Oleh: R. Andi Irawan, M.Ag.
Saat ini dunia pendidikan nasional, termasuk warga nahdliyin dihadapkan pada kenyataan perkembangan yang mau tidak mau harus diikuti jika tidak ingin tertinggal lebih jauh dan tergilas ekses negatif yang ada. Kenyataan yang dimaksud adalah Revolusi Industri 4.0 yang serba otomatis digital dan berbasis kecerdasan buatan (artificial intellegence) seperti robot. Era Revolusi Industri 4.0 menitikberatkan pada pergeseran dunia dari konvensional ke arah digital. Era ini juga akan mendisrupsi (mencerabut) berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta pendidikan. Lantas bagaimana langkah mempersiapkan diri yang harus dilakukan stakeholders satuan pendidikan Ma’arif agar siap dan survive menghadapi perkembangan tersebut?
Revolusi Industri 4.0 selain menuntut kita untuk menguasai berbagai perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, juga mengharuskan kita untuk memperkuat ideologi di tengah-tengah perang multiideologi, yaitu radikalisme, liberalisme dan komunisme. Ideologi Ahlussunnah wa al Jama’ah al-Nahdliyah sebagaimana yang telah dirumuskan para muassis NU seyogyanya menjadi benteng keagamaan dan fondasi berpikir, bersikap dan berperilaku warga NU, baik secara pribadi maupun organisasi. Konsep Aswaja al-Nahdliyah tersebut dikonstruksi dalam bangunan Khittah Nahdliyah yang mencakup fikrah nahdliyah, amaliyah nahdliyah dan harakah nahdliyah.
Aswaja Nahdliyah dalam praktiknya menjadi paradigma atau cara pandang NU dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Dalam konteks pendidikan, Aswaja Nahdliyah menjadi paradigma yang memandang ilmu secara ontologis adalah satu, yaitu semua ilmu berasal dari Allah, tidak ada dikotomi ilmu, ilmu Allah dan ilmu manusia. Secara epistemologis, ilmu dapat diperoleh dari berbagai potensi yang dimiliki manusia, yaitu rasio, panca indera dan ilham. Paradigma semacam ini menolak paradigma yang cenderung pada satu mainstream, baik rasionalisme, empirisme, maupun intuisisme.
- Iklan -
Sedangkan secara aksiologis, ilmu bersifat tidak bebas nilai, namun terikat dengan yang disebut etika atau nilai-nilai ketuhanan. Artinya, jenis apa pun ilmu yang dipelajari dan dikuasai harus dalam rangka menghadirkan dan merealisasikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, makhluk Allah, lingkungan dan alam semesta. Cara pandang serperti ini adalah cara pandang yang bersifat integratif, karena itu hakikat pendidikan adalah bagaimana membersihkan dan mengembangkan potensi fisik, akal, dan akhlak peserta didik .( تهذيب وتنمية قوى الجسمية و العقلية والخلقية كي تبلغ كمالها)Dengan paradigma seperti ini, NU bersikap moderat, seimbang, toleran dan senantiasa memperjuangkan kemaslahatan dalam berbagai urusan kehidupan masyarakat, serta berpijak pada prinsip integratif, keseimbangan, kesamaaan, dan pembebasan.
Dengan dasar atau fondasi paradigma Aswaja al-Nahdliyah semacam ini, LP Ma’arif PWNU periode 2018-2023 bertekad untuk mewujudkan visi besar pendidikan, yaitu “Membangun Pendidikan yang Berkarakter Ahlussunnah wa al-Jama’ah al-Nahdliyah”. Visi ini memiliki dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjaga Islam Aswaja dan tanggung jawab nasionalisme atau menjaga keutuhan bangsa.
Untuk menuju terwujudnya visi tersebut penguatan mutu menjadi penting bagi satuan pendidikan di bawah koordinasi LP Ma’arif, baik sekolah maupun mandrasah. Dalam hal mutu, sumberdaya kepala sekolah dan guru terkait tata kelola lembaga dan kompetensi guru menjadi penting untuk ditingkatkan, terutama pemahaman mereka terhadap konsep aswaja al-Nahdliyah dan praktinya secara benar dalam konteks pendidikan. Maka, perlu adanya skema pendampingan secara intensif yang dilakukan dan program pengutan ideologi kepala sekolah dan guru Ma’arif yang benar benar bisa membentuk karakter paradigma mereka dengan paradigma Aswaja al-Nahdliyah, sehingga tidak ditemukan lagi ada seorang kepala sekolah Ma’arif yang tidak paham Aswaja dan kebijakannya bersebrangan dengan ideologinya, atau ada guru yang mengikuti paham radikal.
Selain penguatan ediologi, pendampingan terkait manajemen, IT, kurikulun, metode dan strategi pembelajaran, dan akreditasi, juga perlu dilakukan secara gradual, terencana dan penuh komitmen. Pada masa ini guru tidak cukup hanya menerapkan pendekatan atau metode konvesional di dalam mengajar, yaitu hadir absen, tanya jawab, dan diskusi, tapi harus mampu mengembangkan diri dan kapasitasnya menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang canggih.
Penguatan mutu dalam perjalananya akan mengarah pada standarisasi karakteristik madrasah dan sekolahan Ma’arif. Karakter yang perlu dibangun adalah mencakup sisi fisik satuan pendidikan, maupun kurikulum. Maka dari itu, standirisasi simbol, amaliyah dan kurikulum madrasah dan sekolah Ma’arif menjadi fokus garapan yang jika berhasil tentu karakteristik yang dimaksud akan menuai hasil menggembirakan. Misalnya, seluruh madrasah dan sekolah Ma’arif harus memasang plang berlebel Ma’arif dan NU, bendera NU, foto tokoh-tokoh NU di setiap ruangan, maqolah-maqolah muassis dan tokoh NU yang mampu menginspirasi peserta didik, dan atribut lainnya yang dianggap penting. Seluruh madrasah dan sekolah Ma’arif menjadikan amaliyah nahdliyah sebagai kegiatan rutinitas, seperti tahlil, itstigasah, manaqiban, barzanji, tawassul dan ziarah.
Kegitan ini selain untuk mencari keberkahan juga dijadikan media sosialisasi peserta didik dan media penguatan ideologi Aswaja al-Nahdliyahmelalui pentradisian amaliyah nahdliyah. Sedangkan dalam konteks kurikulum, selain mengacu pada standar kurikulum kemendikbud dan kemenag, satuan pendidikan Ma’arif sangat penting untuk bagaimana membingkai semua kurikulum pemerintah dengan menambahkan dan mengutkan ideologi Aswaja al-Nahdliyah, yaitu kitab-kitab akidah untuk melawan ideologi yang saat ini berkembang, kitab-kitab Ta’lim Muta’alim untuk menjawab persoalan moral dan karakter, dan kitab-kitab fikih mazhab untuk menyikapi kelompok-kelompok yang ekstrim dan liberal yang anti mazhab. Pengembangan kurikulum madrasah dan sekolah Ma’arif muatan penguatan aswaja al-nahdliyah dan kajian kenusantaraan (literatur ulama dan tokoh nusantara) perlu menjadi perhatian dan penekanan, serta menggunakan pendekatan integratife curriculum.
Selain standardisasi, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Ma’arif adalah meningkatkan mutu literasi guru dan peserta didik. Literasi merupakan cerminan seberapa tinggi kecintaan seorang guru dan peserta didik terhadap ilmu. Kita bisa lihat dalam lintasan sejarah, bagaimana peradaban suatu bangsa bisa maju kalau bukan karena didasari dan berangkat dari tradisi literasi yang kuat, yaitu tradisi membaca, menulis, riset, diskusi dan membangun perpustakaan di mana-mana. Tingkat literasi bangsa kita sangatlah rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia, yaitu menempati posisi 64 dari 70 negara (PISA) atau 60 dari 61 negara (The World Most Literate Nation Study).
Data UNESCO (2011), dari 1.000 orang di Indonesia hanya 1 orang yang membaca serius. Dalam setahun masyarakat Amerika Srikat bisa menghabiskan 12 buku, Jepang 10 buku, sedangkan Indonesia kurang dari 5 buku. Perpusnas RI menemukan data dari 1.000 orang, ada 25 yang membaca serius (Bando, 2016).
LP Ma’arif periode ini berkomitmen melakukan Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) dalam rangka ikhtiar memajukan keilmuan dan peradaban Indonesia, sehingga mampu menjadi penentu arah peradaban dunia yang lebih maslahah. Pengembangan literasi menjadi penting di era tekonologi, di mana masyarakat kita mencerap berbagai informasi melalui internet dan media sosial. Agar mampu mecerap informasi yang positif dibutuhkan pemikiran yang kritis. Dengan penguatan literasi sejatinya bagaimana membangun daya berpikir kritis guru dan peserta didik sehingga tidak terjerumus dalam ketidak warasan media sosial dan teknolonologi.
Selain membangun daya kritis, penguatan literasi juga mendorong daya kreatifitas dan inovasi guru dan peserta didik dalam melahirkan produk produk ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak hanya sebagai konsumen, tapi juga sebagai produsen peradaban dan kebudayaan. Secara konkret, LPM Jateng sedang mengerjakan jurnal kependidikan dan keagamaan, pelatihan jurnalistik, perlombaan, mendirikan perpustakaan, sedakah buku dan membentuk relawan literasi untuk agar gerakan literasi di Jawa tengah berjalan secara massif.
Berbagai penguatan di atas, tentu sulit berjalan jika tidak didukung oleh IT yang bagus, sehingga digitalisasi madrasah dan sekolah menjadi keharusan yang tidak mungkin diabaikan. Revolusi Industri 4.0 menuntut kita bagaimana agar mampu memanfaatkan teknologi bagi kemudahan dan kelancaran program pendidikan. Karena itu, sikap terbuka dan mengambil perkembangan IT oleh stakeholders satuan pendidikan Ma’arif menjadi suatu keniscayaan. Problem utama yang perlu segera dipecahkan adalah urusan database, maka perlu adanya aplikasi yang dapat mendata dan identifikasi keberadaan madrasah dan sekolah Ma’arif, baik yang berada di kota, maupun yang berada di desa. Dengan mengetahui secara valid data kondisi madrasah dan sekolah, program penguatan mutu yang digarap akan bersifat solutif dan tepat sasaran.
Dengan database ini, kita akan mengetahui di mana daerah yang rendah jumlah satuan pendidikan ma’arif, baik di kota maupun di desa, sehingga kebijakan penguatan mutu dan pemerataan madrasah dan sekolah bisa direalisasikan sesuai kebutuhan yang tepat. Setelah database tergarap dengan baik, pengembangan IT di dalam proses pembelajaran menjadi penting, seperti alplikasi dan metode pembelajaran berbasis IT, e-learning, evaluasi berbasis IT, bursa kerja online, video Youtube berkonten pendidikan, website, media sosial dan lain sebagainya. Dengan demikian, tugas pendidikan tidak hanya terbatas di dalam kelas, tapi juga mampu menembus masyarakat dunia maya dengan pemanfaatan tekonologi dan digitalisasi yang menjadi corak masyarakat kontemporer.
Tak kalah pentingnya adalah bagaima LP Ma’arif membangun suatu pendekatan pendidikan yang integratif (konsep tauhid). Pendidikan tidak hanya dilakukaan dan menjadi tanggungjawab madrasah dan sekolah, tetapi juga menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Tugas sekolah sebagai pendidikan formal adalah bagaimana menekankan pengembangan inteklektual. Sedangkan orang tua secara informal bagaimana mereka ikut andil dalam mengembangkan spiritual peserta didik. Masyarakat secara nonformal memiliki tanggungjawab bagaimana ikut partisipasi dalam mengembangkan potensi emosional peserta didik yang bersifat non formal.
Dengan sinergitas antara pendidikan formal, informal dan nonformal, tugas mendidik generasi penerus adalah tugas bersama, dengan demikian visi menjadikan peserta didik sebagai manusia yang seutuhnya akan terwujud dengan tahapan dan proses yang lebih mudah. Sebagaimana telah dinyatakan dalam GBHN, bahwa arah pelaksanaan pendidikan adalah dalam rangka Pembangunan Manusia Seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Berarti, pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah atau hanya kepuasan batiniyah, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya. Pendekatan parsial selama inilah yang menjadikan pendidikan kita tak kunjung berhasil.
Maka, penguatan wali murid dengan sering mengadakan pertemuan dalam rangka evaluasi pembelajaran anak dan penguatan ideologi wali murid menjadi suatu kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan. Sedangkan dalam konteks membangun partisipasi masyarakat selaian melalui kebijakan pemerintah desa yang ikut andil dalam menghidupkan kegiatan keagamaan dan menjaga nilai-nilai budaya lokal yang arif, juga bisa melalui jalan pengaktifan media perekat sosial untuk membahas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, yang diantaranya adalah masalah pendidikan dan moral anak, bisa melalui komite sekolah dan madrasah, forum pengajian, tahlilan, barzanjinan dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, penulis memimpikan terwujudnya satuan pendidikan Ma’arif selain mengikuti perekembangan juga memiliki nilai beda (distingsi) dari lainnya, dan tidak tercerabut dari watak, corak dan ruh aslinya, yaitu karakteristik pesantren. Pesantren dalam sejarahnya menjadi ispirasi lahirnya madrasah dan sekolah yang didirikan oleh warga NU, maka dalam perkembanganya bagaimana madrasah dan sekolah mampu mengikuti perkembangan yang ada tanpa harus tercerabut dan meninggalkan tradisi atau nilai luhur aslinya, yaitu Asjawa al-Nahdliyah. Di sinilah, madrasah dan sekolah ditantang untuk benar-benar moderat dan seimbang sekaligus arif di dalam menerjemahkan dan mengamalkan adagium al-Muhafadhatu ‘ala qodimi al-Saholih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah.
Semoga LP Ma’arif Jawa Tengah kedepan mampu meningkatkan pelayanan terhadap umat dalam hal mencedaskan generasi masa depan sehingga menjadi manusia-manusia yang paripurna yang senantiasa menebar kedamaian dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Amin.
-Penulis adalah Ketua LP Ma’arif PWNU Jateng Periode 2018-2023. Artikel ini sudah dimuat di Majalah Ma’arif edisi 2019.