Oleh Hamidulloh Ibda
Ditetapkannya Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (18/9/2019) menjadi tamparan keras bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) maupun masyarakat luas. Kasus dugaan korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang menduga Imam menerima suap Rp 26,5 miliar ini menjadi catatan kelam.
Untuk itu, pemberantasan korupsi tak boleh sekadar ritus dan formalitas. Melainkan, konsisten melalui apa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. Salah satunya melalui bahasa yang menjadi bagian dekat pada manusia.
Bahasa bukan segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana. Bahasa sebenarnya bukan sekadar alat komunikasi, simbolisme budaya, ekspresi perasaan dalam sastra, katarsis dalam menghadapi gelombang kehidupan, namun hakikat bahasa adalah “alat untuk melawan,” baik melawan pemerintah jahat, pemimpin culas, birokrat konslet dan rezim zalim.
- Iklan -
Jadi, jika mau melawan rezim korup, maka gunakanlah bahasa untuk melawan mereka. Tepatnya, kita bisa menitipkan rasa emosi dan kritik membangun terhadap pemerintah jahat lewat bahasa.
Tugas melawan kejahatan bukan terletak pada penyandang gelar aktivis, mahasiswa, pegiat keadilan, penegak hukum ataupun polisi. Namun, tugas melawan kejahatan, korupsi, nopotisme adalah tugas semua manusia yang memiliki bahasa. Bisa saja manusia beralasan bukan tugas mereka melawan korupsi, tapi selama memiliki bahasa, maka wajib hukumnya untuk melawan kejahatan. Itu wajib.
Bahasa adalah kekayaan dan senjata hebat untuk melawan korupsi. Bahasa memiliki “kekuatan magis” jika digunakan sesuai kadah linguistik dan sosiolinguistik kepada konteks yang tepat untuk menundukkan gelombang gelombang jahat.
Kehebatan Bahasa
Aldous Hexley menyatakan bahwa manusia tidak berbeda dengan anjing atau monyet jika tak punya bahasa dan memfungsikannya. Maka dari itu, sebagai manusia yang memiliki bahasa, kita wajib menggunakan bahasa sesuai konteksnya, terutama untuk melawan kejahatan dalam segala hal. Aku berbahasa dan melawan, maka aku ada. Itulah prinsip yang harus ditegakkan.
Lebih jauh, Wittgenstein menyatakan grenzen meiner sprache bedueten die grenzen meiner welt (batas bahasaku adalah batas duniaku). Di sini jelas, keunikan manusia sebenarnya tidak sekadar sebagai makhluk berpikir, melainkan terletak pada kemampuan berbahasa. Semakin banyak manusia menguasai bahasa, maka semakin banyak potensi untuk menguasai dunia. Semakin cerdas manusia memfungsikan bahasa, maka semakin banyak gelombang positif yang dilahirkan untuk menerangi kegelapan, menumpas kezaliman, dan melawan korupsi.
Secara generik, manusia tidak sekadar “homo sapiens” atau makhluk berpikir. Namun, manusia menurut Ernst Cassirer adalah animal symbolicum atau makhluk yang menggunakan simbol lewat bahasa dalam kehidupan. Tanpa kemampuan berbahasa, maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur mustahil dapat dilakukan. Dengan bahasa, manusia mampu mengembangkan kebudayaannya, dapat berselancar di dunia sastra, bercanda dengan gelombang kehidupan, bahkan melawan korupsi dan kejahatan.
Seribu satu alasan, bisa kita gunakan untuk melambungkan kehebatan bahasa. Namun, jarang sekali orang sadar dan tahu akan pentingnya bahasa dan hebatnya kekuatan bahasa untuk melawan kejahatan. Bahasa mampu menjadi power di tengah badai dan gelombang korupsi. Logikanya, manusia mampu berpikir dengan baik dan benar karena mereka memiliki bahasa. Dengan pikiran, manusia bisa menciptakan segalanya, mulai dari puisi, cerpen, ponsel, koran, bom, internet, kebijakan, bahkan sampai kondom dan alat-alat untuk kehidupan manusia yang lain. Namun, pikiran tanpa bahasa, dia bagaikan laut tanpa pantai yang sunyi akan keindahan.
Alat Perlawanan
Guru besar UNNES, Rustono, pernah menjelaskan bahwa sesungguhnya dunia ini bisa maju dan mundur lewat bahasa. Bangsa yang kualitas bahasanya tinggi, maka potensi kemajuannya tinggi, begitu sebaliknya. Namun, penulis berpikir fungsi bahasa sesungguhnya tidak hanya itu, hemat penulis, bahasa sesungguhnya bisa menjadi alat jitu untuk menumpas korupsi dan kegelapan.
Bahasa dapat dicirikan sebagai serangkaian bunyi. Maka, pertama kali untuk melawan korupsi adalah membunyikan perlawanan, mendentumkan revolusi, dan membahasakan bahwa “korupsi adalah haram”. Jika sudah dibahasakan “haram”, secara ilmiah manusia bisa menilai bahwa korupsi harus dijauhi dan dilawan.
Inilah formula linguistik yang menjadi fondasi melawan korupsi. Mumpung memiliki bahasa, maka kita wajib melawan korupsi. Karena melawan adalah selemah-lemahnya iman, dan itu lebih baik daripada tidak melawan sama sekali. Melawan korupsi adalah ibadah, pahalanya sama dengan melakukan ritual suci kepada Tuhan.
Kedua, bahasa adalah lambang, simbol, alat untuk menjelaskan sesuatu. Dalam hal ini, rumus linguistik yang digunakan harus mampu melambangkan korupsi adalah kejahatan yang dosanya besar, menyimbolkan bahwa koruptor adalah penghuni neraka. Barang siapa korupsi, maka tempatnya di neraka. Lebih detailnya, bahasa mampu membuat hitam atau putihnya sesuatu. Jika korupsi adalah kegelapan, sesuatu yang hitam, maka yang dilakukan adalah menjelaskan bahwa kegelapan di dunia ini adalah akibat korupsi yang tidak ditindak tegas.
Ketiga, memformulasikan media massa untuk mendesain bahasa jurnalistiknya menjadi renyah, lugas, edukatif, revolusioner, dan membina masyarakat untuk tahu bahwa korupsi itu gelap, koruptor itu setan, dan melawan korupsi adalah kewajiban. Pasalnya, apa saja yang di alam pikiran manusia adalah pengaruh media massa. Pengaruh primer pikiran rakyat saat ini adalah produk media massa. Maka, media massa menjadi alat sangat penting untuk merevolusi bangsa dan menjadi alat untuk membahasakan perlawanan terhadap korupsi.
Keempat, dentuman bahasa perlawanan korupsi dalam berita, artikel, puisi, cerpen, dan karya sastra yang lain sangat memberi pengaruh besar terhadap pemberantasan korupsi. Karena itu, sudah seharusnya para penulis melawan korupsi lewat bahasa mereka, baik dalam karya sastra maupun non sastra. Bahkan, bahasa para penceramah, dosen, guru, dai, kiai harus memberikan angin suci untuk melawan korupsi. Bahasa dalam lagu juga harus menyelipkan spirit dan ruh untuk melawan korupsi. Ini sangat penting untuk membangkitkan kemarahan terhadap kejahatan terutama korupsi.
Kelima, bahasa adalah alat untuk mengritik penguasa jahat. Getaran bahasa mampu menyapu gelombang korupsi. Maka, tak heran jika para demonstran ketika berorasi meneriakkan bahwa korupsi itu najis, koruptor itu iblis, dan sebagainya mampu memberi sumbangan besar terhadap pemberantasan kejahatan korupsi.
Stiker, poster, etiket, bendera juga mampu menjadi alat perlawanan korupsi lewat bahasa yang diselipkan di dalamya. Misalnya, awas! bahaya laten korupsi, koruptor itu tempatnya di neraka, jauhi korupsi sekarang juga, selamatkan bangsa dari korupsi, dan sebagainya. Itu semua adalah pernak-pernik dan indahnya bahasa jika digunakan untuk melawan korupsi.
Keenam, dalam linguistik bahasa dibedakan menjadi bahasa baku, non baku, ilmiah, tidak ilmiah, dan bahasa sehari-hari. Hemat penulis, tidak perlu mempersoalkan hal itu, yang penting semua harus dijadikan alat untuk menumpas korupsi dengan pedang yang bernama bahasa. Mengapa? Karena bahasa adalah pedang tajam untuk menebas korupsi. Minimal, dalam kehidupan sehari-hari kita harus melawan korupsi lewat bahasa, di mana pun, kapan saja, dan dengan siapa saja. Saatnya melawan dan memberantas korupsi lewat bahasa!
–Penulis adalah dosen Bahasa Indonesia STAINU Temanggung