Oleh Abdul Khalim, M.Pd
Kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini semakin marak terjadi di Indonesia bahkan di dunia. Reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia tahun 1998 membuka pintu bagi lahirnya berbagai organisasi dan perkumpulan politik. Lengsernya rezim Orde Baru membawa berbagai arus perubahan demokratisasi yang diikuti dengan terciptanya ruang kebebasan pers, aksi dan gerakan protes sosial semakin leluasa, berlangsungnya pemilu tahun 1999 secara lebih demokratis, sampai dengan kebebasan bagi berdirinya organisasi-organisasi dengan corak ideologis dan keyakinan beraneka ragam. Termasuk didalamnya adalah lahirnya berbagai organisasi Islam yang bercorak radikal.
Kehadiran Islam yang bercorak radikal menyisakan persoalan tersendiri bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terutama dalam kehidupan yang serba beragam seperti di Indonesia. Tidak jarang mereka bersikap intoleran terhadap pemeluk agama lain, atau pemikiran yang berbeda dengannya. Corak keberislaman yang dimilikinya menunjukkan sikap fanatik dan eksklusiv, ia sering memaksakan pemahaman dan menganggap pemahamannyalah yang paling benar.
Sikap eksklusif tersebut melahirkan radikalisme dalam beragama dan akan menjadi bahaya jika sampai pada tataran ghuluw (melampaui batas) dan ifra>t} (keterlaluan) ketika dipaksakan pada pemeluk agama lain. Aksi sweeping atribut non-muslim yang dikenakan muslim pada saat peringatan Natal, gerakan anti maksiat yang berbuntut anarkis, “konstitusionalisme Islam”, “perda syari’a>h”, saling tuduh mengkafirkan, membid’ahkan dan seterusnya yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka, bahkan lebih ekstrim lagi aksi pengeboman di beberapa gereja dan fasilitas umum atas nama jihad seperti bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan 200-an orang yang dilakukan oleh Imam Samudra Cs atas nama jihad.
- Iklan -
Sikap demikian tentunya tidak bisa lepas dari cara pandang terhadap doktrin suatu ajaran. Cara pandang tersebut tidak bisa lepas dari pendidikan yang diterima, atau paling tidak dari hasil diseminasi atas bacaan tentang sesuatu ajaran yang dipelajarinya. Dari sini nampaknya pendidikan merupakan entitas terpenting dalam pembentukan karakter dan sikap keagamaan seseorang.
Pendidikan: Azas Dasar Pembentukan Karakter
Pendidikan dipahami sebagai upaya manusia menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan. Nilai nilai itu kemudian dikembangkan melalui proses pendidikan dengan tujuan akhir nilai-nilai tersebut menjadi watak atau karakter yang dimiliki terdidik. Disini perlu dipahami bahwa, kesalahan memahami nilai-nilai atau mengambil paradigma yang kontra (tidak diterima dimasyarakat), secara umum akan menimbulkan persoalan sebagaimana radikalisme yang ditunjukan dalam mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam dimasyarakat. Maka peran pendidikan untuk menumbuhkan budaya damai dan sikap moderat sangat dibutuhkan.
Budaya damai merupakan budaya yang didalamnya terdapat nilai-nilai toleransi dan sikap penerimaan terhadap komunitas lain. Dikalangan komunitas Islam, munculnya sikap toleransi biasanya merupakan produk dari pemahaman ajaran Islam (teologi). Karena itu, mencermati potensi perdamaian dilingkungan penganut Islam harus dilihat sejauh mana interpretasi mereka terhadap ajaran Islam (teologi) yang berkaitan dengan isu-isu yang hangat yang biasanya menjadi trigger terhadap munculnya kekerasan. Setelah memahami persepsi tersebut, kemudian dilihat sejauh mana interpretasi persepsi itu diimplementasikan dalam bentuk aksi kedalam bentuk sosialisasi atau pendidikan dan sosialisasi keluar atau diseminasi kepada masyarakat.
Pesantren Mengembangkan Budaya Damai
Salah satu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan dasar dasar keislaman (teologi) adalah pesantren. Ia merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang berkembang luas di Indonesia. Pesantren pada umumnya, mengajarkan budaya damai dan lebih banyak menampakan karakter Islam yang moderat karena pada umumnya pesantren adalah bagian dari masyarakat Sunni yang banyak dianut masyarakat Indonesia (mainstream).
Menurt Abdurrahman Mas’ud, masyarakat Sunni termasuk komunitas pesantren pada umumnya bebas dari fundamentalisme, radikalisme dan terorisme. Kalangan pesantren biasanya memiliki ciri-ciri: (1) tidak melawan penguasa atau pemerintah yang ada; (2) kekakuan atau regiditas dalam menegakan kesatuan vis-avis disintegrasi dan chaos; (3) teguh dan kokoh menegakkan konsep jama>’ah, mayoritas, dengan supremasi Sunni, dan layak dinamai ahlussunnah waljama>’ah; (4) tawassut}, tengah-tengah antara dua kutub dan antara dua ekstrem politik-teologis; Khawarij dan Syi’ah; (5) menampilkan diri sebagai “suatu komunitas normatif”: kokoh dan teguh menegakkan prinsip-prinsip kebebasan spiritual dan memenuhi serta melaksanakan standar etik syari’ah.
Berdasarkan kode etik sebagaimana digambarkan Mas’ud tersebut jelas bahwa pesantren tidak mengakomodasi paham-paham radikal apalagi yang mengarah pada gerakan terorisme. Hal ini dapat dilihat kiprah komunitas pesantren di tengah-tengah masyarakat mampu mengakomodasikan nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi setempat dengan nilai-nilai ajaran Islam. Disamping itu, secara konseptual dan tradisi pesantren menghadirkan budaya damai (peace culture) dan anti kekerasan. Dengan demikian tidak dibenarkan jika dikatakan bahwa pesantren mengakomodasi adanya radikalisme dalam Islam, akan tetapi sebaliknya pesantren lebih menampakkan sikap yang moderat dan mampu bergumul ditengah-tengah masyarakat yang beragam.
Karakter moderat dan budaya damai pesantren tersebut tidak bisa lepas dari model pendidikanya, pesantren banyak menunjukan sifat fleksibel, terbuka, tidak kaku atau tidak menutup diri terhadap dunia luar. Proses dialog yang tergambar dalam pengkajian kitab-kitab yang diajarkannya menunjukan dinamisasi pemikiran tersendiri dalam pesantren. Dalam khasanah klasik (kitab-kitab klasik yang diajarkan) tersebut, keragaman pendapat para ulama telah menjadi kenyataan tersendiri bagi dunia pesantren. Model pendidikan dengan menunjukan pandangan “khilafiyah” yang terdapat dalam muatan isi kitab kuning yang dipelajari para santri ini justru kemudian menumbuhkan sikap terbuka terhadap wawasan, menerima dan sekaligus mengkritisi gejala-gejala baru yang muncul.
Di samping model pendidikan sebagaimana diatas, dunia pesantren sangat respek terhadap tradisi yang berkembang dimasyarakat. Jika dilihat sejarahnya, pesantren merupakan bagian dari bentuk akomodatif budaya dan nilai-nilai ajaran Islam. Ia merupakan perpaduan antara tradisi zawiyah (lingkaran pengajian Islam) yang berkembang di Tanah Suci dan tradisi padepokan (perguruan Hidu-Budha) yang berkembang di Nusantara selama berabad-abad.
Pertemuan antara dua budaya yang berbeda itu merupakan paduan antara substansi zawiyah yang bermuatan ajaran Islam dan struktur serta metode padepokan yang telah mengakar di masyarakat Nusantara. Pesantren memiliki karakter sebagai cagar budaya yang mengembangkan tradisi sendiri, baik tradisi pemikiran keilmuan, berbahasa maupun tata cara berpakaian, bahkan mampu mempertahankan pluralitas pemahaman Islam di Nusantara dan relasi Islam dengan berbagai komunitas lain dibawah prinsip toleransi yang dikembangkannya. Pondasi tradisi yang demikian menjadikan komunitas pesantren akomodatif terhadap tradisi lokal tanpa mengenyampingkan substansi nilai ajaran Islam.
Melihat karakteristik pesantren yang demikian, tentunya pesantren sangat bertolak belakang dengan ide-ide, gagasan, dan pemikiran kelompok radikal yang menafikan budaya lokal karena dianggap sinkretik. Terbukti bahwa sebagian besar pesantren menolak radikalisme Islam yang selama ini berkembang dimasyarakat. Gambaran diatas menunjukan bahwa pesantren adalah model pendidikan Islam yang moderat dan tidak meneriman paham radikalisme serta mampu memainkan peran strategis dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan budaya damai. (hi).
-Penulis adalah pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah periode 2018-2023. Artikel ini sudah dimuat di Majalah Ma’arif edisi 2019.