayakan dengan perlakuan yang baik, bukan dengan kekerasan. Kanjeng Nabi sudah mencontohkan betapa luhur akhlaknya bahkan kepada pihak yang membencinya. Kanjeng Nabi senantiasa memperlihatkan cahaya kebaikan dari wajahnya, meski dalam misi nahi munkar. Pendekatan personal dan psikologis dilakukan Kanjeng Nabi, sehingga dalam menyampaikan dakwah tidak ada yang terluka baik tubuh maupun hatinya.
Dalam misi ini, ada konsep pembebasan. Bahwa agama itu adalah pembebasan. Membebaskan manusia dari keterpurukan. Membebaskan dari rasa ketakutan. Agama tidak boleh dijadikan alat untuk mendiskriditkan pihak lain. Agama bukan senjata untuk menyakiti pihak yang berbeda dengan kita. Untuk itulah, cinta kita kepada Kanjeng Nabi harus direpresentasikan kepada misi pembebasan kepada “liyan”.
Ketiga, transendensi, atau iman kepada Allah. Pesan ini hendaknya menjadi pegangan bagi setiap umat Islam. Keimanan adalah sebuah tongkat yang akan menuntun umat Islam ke arah jalan yang benar dan diridhoi Allah. Tanpa keimanan, kebaikan yang kita lakukan tidak akan menemu muara yang menyejukkan dahaga jiwa. Maka jika kita mengatakan cinta kepada Kanjeng Nabi, kita juga harus senantiasa mempertebal keimanan kita kepada Allah. Kita akan berupaya selalu untuk menjadi khairu ummah, menjadi insan yang bertakwa dan memberi kebermanfaatan bagi hidup dan kehidupan.
Semoga dengan melakukan pesan profetik ini, cinta kita kepada Kanjeng Nabi tidak semata hanya bualan, tidak semata kata-kata yang diindah-indahkan, tidak semata muncul di permukaan. Sebaliknya, cinta kita akan menjadi penerang jalan menuju cinta sejati, cinta yang akan menuntun kita kepada kebahagiaan abadi. Sholalllah ala Muhammad!
Rumah Kertas, 9 November 2019.
-Penulis adalah Dosen IAIN Purwokerto.